Kepada Leonard Triyono dari VOA, Pastor Feliks Kosat (FK) berbicara mengenai masalah perdagangan manusia, khususnya di provinsi NTT. Berikut petikannya:
VOA: Pertama, secara singkat, bagaimana pandangan Romo Kosat mengenai kondisi HAM di Indonesia setelah 71 tahun merdeka?
FK: Seperti kita ketahui, negara kita baru saja merayakan hari proklamasinya. Jadi, kita ucapkan dulu selamat hari kemerdekaan walaupun sudah lewat. Cita-cita kemerdekaan, kita tahu, supaya bangsa kita menjadi sejahtera. Tapi dalam kenyataan, satu hal yang masih menjadi beban bagi kita di Indonesia adalah masalah keadilan. Kita melihat masih terjadi banyak ketidak-adilan di berbagai bidang di berbagai provinsi di Indonesia, termasuk di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
VOA: Baik, bahasan mengenai HAM ini tentunya luas sekali dan pasti menjadi topik yang menarik. Tapi kali ini kita berbicara secara spesifik mengenai trafficking in persons atau perdagangan manusia. Pada bulan Juni lalu Departemen Luar Negeri Amerika mengeluarkan laporan tahunan mengenai kondisi perdagangan manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam laporan itu Indonesia termasuk dalam Tier 2 atau lapis ke-2. Ini berarti Indonesia belum sepenuhnya mematuhi standar minimum perlindungan bagi korban perdagangan manusia, tetapi terlihat adanya upaya yang cukup signifikan untuk mencapai standar itu. Bagaimana pendapat Romo Kosat mengenai penilaian ini?
FK: Saya kira Amerika menempatkan pada lapis itu, yang merupakan pemberian perhatian khusus pada Indonesia menyangkut human trafficking adalah penilaian yang bagus karena human trafficking atau perdagangan manusia yang juga disebut sebagai modern slavery (perbudakan modern) itu merupakan satu masalah dunia modern sebenarnya. Mengapa? Karena ada sekitar 20 juta manusia diperdagangkan untuk forced labor (kerja paksa) dan juga untuk sexual exploitation (eksploitasi seksual).
Dari angka 20 juta itu ada sekitar 14 ribu yang dibawa masuk ke Amerika yang tercatat dalam sumber-sumber yang saya temukan, dan itu menyangkut bisnis yang sangat besar, mencakup sekitar 32 juta dollar Amerika. Dari 20 juta orang yang menjadi korban human trafficking, 22 persen terlibat dalam sex industry, diperdagangkan dalam pemenuhan kebutuhan seks. Jadi, human trafficking is a modern slavery, satu situasi yang mendunia, bukan saja di Indonesia. Jadi jika Amerika menempatkan Indonesia pada posisi itu tentu ada alasannya dan kita bisa bicarakan hal itu lebih lanjut.
VOA: Baik, pertanyaan berikut mungkin bisa dianggap terlalu lokal tapi saya kira bisa ditarik menjadi gambaran dan keprihatinan nasional, atau sebagai masalah global seperti yang disebutkan tadi. Lebih spesifik, sesuai pengamatan Romo Kosat sebagai orang yang berasal dari NTT, bagaimana kondisi perdagangan manusia di sana?
FK: Kita mulai dulu secara umum, di Indonesia. Sebenarnya undang-undang untuk penempatan tenaga kerja di luar negeri sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004. Kemudian ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pencegahan tindak pidana perdagangan manusia. Nah, lebih khusus untuk NTT, saya ingin memberikan gambaran mengapa terjadi human trafficking dengan latar belakang seperti berikut.
NTT itu adalah suatu provinsi kepulauan yang meliputi pulau-pulau besar, yaitu Sumba, Flores, Alor dan Timor, di samping pulau-pulau kecil, dan apa yang saya akan bicarakan ini data menyangkut human trafficking di Sumba, Timor dan Flores.
Secara ekonomi provinsi ini termasuk sangat miskin. Pendapatan per orang per minggu menurut data yang saya peroleh antara 17 dolar sampai 25 dolar. Itu perhitungan angka yang tercatat tapi dalam kenyataan ada yang tidak mencapai jumlah itu. Jadi perbedaan kemiskinan dapat terlihat terutama di desa-desa dan sekarang juga di kota, seperti kota Kupang yang menjadi daya tarik tersendiri karena banyak orang muda meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan di sana, dan di kota-kota kabupaten lainnya. Provinsi NTT sebenarnya kaya dengan hasil-hasil hutan seperti jati, cendana, hasil-hasil tambang, hasil-hasil laut, tapi pengembangan ekonominya belum bagus.
Pemerintahan Jokowi memang memberikan perhatian khusus, seperti yang kita lihat paling menonjol adalah hubungan komunikasi. Telkomsel hampir bisa menjangkau semua desa di NTT. Jalan darat, (perhubungan) laut dan udara sekarang sudah lebih bagus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tapi, masalah lain, yaitu kekeringan menjadi bagian penyebab kemiskinan di NTT, dengan curah hujan yang sangat sedikit sehingga panen selalu gagal. Maka setiap tahun di NTT ada kelaparan. Itulah latar belakang situasi di NTT.
