Kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) kembali bergeliat. Pada Selasa (11/4) KKB diketahui melakukan intimidasi dengan cara mengusir dan mengancam para perempuan agar tak berjualan di pasar wilayah Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah. Kemudian, pada Rabu (12/4) KKB juga mengusir warga di Kampung Mambak Sugapa, Intan Jaya, untuk mengosongkan kampungnya dengan alasan akan berperang dengan aparat keamanan TNI-Polri.
Kedua kejadian tersebut merupakan bagian kecil dari banyaknya aksi teror KKB di wilayah Intan Jaya. Dalam aksinya itu KKB juga kerap memutar balik fakta dan memfitnah dengan memanfaatkan media sosial maupun media massa untuk menyebar propaganda seolah-olah pelakunya adalah TNI-Polri.
Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Kav Herman Taryaman, mengatakan KKB kerap menggunakan cara licik dengan memutar balik fakta ketika melakukan aksi terornya terhadap masyarakat.
"KKB berulah, kami disalahkan. KKB berulah, pemerintah disalahkan. KKB berulah, TNI-Polri disalahkan dan dijadikan sasaran fitnah," katanya, Jumat (14/4).
Herman pun meminta kepada masyarakat agar tidak mudah percaya dengan apa yang disampaikan oleh KKB. Apalagi KKB kerap menyebarkan hoaks.
“Tidak mungkin TNI-Polri menyengsarakan masyarakat. Justru TNI-Polri hadir untuk melindungi masyarakat dan memastikan pembangunan berjalan di Papua," ucapnya.
Kemudian, Kapendam XVII/Cenderawasih juga mengungkapkan KKB pada Jumat (14/4) kembali melakukan intimidasi dan mengancam membunuh warga dan pejabat pemerintah agar tidak datang ke Distrik Agisiga, Intan Jaya.
Ancaman KKB itu dinilai telah membuat masyarakat resah. Namun dengan kehadiran aparat keamanan TNI-Polri dari Satgas Yonif 305/Tengkorak, KKB berhasil diusir dari kampung tersebut.
"KKB selalu meresahkan dan selalu menyusahkan masyarakat. Saat ini masyarakat sudah berani melawan gerombolan KKB termasuk pegawai-pegawai pemerintahan di Intan Jaya," ujar Herman.
Dengan propaganda yang kerap disebar oleh KKB. TNI meminta agar semua pihak termasuk media untuk lebih selektif dan tidak mudah percaya dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh KKB.
"Tidak mungkin aparat keamanan TNI-Polri menyengsarakan masyarakat. Apalagi sampai menembak dan membunuh warga sipil. Yang pasti tugas TNI-Polri membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di wilayah Papua," pungkas Herman.
Bantahan TPNPB-OPM
Sementara itu juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, membantah pernyataan dari TNI tersebut. Bahkan dia malah menuding balik jika TNI-Polri yang melakukan teror di Papua, terutama wilayah Intan Jaya.
“Mereka yang teror dan bunuh orang asli Papua. Itu dilakukan oleh TNI-Polri. Jadi kami bisa memberikan pembuktian, fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa TNI-Polri yang kejam dan brutal terhadap orang asli Papua,” katanya.
Kemudian, KKB juga dilaporkan telah melakukan penembakan terhadap pesawat Asian One Cessna Grand Carava C208B saat mendarat di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, Jumat (14/4). Meskipun dihujani tembakan, pesawat tersebut kembali diizinkan terbang kembali ke Timika.
“Kami berhasil menembak satu pesawat yang mengangkut logistik TNI-Polri. Kami sudah berulang kali menyampaikan kepada pemerintah Indonesia. Namun masih saja kepala batu menerbangkan pesawat masuk di wilayah zona perang,” ungkap Sebby.
Amnesty Internasional: Masyarakat Sipil Paling Terdampak
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, mengatakan masyarakat sipil menjadi pihak yang paling terdampak akibat kekerasan terkait pemberontakan di Papua. Hal itu menunjukkan bahwa pendekatan operasi keamanan sebenarnya tidak tepat untuk dilanjutkan.
“Kematian akibat kekerasan terkait pemberontakan jumlah yang paling besar adalah warga sipil. Itu menunjukkan jelas warga sipil menjadi pihak yang paling terdampak. Tapi juga anggota TNI-Polri serta kelompok pemberontak mengalami kematian yang tidak sedikit,” kata Usman dalam sebuah diskusi, Jumat (14/4).
Usman juga menilai kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua tak bisa dihentikan karena adanya politik labelisasi negara terhadap kelompok-kelompok tertentu.
“Salah satunya karena politik labelisasi negara terhadap kelompok masyarakat di Papua yang melakukan tuntutan-tuntutan politiknya tidak diterima oleh negara. Labelisasi ini mulai dari kriminal, separatis, dan teroris,” ungkapnya. [aa/em]
Forum