Perdamaian Papua: Upaya Dialog Seolah Menabrak Tembok

  • Nurhadi Sucahyo

Seorang mahasiswa Papua dengan wajah dicat bendera "Bintang Kejora" meneriakkan slogan-slogan dalam unjuk rasa di depan Istana Kepresidenan di Jakarta, 28 Agustus 2019.

Integrasi Papua ke Indonesia memasuki usia 60 tahun pada 2023 ini. Salah satu persoalan besar yang belum terselesaikan adalah mewujudkan perdamaian di wilayah tersebut. Pendekatan keamanan dikritik, tetapi di sisi lain upaya dialog selalu gagal memberi hasil.

Dr Arie Ruhyanto, peneliti Gugus Tugas Papua (GTP) Universitas Gadjah Mada (UGM), menggambarkan upaya keras lembaga tersebut dalam menciptakan perdamaian di Papua. Kata Arie, GTP UGM aktif terlibat dalam memberikan masukan kebijakan ke pemerintah, yang bersifat top down, seperti pembangunan, kesejahteraan, hingga pemekaran.

“Tapi kita tahu juga, pada saat yang sama sampai sekarang belum berhasil. Kita tabrak tembok terus. Sebagian warga Papua bilang, kita rebus batu. Enggak ada hasilnya sekian lama, secara makro,” ujar Arie dalam diskusi refleksi 60 tahun integrasi Papua di Yogyakarta, Rabu (10/5).

Program-program pemerintah memberikan hasil dalam konteks struktural, misalnya penambahan kualitas dan kuantitas pelayanan publik.

Pelajar Papua memprotes rencana pemerintah membuat enam provinsi baru di wilayah itu, 10 Mei 2022. (Foto: AFP)

Arie mengatakan, “Tapi dalam konteks sosial, dalam lingkup yang lebih luas, justru unintended consequences, konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan, itu juga bertambah. Kesenjangan makin lebar, segregasi makin kuat, deforestasi, isu lingkungan dan macam-macam.”

GTP UGM meyakini perdamaian di Papua tidak bisa diharapkan terwujud dari upaya negara sebagai aktor utama. Negara bertanggung jawab menfasilitasi perdamaian, tetapi bukan satu-satunya juru camai. Justru, juru damai yang nyata berada di tengah masyarakat Papua, seperti para pendidik, tokoh adat dan tokoh agama.

Pemerintah mungkin berhasil dalam pembangunan infrastruktur, seperti jembatan yang menghubungkan antarwilayah. Namun, jembatan sosial perdamaian yang nyata adalah masyarakat. Karena itulah, Arie berkeyakinan, jalan damai versi masyarakat harus diberi ruang lebih luas untuk tampil.

Polisi anti hura-hara menembakkan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi di Jayapura, Papua hari Kamis (29/8). (Antara/Indrayadi TH/via REUTERS )

Upaya Ekstra Masyarakat

Senada dengan Arie, antropolog UGM Dr Laksmi Adriani Savitri meyakini bahwa setidaknya dalam 20 tahun terakhir para akademisi yang berpihak pada isu Papua, konsisten bersuara. Mereka menyampaikan betapa pentingnya dialog dan memperbaiki paradigma pembangunan.

“Tapi yang terjadi adalah kita semua seperti menabrak tembok, toh,” kaya Laksmi.

Laksmi mengibaratkan, yang bisa dilakukan saat ini adalah mengebor tembok itu dalam ukuran kecil. Tembok yang diibaratkan sebagai penghalang dialog damai itu, tidak mungkin roboh dengan sendirinya. Pada praktiknya, mengebor tembok dilakukan masyarakat Papua dengan datang langsung ke pemerintah pusat di Jakarta jika sedang menghadapi persoalan-persoalan yang tidak terselesaikan.

BACA JUGA: Aktivis Pertanyakan Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Papua

“Kalau kita minta Jakarta datang ke Papua untuk mendengarkan persoalan, itu sudah 20 tahun lebih. Itu sulit terjadi. Tapi yang bisa dilakukan adalah, datang ke sana. Tunjukkan bahwa ada persoalan, dan kita minta agar persoalan itu diselesaikan,” urainya.

Datang ke pemerintah pusat bagi masyarakat Papua, kata Laksmi, sejauh ini adalah solusi yang bisa dilakukan dari akar rumput agar suara mereka didengar.

Peran Masyarakat dan Gereja

Tokoh agama Pendeta Leonora Dora Balubun memandang penting keterlibatan masyarakat dan gereja di Papua.

“Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam kebijakan untuk pembangunan. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga melibatkan gereja,” kata Dora, yang juga Sekretaris Departemen Pelayanan Kasih dan Keadilan, Sinode GKI di Tanah Papua.

Pasukan keamanan siaga sementara sebuah gedung terbakar dalam aksi protes rusuh di Jayapura, Papua, Kamis malam (29/8). (Foto: Antara/Reuters)

Gereja memiliki peran penting karena pendeta-pendeta berada di tengah masyarakat hingga ke wilayah pelosok Papua. Para pendeta ini memahami, kebijakan dan pembangunan seperti apa yang tepat guna bagi masyarakat.

“Pemerintah selama ini melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan, menurut pemerintah pusat. Benar masyarkaat Papua membutuhkan pembangunan, tapi pembangunan yang seperti apa,” tambah Dora.

Kebijakan pembangunan tidak bisa diterapkan sama rata di wilayah. Apa yang dilakukan di Provinsi Papua, belum tentu tepat dilakukan di Provinsi Papua Pegunungan atau Papua Barat Daya. Untuk membangun konsep yang tepat, pemerintah harus duduk bersama gereja dan masyarakat. Sehingga, tambah Dora, apa yang diputuskan pemerintah pusat di Jakarta tentang kesejahteraan, betul-betul didasarkan pada pemahaman orang Papua tentang kesejahteraan itu sendiri.

BACA JUGA: Mahasiswa dan Tokoh Agama Minta Operasi Militer di Papua Dihentikan

Dialog Jalan Utama

Sementara Lexie Durimalang, Ketua Kerukunan Keluarga Kawanua, Provinsi Papua Barat Daya berpendapat pendidik juga berperan dalam proses damai di Papua, selain tokoh agama.

“Kami tahu bahwa saudara-saudara kita yang ada di belantara gunung sana, yang selalu melakukan anarki. Saya berpikir bagaimana pendekatan secara persuasif pemerintah dan tokoh-tokoh agama, dan guru-guru,” kata Lexie.

Dia melihat, pendidikan yang kurang menciptakan generasi Papua yang kurang memahami makna kemerdekaan.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) saat berada di salah satu kawasan pegunungan Papua.

Lexie menekankan pentingnya dialog untuk mencari solusi damai sehingga tidak lagi jatuh korban akibat kekerasan, baik di kalangan aparat maupun masyarakat.

“Saya selama di sini sudah 32 tahun, konflik itu terjadi terus-menerus. Inti pokoknya, pemerintah harus berperan aktif membuka dialog,” tandas Lexie.

Rektor Universitas Pendidikan Muhammadiyah, Sorong, Dr Rustamadji M Si meyakini bahwa Papua memerlukan kerja ekstra dan kerja ekstrem.

“Kesabarannya harus ekstra ekstrem, semangatnya juga harus ekstra dan ekstrem. Tidak ada sesuatu yang tidak bisa. Jadi saya pikir, dialog dari hati ke hati ini menjadi hal yang sangat penting bagi kita semua,” tegasnya.

Para mahasiswa dari Provinsi Papua saat berunjuk rasa di Surabaya, 1 Juli 2019. (Foto: AFP)

Janjikan Solusi Terbaik

Sementara itu, sebagai Ketua Badan Pengarah Papua (BPP), Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengadakan pertemuan dengan jajaran lembaga itu pada Selasa (9/5) di Jakarta. Amin meminta penguatan komunikasi publik di daerah, khususnya dengan berbagai kelompok strategis di Papua, untuk meyakinkan bahwa pemerintah benar-benar ingin membangun Papua.

“Tolong dengar aspirasi mereka, dengar apa maunya mereka. Catat dan laporkan segera supaya kita dapat mencari solusi terbaik untuk Papua. Kalau ada usulan, saran, kita catat dan dengarkan,” kata Wapres di hadapan anggota BPP, sebagaimana dikutip dari pernyataan resmi.

Your browser doesn’t support HTML5

Perdamaian Papua: Upaya Dialog Seolah Menabrak Tembok

Karena pemerintahan era ini akan berakhir pada Oktober 2024, Amin mengingatkan soal batas waktu. Seluruh pihak harus mengawal percepatan pembangunan yang strategis, dan menyentuh kebutuhan masyarakat asli Papua. Koordinasi, sinkronisasi, dan harmonisasi program dengan para pemangku kepentingan di daerah menjadi penting.

“Guna memastikan agenda konsolidasi Otonomi Khusus di enam provinsi, terutama penyiapan lahan dan pembangunan kantor pemerintahan baru di empat daerah otonom baru,” ujarnya. [ns/ah]