Your browser doesn’t support HTML5
VOA: Kondisi ekonomi sering menjadi factor pendorong terjadinya perdagangan manusia. Kembali pada masalah di NTT serta kaitannya dengan situasi kemiskinan seperti yang disebutkan tadi, sebenarnya seberapa memprihatinkan masalah ini di sana?
FK: Tentang human trafficking, NTT itu dikategorikan sebagai daerah yang rawan, darurat, yang perlu penanganan segera. Presiden Jokowi sudah memerintahkan kepada Kapolri agar segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah human trafficking di NTT. Bapak Presiden Jokowi tentu punya alasan mengapa justru Kapolri yang diberi perintah demikian. Dari data yang ada, pertama dari Polda, data itu tidak pernah dipublikasikan, mungkin Polri merasa supaya tidak mengganggu keamanan dalam masyarakat.
Jadi, Polri, terutama Polda NTT, jarang mengeluarkan informasi penanganan kasus-kasus perdagangan manusia. Sebenarnya human trafficking di NTT itu dikatakan sudah darurat karena banyak sekali warga NTT terutama kaum wanita berumur 15 tahun ke atas yang dijadikan TKW ke luar negeri, khususnya ke Malaysia, Singapura, Taiwan, dan negara-negara lain. Nah, data yang ada dari Januari sampai Desember 2015 ada 941 orang yang dikirim yang bermasalah yang setelah diteliti ternyata mereka menjadi korban dari tujuh jaringan pengiriman tenaga kerja. Jaringan itu adalah perusahaan-perusahaan dan juga perorangan. Lalu, tahun 2016, dari Januari sampai Juli ada 726 TKW yang bermasalah. Dari data yang dihimpun, setelah diteliti, sebelum tahun 2015 ada 1,667 TKW korban human trafficking di NTT.
Kalau kita dengar Bapak Jokowi memerintahkan Kapolri, maka masalahnya sudah jelas yaitu bahwa Polri menjadi bagian dari solusi, penyelesaian masalah human trafficking di NTT. Tapi dari data yang ada 10 anggota Polda – ya pribadi tapi bekerja dalam struktur di Bareskrim Polda – diduga terlibat dalam jaringan perdagangan manusia.
VOA: Adakah contoh penindakan terhadap pelanggaran itu?
FK: Ada anggota Polri yang bekerja di Polda NTT, bertugas di bagian kriminal yang bertugas membongkar kejahatan yang melibatkan polisi, tapi anggota itu malah dikriminalisasi. Dia dipenjarakan. Bapak itu adalah Brigadir Polisi Rudy Soik. Dia dipenjarakan dan kemudian dipindahkan dari Polda dan sekarang ditempatkan di Polres TTS. Bapak Rudy Soik ini adalah seorang pejuang yang gigih, jujur, dan punya nurani yang benar, dan dia mau membongkar jaringan kejahatan itu, yang melibatkan PT-PT perekrut TKW tapi juga diduga pimpinan di Reskrim. Karena pimpinan diduga terlibat, dia lalu dipenjarakan dan kemudian dipindahkan. Memang sekarang dia sudah bebas dari penjara. Sekarang masyarakat serta LSM-LSM di NTT menuntut agar Brigadir Polisi Rudy Soik direhabilitasi dan diberi kesempatan untuk membongkar masalah ketidak-adilan dalam penanganan human trafficking di Polda NTT yang diketahuinya.
VOA: Berbicara tentang perdagangan manusia tentu tidak lepas dari upaya perlindungan bagi korban. Dalam kasus Brigadir Rudy Soik tadi, dia ingin membongkar kasus-kasus perdagangan manusia dan dia kemudian menerima hukuman. Dari pihak korban, upaya apa saja yang dilakukan oleh aparat atau pemerintah untuk melindungi mereka?
FK: Tadi saya singgung tentang Undang-Undang tentang Perlindungan Tenaga Kerja Nomor 21 Tahun 2007. Itulah yang hendak diterapkan dengan baik oleh para petugas di seksi pemberantasan human trafficking di Polda NTT yang waktu itu ditangani juga oleh saudara Rudy Soik yang juga dibantu oleh orang-orang lain di LSM, termasuk Bapak Magnus Kobesi. Mereka sangat gigih berjuang membela keadilan bagi para pekerja. Dari tindakan ini menjadi nyata bahwa usaha memberantas human trafficking ini menghadapi kendala termasuk kemungkinan dari dalam Polda sendiri dan juga ada tujuh jaringan yang besar dan luas. Dari sekian banyak kasus di NTT, baru ada satu perusahaan yang dinonaktifkan dan baru ada satu kasus yang diselesaikan. Memang, mereka yang diduga terlibat dalam perekrutan dan pemberangkatan para korban itu sudah ditangkap, termasuk 10 anggota Polda yang terindikasi terlibat dan ada tujuh jaringan dengan indikasi orang-orang yang terlibat sudah diamankan di Polda NTT, tapi kita belum tahu apakah pimpinan mereka juga diusut.
