Masjid Jamia yang usianya ratusan tahun tampak menonjol di kawasan permukiman sekitarnya di Srinagar, dengan gerbang utamanya yang megah dan menara-menara besarnya.
Bangunan yang terbuat dari batu bata dan kayu ini adalah satu di antara masjid tertua di kota berpenduduk 1,2 juta, yang 96 persennya adalah Muslim. Ribuan orang kerap salat di masjid di kota terbesar di Kashmir itu.
Dengan 378 pilar kayu, masjid ini dapat menampung 33 ribu jemaah. Pada acara-acara khusus selama bertahun-tahun, ratusan ribu Muslim juga memenuhi jalur dan jalan-jalan di sekitarnya untuk mengikuti salat yang diselenggarakan masjid tersebut.
Namun, pihak berwenang India menganggap masjid itu sebagai tempat munculnya masalah – menjadi pusat protes dan bentrokan yang menantang kedaulatan India atas wilayah Kashmir yang disengketakan.
Bagi Muslim Kashmir, masjid adalah tempat suci di mana mereka melakukan salat Jumat dan juga menyuarakan hal-hak politik mereka.
Di tengah-tengah ketegangan tersebut, masjid ini hampir sebagian besar tutup selama dua tahun terakhir.
Imam besar masjid itu telah ditahan di rumahnya hampir tanpa henti selama periode itu. Gerbang utama masjid digembok dan ditutup dengan lembaran-lembaran seng gelombang pada hari Jumat.
Penutupan masjid memperdalam kemarahan warga Muslim Kashmir.
Bashir Ahmed, 65, pensiunan pegawai negeri, yang terbiasa salat di masjid itu selama lima dekade lebih mengatakan,
"Saya merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang hilang, jauh di dalam lubuk hati saya," katanya.
Pihak berwenang India menolak berkomentar mengenai pembatasan di masjid itu meskipun Associated Press telah berulang kali mengajukan permintaan komentar.
Pada masa lalu, para pejabat mengatakan pemerintah terpaksa menutup masjid Jamia karena komite pengelolanya tidak mampu menghentikan protes anti-India di lingkungan tersebut.
Penutupan masjid berusia 600 tahun ini berlangsung dalam penindakan keras yang dimulai pada 2019 setelah pemerintah mencabut status semiotonom yang telah lama disandang Kashmir.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam dua tahun belakangan, sebagian masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya di kawasan itu – yang juga ditutup karena penindakan keras keamanan dan pandemi yang mengikutinya – telah diizinkan untuk memberikan layanan keagamaan.
Masjid Jamia masih tetap tertutup bagi jemaah yang ingin salat Jumat.
Pihak berwenang mengizinkan masjid itu tetap buka pada enam hari lainnya, tetapi hanya beberapa ratus jemaah yang berkumpul di sana ketika itu, dibandingkan dengan puluhan ribu orang yang kerap datang untuk salat Jumat.
Kebebasan beragama dicantumkan dalam konstitusi India, mengizinkan warga untuk menganut dan secara bebas mempraktikkan ajaran agama mereka.
Konstitusi juga menyatakan negara tidak akan “mendiskriminasi, menggurui atau mencampuri agama apa pun.”
Bagi Muslim di Kashmir, penutupan masjid itu membawa kenangan menyakitkan dari masa lalu.
Pada tahun 1819, penguasa Sikh menutupnya selama 21 tahun. Selama 15 tahun belakangan, masjid ini kerap mengalami larangan berkala dan penutupan oleh pemerintah-pemerintah India selanjutnya.
Tetapi pembatasan yang sekarang ini adalah yang paling serius sejak wilayah itu terbagi antara India dan Pakistan setelah kedua negara itu meraih kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1947. Kedua negara itu mengklaim keseluruhan wilayah tersebut.
BACA JUGA: Di India, Cinta Beda Agama Berakhir dengan Pembunuhan"Pembatasan di wilayah ini telah meningkat sejak Partai Bharatiya Janata yang nasionalis Hindu berkuasa. Kami menyaksikan pembatasan terhadap kebebasan beragama. Kami telah mengalami penutupan masjid pada masa lalu, semasa pemerintahan autokrasi. India menyatakan ini adalah negara sekuler. Kalau memang demikian, mengapa kita melihat pembatasan agama seperti ini? Dan sering kali Masjid Agung yang menjadi sasarannya. Saya tidak melihat banyak perbedaan dalam hal pembatasan kebebasan beragama dalam pemerintahan autokrasi Sikh ketika itu dan pemerintahan demokratis sekarang ini," papar Zareef Ahmed Zareef, seorang penyair dan sejarawan lisan.
Setelah berkobarnya pemberontakan bersenjata di Kashmir menentang India pada tahun 1989, masjid tersebut dan wilayah-wilayah sekitarnya di jantung kota Srinagar menjadi tempat sentral penyelenggaraan protes.
India menggambarkan pemberontakan itu sebagai terorisme yang disponsori Pakistan, tuduhan yang disangkal Pakistan.
Khotbah di Masjid Jamia kerap kali membahas konflik yang telah lama memanas, dengan Mirwaiz Umar Farooq, imam besar dan salah seorang pemimpin separatis utama di kawasan, menyampaikan khotbah berapi-api yang menyoroti perjuangan politik Kashmir.
Pihak berwenang kerap melarang salat di masjid itu untuk periode yang lama.
Menurut data resmi, jika digabungkan pada tahun 2008, 2010 dan 2016, masjid itu telah ditutup selama sedikitnya 250 hari.
"Orang-orang di masjid berzikir dan merasakan spiritualitas, dan Mirwaiz memiliki gaya unik dalam berkhotbah. Diskusi mengenai isu sosial, ekonomi dan politik merupakan inti fungsi keagamaan masjid," kata Altaf Ahmad Bhat, salah seorang petinggi masjid itu.
Bhat mengesampingkan alasan keamanan dan ketertiban yang disebut pihak berwenang.
“Saya yakin ketidakmampuan merekalah yang membuat mereka tidak dapat menangani situasi. Kami menyuarakan pendapat kami di sini dan ini tidak selalu politis. Saya pikir ini sama sekali bukan argumennya,” ujarnya. “Ia memiliki gaya berbeda dalam menjangkau orang-orang melalui khotbahnya. Selain terhadap masjid, restriksi juga diberlakukan terhadapnya. Ini merupakan tragedi bagi kami,” pungkas Bhat. [uh/ka]