Pasar senjata global yang tidak diatur dengan baik bisa melumpuhkan pembangunan, menurut laporan organisasi OXFAM di London.
Menurut laporan organisasi bantuan OXFAM, yang berkantor pusat di London, pasar senjata global yang tidak diatur dengan baik bisa melumpuhkan pembangunan. Laporan Oxfam itu dikeluarkan sebelum perundingan internasional mengenai perdagangan senjata dunia dimulai bulan depan di New York.
Deepayan Basu Ray, penasihat kebijakan Oxfam bidang perdagangan senjata, mengatakan, ”Dampak perdagangan senjata yang tidak diatur sangat terasa dalam pembangunan. Negara-negara yang paling rentan dan terkena dampak konflik mengeluarkan biaya sangat besar untuk militer mereka, dan ini sering mencapai tiga kali pengeluaran untuk anggaran belanja kesehatan dan pendidikan”.
Ia mengatakan belanja militer rata-rata negara-negara yang rentan dan terkena dampak perang naik sekitar 15 persen antara tahun 2009 dan 2010.
Laporan Oxfam tersebut menyebutkan bahwa perdagangan senjata global merupakan pedang bermata dua, bisa menyulut dan memperparah konflik bersenjata, dan pada waktu yang sama mengalihkan sumber-sumber dana dari usaha pengentasan kemiskinan.
Oxfam menginginkan agar pembangunan menjadi perhatian utama pada waktu negara-negara mengadakan pertemuan di PBB New York untuk merundingkan Perjanjian Perdagangan Senjata.
Pembicaraan selama sebulan, Juli nanti, bertujuan mencapai perjanjian multilateral untuk mengatur penjualan senjata internasional.
Basu Ray mengatakan, sebagai bagian dari kriteria jual beli senjata apapun, seharusnya negara-negara jangan mengirim senjata kalau senjata-senjata itu akan digunakan untuk merongrong pembangunan ekonomi dan sosial. Katanya, itulah yang terjadi pada waktu lalu.
“Contohnya adalah penjualan peralatan radar kepada Tanzania oleh perusahaan BAE beberapa tahun lalu.Hal itu diketahui pihak penerbangan sipil, bahwa pembelian itu sama sekali tidak patut bagi Tanzania, karena sangat mahal dan bisa mempengaruhi biaya pendidikan untuk jangka waktu 10 tahun mendatang. Jenis perdagangan semacam itulah yang hendak kami hentikan,” paparnya.
Oxfam bukan satu-satunya organisasi yang berusaha keras memperbaiki transaksi perdagangan senjata.
Bulan lalu organisasi HAM Amnesty International yang berkantor pusat di Inggris menjadikannya isu utama dalam laporan tahunannya.
Kepala bagian pengawasan senjata Amnesty Internasional, Brian Wood, mengatakan bahwa hak asasi harus menjadi landasan persetujuan jual beli senjata apapun.
Oxfam mengusahakan pengaturan amunisi bisa dimasukkan dalam perjanjian perdagangan senjata global.
Dalam laporan yang diterbitkan bulan lalu Oxfam menyebutkan, industri amunisi global untuk senjata genggam dan ringan bernilai lebih dari 4 miliar dolar setahun, dan menghasilkan sekitar 12 miliar peluru.
Deepayan Basu Ray, penasihat kebijakan Oxfam bidang perdagangan senjata, mengatakan, ”Dampak perdagangan senjata yang tidak diatur sangat terasa dalam pembangunan. Negara-negara yang paling rentan dan terkena dampak konflik mengeluarkan biaya sangat besar untuk militer mereka, dan ini sering mencapai tiga kali pengeluaran untuk anggaran belanja kesehatan dan pendidikan”.
Ia mengatakan belanja militer rata-rata negara-negara yang rentan dan terkena dampak perang naik sekitar 15 persen antara tahun 2009 dan 2010.
Laporan Oxfam tersebut menyebutkan bahwa perdagangan senjata global merupakan pedang bermata dua, bisa menyulut dan memperparah konflik bersenjata, dan pada waktu yang sama mengalihkan sumber-sumber dana dari usaha pengentasan kemiskinan.
Oxfam menginginkan agar pembangunan menjadi perhatian utama pada waktu negara-negara mengadakan pertemuan di PBB New York untuk merundingkan Perjanjian Perdagangan Senjata.
Pembicaraan selama sebulan, Juli nanti, bertujuan mencapai perjanjian multilateral untuk mengatur penjualan senjata internasional.
Basu Ray mengatakan, sebagai bagian dari kriteria jual beli senjata apapun, seharusnya negara-negara jangan mengirim senjata kalau senjata-senjata itu akan digunakan untuk merongrong pembangunan ekonomi dan sosial. Katanya, itulah yang terjadi pada waktu lalu.
“Contohnya adalah penjualan peralatan radar kepada Tanzania oleh perusahaan BAE beberapa tahun lalu.Hal itu diketahui pihak penerbangan sipil, bahwa pembelian itu sama sekali tidak patut bagi Tanzania, karena sangat mahal dan bisa mempengaruhi biaya pendidikan untuk jangka waktu 10 tahun mendatang. Jenis perdagangan semacam itulah yang hendak kami hentikan,” paparnya.
Oxfam bukan satu-satunya organisasi yang berusaha keras memperbaiki transaksi perdagangan senjata.
Bulan lalu organisasi HAM Amnesty International yang berkantor pusat di Inggris menjadikannya isu utama dalam laporan tahunannya.
Kepala bagian pengawasan senjata Amnesty Internasional, Brian Wood, mengatakan bahwa hak asasi harus menjadi landasan persetujuan jual beli senjata apapun.
Oxfam mengusahakan pengaturan amunisi bisa dimasukkan dalam perjanjian perdagangan senjata global.
Dalam laporan yang diterbitkan bulan lalu Oxfam menyebutkan, industri amunisi global untuk senjata genggam dan ringan bernilai lebih dari 4 miliar dolar setahun, dan menghasilkan sekitar 12 miliar peluru.