VOA: Bisa diberikan contoh kasus TKW asal NTT yang mengalami masalah di luar negeri?
FK: Ada dua korban yang terakhir. Satu bernama Dolfina Abuk dari Kabupaten TTU (kabupaten Timor Tengah Utara) dan yang paling akhir bernama Yufrida Selan dari Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan), keduanya TKW di Malaysia. Mereka korban pembunuhan di Malaysia dan mayat mereka dikembalikan ke Timor. Dua korban ini sangat mengejutkan karena setelah diperiksa oleh keluarga ternyata organ tubuh mereka hilang, badan mereka penuh dengan jahitan. Keluarga lalu mengadukan itu ke polisi dan pemerintah kabupaten TTU.
Bupati segera bertindak membentuk satuan yang menangani kasus ini, tapi kasus ini berjalan seperti siput di pantai, karena polisi selalu mengatakan TKP-nya di Malaysia dan harus ada kerja sama, harus ditangani oleh Departemen Luar Negeri. Bahkan, orang tua dari Yufrida Selan, petani dari kampung pedalaman, diambil dan dibawa ke Kupang untuk memberikan keterangan. Terakhir saya mendengar orang tua korban Yufrida
Selan dituduh seakan ikut memperdagangkan anaknya. Sayang, ini seperti sudah jatuh ditimpa tangga.
VOA: Tadi dikatakan tekanan ekonomi di NTT cukup memprihatinkan sehingga menjadi salah satu pendorong terjadinya perdagangan manusia. Selain upaya perbaikan ekonomi, apa saja menurut Romo yang perlu dilakukan – mungkin di tataran masyarakat maupun di tataran pemerintah – untuk pencegahan perdagangan manusia ini?
FK: Saya ingin memberikan data lain, dan mengapa masalah ini harus segera ditangani. Ini data dari Keuskupan di Kalimantan karena kebanyakan TKW berangkat ke Kalimantan lalu masuk ke Malaysia dari Nunukan. Dari Kabupaten Flores Timur tahun 2007 ada 27,000 TKW yang lewat Nunukan. Dari Kabupaten Sikka ada 15,000 TKW, dari Kabupaten Ende ada 10,000 TKW, dan dari Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan ada 36,000 TKW yang masuk ke Malaysia melalui Nunukan. Di sana ada masalah besar. Tujuh puluh ribu anak yang lahir di Malaysia tidak punya dokumen kelahiran. Jaminan kesehatan mereka tidak diperhatikan, pendidikan mereka terlantar.
Kita ketahui terjadi kasus-kasus perlakuan kasar terhadap buruh Indonesia, upah tidak dibayarkan sesuai kontrak kerja, dan kebanyakan TKW yang kembali tidak punya masa depan. Mereka tetap miskin, tidak memiliki uang yang cukup untuk bisa hidup di Indonesia, dan sebagian mereka juga menderita atau membawa penyakit HIV/AIDS. Jadi kalau kita ingin membantu para korban, kita harus membela hak-hak mereka. Mereka telah dikorbankan oleh jaringan ini. Para bupati dan gubernur NTT sampai sekarang belum bersuara, masih menunggu siapa yang harus membantu mengatasi TKW di provinsi NTT. Masalah ini sudah darurat, sudah sangat genting karena jumlah korban sudah terlalu besar. Mereka terpaksa berangkat menjadi TKW karena menginginkan hidup yang lebih baik.
VOA: Tadi dikatakan pemerintah daerah belum bersuara, tapi untuk pencegahan seharusnya digalakkan kampanye yang membangun kesadaran masyarakat mengenai praktik migrasi yang aman dan hanya mengikuti prosedur perekrutan yang benar, selain juga menyediakan pelatihan bagi masyarakat yang rentan sebagai target perekrut jahat. Lalu di tataran masyarakat?
FK: Jadi, untuk pencegahan tentu LSM-LSM dan gereja khususnya harus memperhatikan hal ini karena yang berangkat ke luar negeri adalah tenaga-tenaga usia muda, tenaga-tenaga produktif yang sebenarnya harus tinggal di desa dan membangun desa. Kalau tidak, nanti NTT menjadi daerah yang tidak berhuni karena yang tinggal di sana adalah orang-orang tua yang produktivitas kerjanya tentu tidak seberapa dibandingkan dengan tenaga-tenaga muda yang lari ke luar negeri. Dikatakan bahwa mereka lari ke luar negeri karena tidak bisa bersaing dalam pasar tenaga kerja di Indonesia. Ini tidak benar, seakan-akan orang-orang yang pergi ke luar negeri itu tidak punya kualifikasi. Itu nonsense.
VOA: Terima kasih Romo Kosat. Apakah ada pesan lain?
FK: Terima kasih, dan juga terima kasih kepada para pendengar, utamanya di NTT. Kita mencintai NTT dan kita harus berusaha untuk mencegah terjadinya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal. Kita perlu menyebarkan informasi kepada para orang tua untuk melindungi anak-anak mereka, dan gereja di NTT harus mengambil peran lebih aktif, membela hak azasi manusia para pekerja yang ditindas, yang diperlakukan tidak sesuai peri keadilan. [lt]