Perancis memiliki komunitas minoritas Muslim yang terbesar di Eropa, namun juga memiliki beberapa aturan paling membatasi ekspresi keyakinan di muka publik.
Sebuah pengadilan banding Perancis, yang menangani kasus hak agama yang diperdebatkan dengan hangat, pada Rabu (27/11) menguatkan pemecatan seorang pekerja penitipan anak yang beragama Islam dan memakai jilbab.
Dasar keputusan tersebut adalah karena tempat penitipan anak itu telah menuntut netralitas yang kuat terkait agama dari para pegawainya.
Keputusan pengadilan Paris itu diumumkan pada saat yang sama saat para pengacara Perancis membela larangan pemakaian cadar di muka umum pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa di Strasbourg.
Kedua kasus tersebut telah membelah opini publik di Perancis selama bertahun-tahun, dimana larangan tersebut mendapat dukungan publik yang luas namun dianggap diskriminatif oleh banyak Muslim.
Perancis memiliki komunitas minoritas Muslim yang terbesar di Eropa, diperkirakan berjumlah sekitar lima juta orang, namun juga memiliki beberapa aturan paling membatasi ekspresi keyakinan di muka publik.
“Hari ini sebuah lembaga negara telah menegaskan kekuatan dari prinsip sekularisme,” ujar Richard Malka, pengacara tempat penitipan anak Baby Loup.
Kelompok hak-hak Muslim, The Collective against Islamophobia in France (CCIF), mengecam keputusan itu sebagai “skandal yudisial” yang dapat diartikan bahwa “tidak ada seorang pun yang dilindungi dari penghakiman atas agama, etnis atau akar sosial.”
Presiden Francois Hollande awalnya mendukung desakan-desakan untuk memperluas larangan berjilbab di sektor publik ke beberapa usaha swasta menyusul kontroversi Baby Loup. Namun ia kemudian menghentikan dukungannya ketika para penasihat hukumnya mengingatkan bahwa hal itu dapat mengarah pada diskriminasi.
Baby Loup memecat Fatima Afif pada 2008 setelah ia mulai memakai jilbab ke tempat kerja, meski ada aturan yang melarang pakaian terkait agama tertentu di tempat penitipan anak itu, yang merawat anak-anak dengan 55 kebangsaan yang berbeda-beda.
Pengadilan tenaga kerja mendukung pemecatan itu, namun pengadilan banding tertinggi Perancis tidak sepakat, dengan mengatakan bahwa tempat penitipan anak itu bukan tempat layanan publik yang diikat oleh kebijakan sekularisme resmi.
Hal ini memicu desakan-desakan untuk memperluas kebijakan itu ke sektor swasta, terutama mereka yang berurusan dengan anak-anak kecil yang, menurut pendukung aturan yang lebih ketat, dapat terpengaruh oleh perawat yang menampakkan afiliasi keyakinan secara jelas.
Di kota Strasbourg sebelah timur negara itu, pengadilan membela larangan atas cadar di publik sebagai aturan demokratis yang didukung “keyakinan kuat publik Perancis.”
“Memakai cadar tidak hanya menyulitkan identifikasi seseorang, namun juga membuat pemakainya tidak dapat dibedakan dari yang lain yang juga memakai cadar dan secara efektif menghapus perempuan yang memakainya,” ujar pengacara pemerintah Perancis Edwige Belliard.
Setiap warga negara bebas memakai pakaian-pakaian atau simbol-simbol lain di publik yang mengindikasikan keyakinan agama mereka, tambahnya.
Ramby de Mello, pengacara Inggris yang mewakili seorang Muslimah Perancis yang tidak disebutkan namanya dan menantang larangan tersebut, mengatakan aturan itu melanggar hak-hak keyakinan, kebebasan berbicara dan privasi kliennya dan membuatnya merasa “seperti tahanan di negaranya sendiri.”
Cadar merupakan “bagian dari identitasnya sama halnya dengan DNA untuk kita,” ujarnya. Keputusan baru akan dikeluarkan beberapa bulan mendatang.
