Kelompok orang dengan disabilitas masih menemui kesulitan saat mengikuti program vaksinasi COVID-19. Beragam kesulitan dihadapi orang dengan disabilitas seperti kurangnya pemahaman tentang vaksinasi COVID-19. Lalu, lokasi vaksinasi yang belum mudah diakses hingga kurangnya pemahaman tentang komorbiditas bagi orang dengan disabilitas.
Beragam kendala yang dihadapi oleh orang dengan disabilitas saat mengikuti program vaksinasi COVID-19 diketahui dari kajian cepat di 12 wilayah yakni Jawa Timur, DKI Jakarta, Maluku Utara, Kota Bekasi, Nusa Tenggara Barat (NTB), Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Aceh.
Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu, mengatakan beragam kendala itu salah satunya tentang informasi yang tidak konstruktif tentang vaksin COVID-19 beredar di kalangan masyarakat disabilitas terutama kaum perempuan. Hal itu dikatakannya dalam diskusi daring “Program Vaksinasi COVID-19 dan Keberpihakannya bagi Kelompok Rentan”.
“Kami mendapat respons dari 12 cabang tingkat daerah HWDI, mengatakan anggota masih merasa takut akan vaksin serta tidak mau datang ke tempat vaksinasi. Misalnya, di balai besar rehabilitasi di Makassar, mereka menyediakan kuota 300 orang tetapi yang terpakai hanya 80 paket,” kata Maulani, Senin (19/7).
Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi dan penyebarluasan informasi langsung kepada masyarakat disabilitas melalui pusat-pusat komunitas maupun organisasi penyandang disabilitas.
“Perlu ada alat informasi edukasi yang bisa mencapai masyarakat disabilitas sampai ke tingkat desa serta upaya menepis rumor atau pemahaman yang salah tentang vaksin,” ungkap Maulani.
Sebagian Pemda Dukung Vaksinasi Untuk Difabel
Maulani melanjutkan, program vaksinasi khusus disabilitas di beberapa daerah memang telah mendapat dukungan pemerintah daerah, misalnya di Sidoarjo yang menyediakan antar jemput untuk penyandang disabilitas. Kemudian, di NTB vaksin-vaksin untuk penyandang disabilitas dipusatkan pada Dinas Sosial dan rumah sakit jiwa.
Namun, permasalahan tentang informasi yang terbatas soal vaksin COVID-19 masih ditemui di komunitas-komunitas disabilitas. Apalagi, para pemimpin komunitas disabilitas masih kesulitan dalam memberikan informasi yang dapat menangkal berbagai rumor tentang vaksin COVID-19.
“Diharapkan pemerintah daerah dan lembaga lain yang bekerja untuk vaksinasi dapat menjangkau komunitas disabilitas. Bukan hanya meminta massa tapi juga mengedukasi mereka. Utamanya harus ada alat edukasi untuk masyarakat disabilitas sehingga mereka percaya diri untuk datang melakukan vaksinasi,” ucap Maulani.
Masih kata Maulani, selain minimnya pemahaman orang dengan disabilitas terkait vaksin COVID-19. Permasalahan lain ditemukan di sejumlah daerah adalah lokasi vaksinasi yang masih belum ramah terhadap orang dengan disabilitas terutama terkait dengan akses.
Your browser doesn’t support HTML5
“Lokasi yang enggak aksesibilitas atau tidak terjangkau oleh penyandang disabilitas seperti yang dilaporkan di Bireuen, Aceh, bahwa vaksinasi berada di lantai dua pada gedung. Kemudian, lokasi sentra vaksinasi yang berdesakan atau mengantre dan pastinya penyandang disabilitas fisik ini sangat melelahkan seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah,” ungkapnya.
Orang dengan disabilitas juga kerap dihadapkan dengan persoalan kurangnya pemahaman tentang komorbiditas. Selama ini orang dengan disabilitas dinilai masih kurang memahami atas informasi kesehatannya sendiri. Hal itu membuat mereka tidak dapat memberikan informasi secara akurat terkait riwayat kesehatannya.
“Terkait dengan situasi tersebut penyandang disabilitas memerlukan pemeriksaan kesehatan yang lebih detail ketika akan melaksanakan vaksinasi,” pungkas Maulani.
Sementara itu, peneliti dari INFID, Lily Widyastuti, mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat vaksinasi paling rendah di dunia. Sejauh ini berdasarkan data per 11 Juli 2021, baru sekitar 15 juta penduduk Indonesia yang telah menerima vaksinasi dengan dosis penuh.
“Ini bisa diartikan hanya enam persen dari populasi Indonesia yang sudah menerima dosis vaksin penuh. Jadi peluncuran vaksinasi di Indonesia sangat lambat di awal disebabkan berbagai faktor sebagai keharusan mengimpor vaksin dan bahan baku untuk produksi secara massal. Kita kekurangan infrastruktur untuk mendistribusikan vaksin,” katanya yang juga hadir dalam diskusi daring tersebut.
Menurut Lily, antusiasme masyarakat Indonesia saat ini memang mengalami peningkatan dalam mengikuti vaksinasi COVID-19. Namun, di balik meningkatnya antusiasme masyarakat, pemerintah tak memiliki pasokan vaksin yang cukup. “Dan tidak mendistribusikan vaksin secara merata ke seluruh penjuru wilayah Indonesia,” ujarnya.
Akibat dari rendahnya dan tidak meratanya distribusi vaksin, kata Lily, membuat Indonesia memiliki tingkat kematian (Case Fatality Rate/CFR) COVID-19 yakni 2,62 persen per 12 Juli 2021 yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
“Indonesia juga memiliki tingkat kematian kumulatif yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara dengan 66 ribu kematian sejak awal pandemi. Kemudian, tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) Indonesia lebih dari 80 persen,” tandasnya.
Berdasarkan data dari Satgas COVID-19 tentang jumlah vaksinasi per 19 Juli 2021, sebanyak 42.095.531 orang telah menjalani vaksinasi pertama. Lalu, 16.400.351 orang telah menjalani vaksinasi kedua. [aa/em]