Saat para pakar AIDS dunia berkumpul di sebuah konferensi pekan ini di Paris, para pekerja kesehatan di Kamerun masih berjuang mengidentifikasi dan merawat ibu dan bayi yang positif terinfeksi HIV.
Myriam Anang kehilangan suami dan bayinya yang baru berusia tiga bulan dua tahun yang lalu karena HIV. Kini, Anang bekerja sebagai seorang pendidik sebaya pada program yang digagas pemerintah untuk membantu warga lainnya mendapatkan pengetahuan yang lebih baik.
Ia adalah salah satu pembicara di Kamerun bagian utara pada sebuah pertemuan yang membahas AIDS dan HIV.
Anang mengatakan saat ia mencoba membujuk warga desa bersama bayi mereka melakukan tes HIV, mereka menyangkal kalau mereka sakit, melainkan disantet oleh anggota keluarganya. Anang mengatakan ia kenal tiga orang yang meninggal karena HIV, meskipun demikian istri-istri mereka menolak membawa bayi-bayinya ke rumah sakit, dengan mengatakan keluarganya kena kutukan.
Anang tidak mendapatkan perawatan sebelum melahirkan. Ia melahirkan di tempat bidan tradisional. Hanya setelah ia sakit, ia pergi ke rumah sakit dan mengetahui kalau ia telah terinfeksi HIV.
Pada tahun 2016, pemerintah mendapati tujuh dari 10 perempuan di bagian utara negeri itu tidak pergi ke rumah sakit saat mereka hamil. Sekitar sepertiga dari mereka yang pergi ke rumah sakit tidak pernah melakukan pemeriksaan ulang setelah melahirkan, bahkan saat mereka telah positif dinyatakan terinfeksi HIV.
Tugas pendidik sebaya adalah mencari perempuan-perempuan hamil di desa-desa mereka dan mendorong mereka untuk mendapatkan perawatan medis, bahkan mengingatkan jadwal mereka saat mereka harus pergi ke rumah sakit.
Pemerintah mengatakan sejak program ini dimulai, tujuh dari 10 wanita hamil yang telah diketahui oleh para pendidik sebaya ini sekarang sudah memeriksakan diri mereka ke rumah sakit.
Hambatan untuk perawatan
Butuh sehari untuk menjalani tes HIV bagi seorang ibu. Tapi, bayi yang baru lahir perlu pemeriksaan khusus dan pemeriksaan darah hanya dapat diproses di rumah sakit yang terletak di ibukota negara itu, Yaounde, yang jaraknya seribu kilometer, ujar Georgette Wekang, kepala Pengendalian HIV dan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) di Kementerian Kesehatan Kamerun.
Wekang mengatakan butuh antara enam hingga tujuh bulan untuk mendapatkan hasilnya dari Yaounde dan sering kali, hasilnya didapatkan setelah bayi-bayi itu meninggal. Selain itu, ujarnya, kekhawatiran akan stigmatisasi membuat perempuan-perempuan itu tidak bersedia kembali ke rumah sakit bersama bayi-bayinya untuk pemeriksaan lebih lanjut.
UNICEF memperkirakan di Kamerun bagian utara, 40 persen anak-anak yang positif terinfeksi HIV belum memperoleh perawatan.
Para pejabat kesehatan mengatakan penting untuk mendapatkan perawatan sesegera mungkin setelah didiagnosis.
Pemerintah Kamerun telah mulai mengawali percobaan dengan mesin pengujian yang baru untuk mengurangi waktu tunggu orang tua untuk mendapatkan hasil diagnosa bayi-bayi mereka. Meskipun obat-obat antiretroviral diberikan secara gratis, tapi para pasien harus membayar uji laboratorium.
Di Kamerun bagian utara, para orang tua diberi tahu mereka dapat membawa anak-anaknya ke kota Garoua untuk mendapatkan perawatan. Meskipun demikian, Mireille Yaki, petugas medis yang bertanggung jawab untuk rumah sakit tersebut, mengatakan fasilitas tersebut sering kekurangan obat-obat antiretroviral, dan banyak orang tua yang tidak lagi membawa anak-anaknya untuk mendapatkan perawatan. [ww/dw]