Ini untuk pertama kalinya pengadilan Strasbourg mempertimbangkan legalitas cadar di publik. Belgia dan wilayah Ticino di Swiss juga melarangnya dan para politisi di Italia dan Belanda telah mengusulkan aturan serupa di sana. (Reuters/Tom Heneghan)
Dasar keputusan tersebut adalah karena tempat penitipan anak itu telah menuntut netralitas yang kuat terkait agama dari para pegawainya.
Keputusan pengadilan Paris itu diumumkan pada saat yang sama saat para pengacara Perancis membela larangan pemakaian cadar di muka umum pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa di Strasbourg.
Kedua kasus tersebut telah membelah opini publik di Perancis selama bertahun-tahun, dimana larangan tersebut mendapat dukungan publik yang luas namun dianggap diskriminatif oleh banyak Muslim.
Perancis memiliki komunitas minoritas Muslim yang terbesar di Eropa, diperkirakan berjumlah sekitar lima juta orang, namun juga memiliki beberapa aturan paling membatasi ekspresi keyakinan di muka publik.
“Hari ini sebuah lembaga negara telah menegaskan kekuatan dari prinsip sekularisme,” ujar Richard Malka, pengacara tempat penitipan anak Baby Loup.
Kelompok hak-hak Muslim, The Collective against Islamophobia in France (CCIF), mengecam keputusan itu sebagai “skandal yudisial” yang dapat diartikan bahwa “tidak ada seorang pun yang dilindungi dari penghakiman atas agama, etnis atau akar sosial.”
Presiden Francois Hollande awalnya mendukung desakan-desakan untuk memperluas larangan berjilbab di sektor publik ke beberapa usaha swasta menyusul kontroversi Baby Loup. Namun ia kemudian menghentikan dukungannya ketika para penasihat hukumnya mengingatkan bahwa hal itu dapat mengarah pada diskriminasi.
Baby Loup memecat Fatima Afif pada 2008 setelah ia mulai memakai jilbab ke tempat kerja, meski ada aturan yang melarang pakaian terkait agama tertentu di tempat penitipan anak itu, yang merawat anak-anak dengan 55 kebangsaan yang berbeda-beda.
Pengadilan tenaga kerja mendukung pemecatan itu, namun pengadilan banding tertinggi Perancis tidak sepakat, dengan mengatakan bahwa tempat penitipan anak itu bukan tempat layanan publik yang diikat oleh kebijakan sekularisme resmi.
Hal ini memicu desakan-desakan untuk memperluas kebijakan itu ke sektor swasta, terutama mereka yang berurusan dengan anak-anak kecil yang, menurut pendukung aturan yang lebih ketat, dapat terpengaruh oleh perawat yang menampakkan afiliasi keyakinan secara jelas.
Di kota Strasbourg sebelah timur negara itu, pengadilan membela larangan atas cadar di publik sebagai aturan demokratis yang didukung “keyakinan kuat publik Perancis.”
“Memakai cadar tidak hanya menyulitkan identifikasi seseorang, namun juga membuat pemakainya tidak dapat dibedakan dari yang lain yang juga memakai cadar dan secara efektif menghapus perempuan yang memakainya,” ujar pengacara pemerintah Perancis Edwige Belliard.
Setiap warga negara bebas memakai pakaian-pakaian atau simbol-simbol lain di publik yang mengindikasikan keyakinan agama mereka, tambahnya.
Ramby de Mello, pengacara Inggris yang mewakili seorang Muslimah Perancis yang tidak disebutkan namanya dan menantang larangan tersebut, mengatakan aturan itu melanggar hak-hak keyakinan, kebebasan berbicara dan privasi kliennya dan membuatnya merasa “seperti tahanan di negaranya sendiri.”
Cadar merupakan “bagian dari identitasnya sama halnya dengan DNA untuk kita,” ujarnya. Keputusan baru akan dikeluarkan beberapa bulan mendatang.
Ini untuk pertama kalinya pengadilan Strasbourg mempertimbangkan legalitas cadar di publik. Belgia dan wilayah Ticino di Swiss juga melarangnya dan para politisi di Italia dan Belanda telah mengusulkan aturan serupa di sana. (Reuters/Tom Heneghan)