Perdamaian di Sudan Selatan Dinilai Masih Sangat Rapuh

Wakil Presiden Sudan Selatan Riek Machar (kiri) dan Presiden Salva Kiir berjabat tangan usai pertemuan di Juba (foto: dok).

Salah seorang pengamat situasi di Sudan Selatan, Siobhan O’Grady, yang pernah mewawancarai mantan pemimpin pemberontak Riek Machar, mengatakan perdamaian di Sudan Selatan saat ini sangat rapuh.

Sudan Selatan yang merdeka tahun 2011, telah mengakhiri perang saudaranya dengan menyatukan para pemimpin kedua belah pihak dalam sebuah pemerintahan transisi sehingga negara itu bisa berfungsi menjelang pemilu dua tahun mendatang.

Presiden Salva Kiir, anggota suku Dinka memerintah bersama Wakil Presiden Pertama, Riek Machar, seorang anggota suku Nuer seperti sebelumnya, dua tahun pertama setelah Sudan Selatan merdeka.

Sejauh ini perdamaian yang mengakhiri konflik lebih dari dua tahun itu masih bertahan sementara Amerika dan negara-negara lainnya memantau dengan seksama.

Salah seorang pengamat situasi di Sudan Selatan itu adalah Siobhan O’Grady penulis majalah Foreign Policy. Penulis yang pernah mewawancarai Machar itu mengatakan perdamaian itu sangat rapuh.

“Keprihatinan utama sekarang adalah apa yang akan terjadi nanti” katanya.

“Momen yang sangat rapuh bagi kedua pihak, dan dengan kembalinya Machar ke ibukota untuk pertama kalinya sejak dimulainya perang saudara pada akhir tahun 2013, apapun bisa terjadi”.

Konflik itu pecah ketika pasukan yang setia kepada Kiir bentrok dengan pasukan di pihak Machar, menuduh tentara Machar merencanakan kudeta terhadap presiden Salva Kiir.

Perundingan perdamaian langsung dimulai di Addis Ababa, Ethiopia, tapi proses tersebut berlangsung sampai bulan Agustus 2015 untuk mencapai apa yang disebut “Perjanjian mengenai Penyelesaian Konflik Republik Sudan Selatan” yang membentuk pemerintah transisi dengan melibatkan kedua pihak. [my/ii]