Para remaja Palestina terlihat semelompati trampolin dan melompati rintangan di dalam tenda yang menjulang tinggi di pinggiran Ramallah, pusat keuangan Tepi Barat yang diduduki.
Namun, tantangan tidak hanya dihadapi oleh siswa sirkus di paviliun: direktur sekolah juga menghadapi kesulitan keuangan untuk membeli tenda dari Eropa dan trampolin dari Asia.
"Menghadapi pembayaran internasional menjadi penderitaan bagi kami," kata Mohamad Rabah, kepala Sekolah Sirkus Palestina, menjelaskan proses birokratis yang bisa menunda pengiriman peralatan hingga satu bulan.
Perbankan di wilayah Palestina cukup sulit karena Otoritas Palestina (PA) tengah diperiksa terkait dugaan pembiayaan teror, yang menghambat transaksi.
Sejak 1967, Israel telah menduduki Tepi Barat. Hubungan ekonomi yang kuat memungkinkan dua lembaga pemberi pinjaman Israel berfungsi sebagai bank koresponden di wilayah Palestina.
Namun, situasinya bisa berubah jika Menteri Keuangan Israel dari sayap kanan jauh, Bezalel Smotrich, benar-benar melaksanakan ancamannya untuk memutus hubungan perbankan vital bulan depan.
Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober yang memicu perang Gaza, Israel memberlakukan pembatasan ekonomi terhadap Otoritas Palestina, menahan pendapatan pajak yang dikumpulkan atas nama Otoritas Palestina.
Smotrich mengatakan pekan ini bahwa ia telah mengalihkan $35 juta pendapatan pajak Otoritas Palestina kepada keluarga korban “terorisme”, sebuah tindakan yang dikutuk oleh Amerika Serikat.
Setelah tiga negara Eropa mengakui Palestina sebagai negara pada bulan Mei, Smotrich memberitahu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa ia tidak akan memberikan kompensasi kepada bank-bank yang melakukan transfer dana setelah akhir Juni.
BACA JUGA: Kondisi Ekonomi Sulit, Warga Palestina di Tepi Barat Tak Mampu Beli Hewan KurbanBank Israel, Hapoalim Israel dan Bank Discount, membutuhkan perlindungan hukum yang berakhir pada 1 Juli untuk menghindari sanksi atas transaksi dengan pihak pemberi pinjaman Palestina.
Bank sentral dan kementerian keuangan Israel menolak berkomentar ketika dihubungi oleh AFP.
Krisis Kemanusiaan
Jaringan keuangan yang digunakan untuk membayar impor ke Tepi Barat - termasuk barang-barang penting seperti air, bahan bakar, dan makanan - mengelola transaksi senilai $8 miliar per tahun.
Bisnis Palestina menerima hampir $1,7 miliar per tahun untuk ekspor, menurut Otoritas Moneter Palestina atau PMA.
“Bagi kami, karena perekonomian kami bergantung pada perekonomian Israel, karena Israel mengendalikan perbatasan, dampaknya akan besar,” kata Gubernur PMA Feras Milhem.
Perekonomian Palestina sebagian besar diatur oleh Protokol Paris 1994, yang memberikan kendali eksklusif atas perbatasan wilayah tersebut dengan Israel, termasuk hak untuk mengenakan bea masuk dan pajak pertambahan nilai oleh Otoritas Palestina.
Pendapatan warga Palestina juga terkena dampak dari larangan masuknya pekerja ke Israel dan penurunan tajam dalam pariwisata di wilayah tersebut, termasuk musim Natal yang sepi di Betlehem.
Amerika Serikat telah mendesak Israel untuk memperbaiki kondisi tersebut, dan memperingatkan bahwa memutus jalur perbankan akan berdampak buruk pada perekonomian Tepi Barat.
“Saya yakin hal ini akan menciptakan krisis kemanusiaan jika bank-bank Palestina diputus dari korespondensi Israel,” kata Menteri Keuangan AS Janet Yellen bulan lalu.
Pemerintah negara-negara Barat khawatir kebijakan ekonomi Israel dapat mengganggu stabilitas Tepi Barat.
BACA JUGA: Pengamat: Anggota PBB Harus Berikan Tekanan Diplomatik dan Ekonomi kepada Israel“Sistem perbankan bisa runtuh dan Otoritas Palestina juga bisa runtuh,” kata seorang sumber diplomatik Eropa di Yerusalem kepada AFP yang tidak mau disebutkan namanya.
"Otoritas Palestina berada dalam krisis keuangan dan bisa runtuh sebelum Agustus,” katanya.
Mata Uang Digital
Para pengusaha Palestina mengatakan keuntungan mereka terpukul sejak 7 Oktober.
Imad Rabah, pemilik perusahaan plastik, mengatakan laba bersihnya tergerus 50 persen dalam setahun.
Produser Arak, Nakhleh Jubran, mengatakan bisnis minuman kerasnya anjlok 30 persen pada periode yang sama.
“Kita mengalami perang tradisional di Gaza dan kita mengalami perang ekonomi di Tepi Barat,” kata Jubran.
Musa Shamieh, pemilik perusahaan pakaian perempuan mengatakan kebijakan Israel dirancang untuk mendorong warga Palestina meninggalkan Tepi Barat.
“Mereka ingin kami meninggalkan tanah kami dan mereka tahu akan sulit bagi kami untuk tetap tinggal jika kami tidak bisa berbisnis,” kata Shamieh.
Kebijakan ekonomi Israel yang keras pada akhirnya dapat mendorong para pembuat kebijakan Palestina untuk melakukan perubahan besar-besaran pada sistem moneter.
“Kita perlu menyusun rencana B dalam hal hubungan dagang,” kata Milhem, gubernur PMA.
Yousef Daoud, seorang profesor di Universitas Birzeit di Tepi Barat, mengatakan bahwa wilayah tersebut dapat menggantikan syikal sebagai mata uang de facto dan mendukung alternatif digital.
"Kita bisa menciptakan mata uang digital kita sendiri dengan cara mengumpulkan semua syikal, menerbitkan pound Palestina dalam jumlah yang setara, mempertahankan nilai tukar satu banding satu, dan mengadopsi mata uang digital untuk transaksi Palestina," ujarnya.
"Pada akhirnya, kita akan menghapus syikal itu, entah bagaimana," katanya. [ah/ft]