Mundurnya pasukan militer Rusia dari sekitar Ibu Kota Ukraina Kyiv, menghadapi kecaman atas taktik brutal, represi politik yang keras di dalam negeri dan ekonomi yang diterpa sanksi Barat, musuh dan sekutu sama-sama mengajukan pertanyaan yang sama tentang Presiden Vladimir Putin: Bisakah dia bertahan?
Jawabannya: ya untuk saat ini, tapi mungkin tidak selamanya.
Setelah 22 tahun berkuasa, Putin membangun barisan loyalis yang kuat yang berada di sekitarnya, baik dari kalangan militer Rusia maupun dinas rahasia. Dia juga memiliki dukungan yang signifikan di antara orang-orang Rusia. Orang-orang yang berada di sekitarnya tenggelam dalam propaganda pro-Putin akibat kontrol Kremlin atas media televisi dan saluran komunikasi massa lainnya. Bahkan hari ini, banyak orang Rusia memandang kepemimpinan Putin telah memberikan prestise, kemakmuran, dan stabilitas yang lebih besar bagi negara dalam dua dekade terakhir.
Perlindungan yang kuat tersebut, kekayaan yang dikendalikan Putin, dan kurangnya sejarah kudeta di istana yang signifikan di Rusia membuat salah satu cara yang jelas untuk menyingkirkan Putin -baik dalam bentuk pemberontakan militer atau revolusi massal yang populer- hampir tak terbayangkan saat ini.
Namun semua negara kuat secara inheren rentan terhadap hal yang tidak terduga, terutama ketika mereka menjadi tuli terhadap aspirasi masyarakat di sekitar mereka, seperti yang terjadi pada mantan presiden Mesir Hosni Mubarak. Mubarak jatuh setelah 30 tahun berkuasa.
“Demi Tuhan, orang ini tidak bisa tetap berkuasa,” kata Presiden Amerika Serikat Joe Biden terkait Putin pada bulan lalu. Komentar Biden tersebut tidak terencana dan lebih merupakan ungkapan hatinya setelah melihat pertumpahan darah di Ukraina terus meningkat.
Putin, yang berusia 69 tahun, siap untuk dipilih kembali pada 2024, dan perubahan dalam konstitusi Rusia memungkinkan dia untuk tetap menjadi presiden hingga 2036. Namun pemenjaraan tokoh oposisi Rusia yang paling terkenal, Alexei Navalny, hanyalah salah satu tanda: Putin tidak cukup percaya diri dengan popularitasnya untuk tunduk pada ujian demokrasi yang sebenarnya.
Meskipun tidak ada jajak pendapat yang kredibel di negara yang sekarang efektif di bawah darurat militer, jumlah orang Rusia yang terinformasi dan cukup berani untuk memprotes perang di Ukraina sejauh ini hanya berjumlah ribuan, bukan ratusan ribu.
Puluhan ribu warga, intelektual, dan kritikus politik yang kaya memilih meninggalkan Rusia daripada tetap berada di bawah kendali ketat Putin. Mereka mengungsi ke Istanbul, Tbilisi atau kota-kota di Barat. Fenomena tersebut tidak diragukan lagi akan merugikan Rusia di masa depan. Namun pada saat ini, kepergian mereka semata-mata hanya menghapus kemungkinan adanya oposisi dari kalangan masyarakat.
Tentu saja, sejarah tidak dapat diprediksi. Hanya sedikit pihak yang mengantisipasi pembubaran Uni Soviet pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Jika korban Rusia di Ukraina sebanyak yang telah dilaporkan - 15.000 atau lebih tewas dan tiga kali lipat terluka dalam waktu enam minggu -hasil itu pada akhirnya akan mulai disaring masyarakat meskipun ada penyensoran resmi.
BACA JUGA: Gedung Putih, Uni Eropa: Putin Disesatkan oleh 'Yes Men' di Kubu MiliternyaBisa dibilang, nasib Uni Soviet dikunci pada 1986 setelah pemimpinnya saat itu, Mikhail Gorbachev, melonggarkan cengkeraman besi Partai Komunis pada informasi dan mengarahkan pandangan pada restrukturisasi ekonomi Uni Soviet yang mandek untuk bersaing lebih baik dengan Barat. Saat itu bencana nuklir Chernobyl terjadi, Politbiro - setelah awalnya berusaha menutupi bencana itu - terpaksa mengungkapkannya kepada publik Soviet.
