Syafik, begitu ia dipanggil sehari hari, meskipun nama aslinya Muhammad Aziz. Usianya sudah 20 tahun, namun kemampuan kognitifnya jauh di bawah rata-rata orang seusianya. Ia juga kesulitan berkata-kata karena menderita autisme.
Ia biasa menghabiskan hari-harinya dengan belajar dari guru pendidikan khusus, berinteraksi dengan teman-temannya dan menjalani terapi fisik, terapi bicara dan terapi okupasi.
Syafik sempat uring-uringan ketika sekolahnya, May Institute for Autism, di Boston, Massachusetts, tutup sejak Maret lalu karena wabah virus corona, kata ibunya Lily Harlina. Syafik akhirnya tenang setelah beberapa pekan, namun ibunya paham, mengapa anaknya bereaksi seperti itu.
“Anak-anak berkebutuhan khusus seperti Syafik menemukan kenyamanan dalam rutinitas. Ketika rutinitas itu terputus, ia cenderung cemas dan berperilaku tidak biasanya. Kita harus mempertahankan rutinitas itu. Namun itu tidak mudah.”
Untuk orang-orang berkebutuhan khusus, seperti Syafik, belajar secara virtual bukanlah hal mudah. Para orangtua yang memiliki anak dengan kondisi demikian juga umumnya tidak memiliki cukup keterampilan dan kemampuan untuk mengajar mereka seperti halnya guru di sekolah. Walhasil, mereka pun luar bisa kerepotan menangani anak mereka.
Lily luar biasa lega, ketika sekolah Syafik menawarkan diri untuk mengirim tiga stafnya secara bergantian untuk memberikan pendidikan dan pelatihan khusus untuk Syafik. Memang sih, apa yang ditawarkan sekolah itu tidak seintensif suasana normal. Jika Syafik sebelum pandemik, bersekolah 40 jam seminggu, kini ia bersekolah 20 jam seminggu.
“Orang-orang yang dikirim sekolah untuk membantu Syafik sungguh meringankan beban saya. Mereka benar-benar membantu saya. Mereka datang bergantian. Saya benar-benar lega,” jelasnya
Tidak semua orang seberuntung Syafik. Arianne Leblanc, seorang penderita autisme, tidak mendapatkan fasilitas itu dari sekolahnya, Center for Applied Behavioral Instruction di Worcester. Akibatnya, ia kesulitan mengikuti sistem pembelajaran daring yang selama ini tidak dikenalnya ini membuat Brandi LeBlanc, ibu perempuan berusia 21 tahun itu cemas.
“Saya telah berusaha keras untuk bisa membuatnya seperti sekarang ini. Wabah virus corona dan langkanya sumberdaya untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus berpengaruh dramatis terhadap Arianne dan keluarganya.”
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Paramita Hidayat, seorang asisten pengajar Anak-anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Watkins Mill High School, di Gaithersburg, Maryland, pandemi mengacaukan kehidupan semua anak, khususnya ABK. Para orang tua dan pakar anak, menurutnya tidak hanya mencemaskan kondisi emosional mereka, namun juga bagaimana kurangnya pendekatan perorangan akan mempengaruhi kehidupan mereka dalam jangka panjang.
Lulusan desain tekstil ITB yang kini sedang mengambil program master di bidang seni untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Notredame University di Maryland ini mengatakan, “Anak-anak berkebutuhan khusus memerlukan rutinitas, yang dapat mereka peroleh dengan bersekolah.Mereka memerlukan pendekatan individual. Jika mereka tidak mendapatkan rutinitas ini, perkembangan mereka terganggu. Mereka akan bingung, kecuali orang tua mereka bisa memberi rutinitas yang serupa dengan yang diberikan guru di sekolah.”
Lebih jauh Paramita mengatakan, ABK memerlukan perawatan dan pelatihan yang konsisten. Ketiadaan layanan seperti itu bisa mengakibatkan mereka kehilangan keterampilan. Tanpa terapi harian, mereka bisa mengalami kemunduran.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Fitri Abasunni, pakar pendidikan inklusif yang banyak menangani ABK, ABK Indonesia tidak seberuntung mereka yang di Amerika. Menurut pendiri sekolah percontohan ZonaKata di Pontianak, Kalimantan Barat, ini, sejak penutupan sekolah-sekolah, banyak ABK terlantar dan ini memprihatinkan.
“ABK kesulitan mengikuti pembelajaran daring karena perkembangan psikomotorik mereka perlu distimulasi secara langsung. Kita membutuhkan keterlibatan orang tua. Sayangnya, waktu orangtua juga terbatas dan mereka juga tidak memiliki keterampilan yang mendukung. Beda dengan di sekolah, dimana penanganannya lebih efektif. Kita bisa mencermati secara langsung dan memberikan penilaian.”
Menurut CDC, prevalensi autisme terus meningkat secara global. Sebagai contoh di Amerika Serikat, pada tahun 2000, satu dari 150 anak didiagnosa berada dalam spektrum autisme. Pada tahun 2020, statistik tersebut melonjak menjadi satu dari 54 anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia tidak memiliki catatan resmi mengenai anak penyandang autisme. Namun, pada 2008, kementerian itu pernah memperkirakan ada sekitar 2,4 juta orang penyandang autisme di Indonesia dengan pertambahan penyandang baru 500 orang per tahunnya. [ab/uh]