Jumlah korban tewas akibat serangan hari Senin (3/6) terhadap demonstran pro-demokrasi oleh pasukan pemerintah Sudan naik menjadi sedikitnya 60 pada hari Rabu (5/6), menurut para dokter yang terkait dengan para demonstran.
Ratusan orang dalam pemulihan di rumah sakit dan rumah-rumah di kota itu. Tetapi rumah sakit sendiri menjadi sasaran, dengan orang-orang bersenjata mengepung pusat-pusat kesehatan bahkan sempat berusaha memasuki gedung.
Kini, muncul rincian tentang apa yang tampaknya merupakan serangan brutal dan terkoordinasi terhadap para pengunjuk rasa di Khartoum pusat, dan mereka yang berusaha membantu yang terluka.
Dewan Militer Transisi yang berkuasa di Sudan telah mengklaim pasukan keamanan yang menggerebek lokasi protes utama hari Senin hanya menindak unsur-unsur kriminal di antara para demonstran, tetapi korban di Rumah Sakit Royal Care yang dirawat karena luka-luka mereka menceritakan kisah lain.
BACA JUGA: Sekjen PBB Kutuk Pembunuhan Demonstran oleh Pasukan Keamanan SudanPada hari Selasa, Voice of America memperoleh akses langka ke rumah sakit Royal Care, di mana banyak korban selamat dari serangan itu telah menjalani perawatan.
Para saksi mata dan penyintas menuduh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) bertanggung jawab atas serangan itu. RSF – yang terkenal karena kebrutalannya – terdiri dari milisi dari Darfur yang dipimpin oleh wakil kepala Dewan Militer Transisi yang berkuasa, Mohamed Hamdan Dagalo.
Polisi juga telah dituduh mengambil bagian dalam serangan itu, tetapi sebagian saksi mengatakan mereka adalah pasukan RSF yang mengenakan seragam polisi, berdasarkan aksen dan perilaku mereka.
Duduk di kursi roda, Merdat Khadir mengatakan RSF menyerang setelah tentara reguler yang sebelumnya membela demonstran meninggalkan lokasi atau tanpa senjata.
Ia mengatakan mereka mulai menyerang orang-orang begitu mereka mengetahui tentara tidak lagi mampu melawan. Mereka tak mengenal tuhan, mereka tidak punya rasa iba, kata Khadir, orang-orang ini bukan warga Sudan, kami tidak menerimanya sebagai warga kami. Bahkan mereka memukuli orang yang sudah mati dan tergeletak, kata Khadir.
Pelajar berusia 25 tahun, Mohmoud Abdullah, menunjukkan memar di punggung, bahu, dan lengan kanannya. Ia mengatakan setelah RSF mengejar mereka dari jalan-jalan ia bersembunyi dengan mahasiswa lain di asrama Universitas Khartoum di lokasi demonstrasi.
"RSF memerintahkan agar kami keluar tetapi ketika kami tidak keluar, mereka melempar gas air mata ke dalam dan kemudian mengarahkan senjatanya kepada kami," kata Abdullah.
"Saya membuka pintu untuk membiarkan mereka masuk dan mereka menampar saya di kedua sisi kepala. Saya jatuh dan mereka mulai memukuli saya. Mungkin ada 25 di antaranya yang memukuli saya dengan tongkat, cambuk, pentung, senjata mereka, apa saja," imbuhnya.
Abdulla lari ke sebuah klinik, di mana katanya ia pingsan namun terbangun mendapati tentara memasuki klinik.
Dengan penyerangan terhadap RS tampaknya tidak ada tempat yang aman dari penindakan keras keamanan di ibukota Sudan. (lt)