Pada 1988, ketika pekerja Polandia yang setia pada gerakan serikat Solidaritas independen melancarkan serangkaian pemogokan di tambang batu bara dan galangan kapal, Gorbachev memberi isyarat bahwa dia tidak akan campur tangan di salah satu negara satelit utama Uni Soviet itu. Pemimpin Polandia saat itu Jenderal Wojciech Jaruzelski, yang penerapan darurat militer pada 1981 tidak membawa negara itu ke mana-mana, memilih untuk membuka pembicaraan dengan pemimpin oposisi, Lech Walesa. Hasilnya: pemilihan secara demokratis.
Kejadian itu menimbulkan serangkaian efek domino di negara-negara Eropa Timur. Hungaria, Cekoslowakia, Jerman Timur, Bulgaria, Rumania, dan Albania berusaha untuk melarikan diri dari dominasi Soviet dan pemerintahan Komunis. Tak lama kemudian, demam telah menyebar ke negara-negara Baltik yang juga merupakan bagian dari Uni Soviet, dan emosi nasionalis berkobar di seluruh serikat.
Kaum garis keras di Moskow telah melihat cukup banyak upaya kudeta terhadap Gorbachev, tetapi mereka terlambat. Kudeta itu dengan cepat ditangkap oleh Boris Yeltsin. Pada 31 Desember 1991, baik Gorbachev maupun Uni Soviet telah disingkirkan ketika Uni Soviet berakhir.
Putin, pada saat itu seorang agen intelijen di Jerman Timur, hidup melalui peristiwa demi peristiwa dan telah menarik kesimpulan yang tepat untuk mempertahankan kendali saat ini. Bahkan sebelum perang di Ukraina, ia bekerja untuk membentuk opini publik dengan menggambarkan Ukraina sebagai nazi yang mengancam Rusia. Kemudian, dia menekan organisasi media independen dan beberapa kelompok masyarakat sipil yang tersisa.
BACA JUGA: Putin, Zelenskyy, Biden Cerminkan Gaya Kepemimpinan Berbeda dalam Konflik UkrainaBaru-baru ini, dia telah memberlakukan undang-undang anti-media yang represif. UU tersebut melarang media untuk menginformasikan publik Rusia apa pun tentang perang yang bertentangan dengan narasi pilihan Kremlin tentang “operasi militer khusus.”
Selain Gorbachev, satu-satunya pemimpin Soviet yang digulingkan adalah Nikita Khrushchev, yang 11 tahun kekuasaannya berakhir pada 1964.
BACA JUGA: Biden: Perang Rusia-Ukraina Masih Berlangsung LamaKetika dia kembali, menyadari telah kehilangan semua dukungan, Khrushchev setuju untuk lengser dengan alasan fiktif tentang kesehatan yang buruk. Dia segera menjadi nonperson dalam Uni Soviet, dan Leonid Brezhnev mengambil alih kepemimpinan. Namun, sekali lagi pemecatan Khrushchev tanpa insiden berdarah-berdarah adalah unik.
Dia dipaksa keluar oleh rekan terdekatnya di Partai Komunis. Terganggu oleh serangkaian keputusan ekonomi yang membawa bencana, inisiatif yang gagal untuk memasang senjata nuklir di Kuba dan tanda-tanda bahwa Khrushchev bermaksud membangun kultus kepribadian, sesama anggota Presidium Komunis mencelanya dalam pertemuan tertutup saat dia pergi.
Putin dan Kroni
Mungkinkah hal seperti itu terjadi pada Putin saat kondisi ekonomi memburuk, atau jika invasi Ukraina menjadi bencana bagi Rusia?
Tidak seperti Uni Soviet, hanya ada sedikit struktur partai institusional yang dapat campur tangan untuk menggulingkannya. Putin memiliki kroni, teman-teman, dan sekelompok “siloviki”, tidak ada di antara mereka yang sejauh ini berani menunjukkan sedikit pun independensi dari “proyek” perang Putin di Ukraina.
Namun kekalahan di medan perang telah menyebabkan pengurangan tujuan militer, membuat marah dan mengecewakan beberapa pakar anti-Ukraina di TV Rusia.
Tanpa kemenangan total Rusia atas Ukraina, sulit membayangkan dunia akan kembali ke bisnis seperti biasa dengan Vladimir Putin. Dia mungkin akan menemukan dirinya terjepit dalam konflik terbuka dan gerah di perbatasannya. Putin juga mungkin akan menghadapi kebutuhan untuk memaksakan lebih banyak represi di dalam negeri untuk meredam perbedaan pendapat dalam populasi yang membayar konsekuensi ekonomi dari invasi.
Pemimpin yang telah berumur jarang bertahan selamanya atau memiliki kemewahan untuk meninggalkan istana dengan cara mereka sendiri. Baik itu melalui pemilihan umum, pemberontakan atau pemberontakan internal, hari-hari panjang pemerintahan Putin mungkin akan segera berakhir. [ah/rs]