Aktivis kelompok disabilitas, Dewi Tjakrawinata dari Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI), mengatakan pandemi COVID-19 telah membuat para penyandang disabilitas memiliki beban berlapis. Apalagi para orang dengan disabilitas yang terpapar COVID-19 yang tentu sangat begantung kepada keluarga dan lingkungannya.
"Situasi itu (pandemi) semakin membuat mereka rentan terhadap kekerasan. Tekanan yang mereka hadapi sebagai penyandang disabilitas, diskriminasi berlapis dan ditinggal selama pandemi menjadi sangat luar biasa," katanya dalam konferensi pers secara daring, Minggu (18/7).
Akibatnya, kata Dewi, banyak dari mereka yang mengalami gangguan mental maupun psikososial.
Kondisi tersebut juga dialami para penyandang disabilitas dari kalangan anak, terutama yang sedang bersekolah. Situasi pandemi COVID-19 telah membuat kegiatan belajar mengajar secara tatap muka disetop. Kendati mereka tetap mendapatkan pendidikan lewat kelas daring. Namun, para anak penyandang disabilitas memiliki persoalan sendiri.
"Bayangkan anak dengan disabilitas ikut daring. Sementara selama ini praktik yang mereka ikuti di sekolah, misalnya guru itu banyak yang harus menggunakan sentuhan tangan, mengarahi ke mana contohnya. Bagaimana ketika mereka membuat sesuatu itu harus ditunjukkan oleh gurunya. Itu tidak mungkin (terjadi) ketika sekolah daring," ujar Dewi.
Sulit dapat perawatan
Dewi melanjutkan, banyak penyandang disabilitas yang terpapar COVID-19 tidak bisa masuk ke rumah sakit karena ketergantungannya pada caregiver (pengasuh). Kondisi itu juga membuat orang dengan penyandang disabilitas yang terpapar COVID-19 harus berada dalam situasi sulit.
"Karena kalau di rumah sakit tidak boleh dikunjungi terus ditinggal sendiri. Apalagi dengan tenaga kesehatan yang saat ini telah mendapatkan tekanan yang luar biasa dalam pekerjaannya. Orang dengan disabilitas yang terpapar COVID-19 itu juga menjadikan keluarganya atau caregiver menjadi sangat rentan," ucapnya.
Bukan hanya itu, pandemi COVID-19 juga telah membuat para penyandang disabilitas yang selama hidupnya sangat bergantung dengan obat harus bekerja ekstra terutama berkaitan dengan mobilitasnya.
Dewi mencontohkan, biasanya para penyandang disabilitas sebelum pandemi COVID-19 tak perlu repot-repot untuk mendapatkan obat. Namun, ketika pandemi COVID-19 mereka harus rela meningkatkan mobilitasnya daripada biasanya, karena suplai obat-obatan juga berkurang.
"Mereka harus datang yang tadinya bisa enam bulan sekali ambil obat. Sekarang harus sebulan sekali bahkan kadang-kadang seminggu sekali. Itu akan menjadi beban bagi penyandang disabilitas dan juga keluarganya dari sisi transportasi, mobilitas satu tempat ke tempat lain," pungkas Dewi.
PRT sulit prokes
Sementara, perwakilan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Muliawati, menceritakan pahitnya kondisi kelompok mereka saat pandemi COVID-19. Kebanyakan dari PRT di DKI Jakarta hidup dan tinggal di sebuah rumah petak yang padat penduduk.
Permasalahan muncul apabila salah satu keluarga dari para PRT terpapar COVID-19. Seperti halnya yang dialami oleh Muliawati, saat ini ibunya terpapar COVID-19. Ironisnya, mereka harus tetap tinggal satu atap karena ibunya menjalani isolasi mandiri.
"Kalau anjuran bahwa kami harus pisah kamar dan kamar mandi ini agak susah dilakukan para PRT yang tinggal di rumah petak. Walaupun ada dua kamar tidur. Tapi kami hanya punya satu kamar mandi. Maka kami menggunakan kamar mandi tersebut secara bergantian," kata Muliawati di konferensi pers daring yang sama.
Tidak sampai di situ, ujarnya, sampai saat ini para PRT yang terpapar COVID-19 masih sulit mengakses obat-obatan dan vitamin. Hal tersebut tentu membuat para PRT harus mencari obat-obatan dan vitamin secara mandiri yang membuat mereka harus merogoh kocek lebih dalam.
"Pengeluaran menjadi lebih banyak empat kali lipat dari pengeluaran harian seperti kami harus menggunakan uang tabungan," pungkasnya. [aa/em]