Perdana menteri Niger yang diangkat junta militer melakukan kunjungan mendadak ke negara tetangganya, Chad, pada Selasa (15/8). Kunjungan itu dilakukan ketika negara-negara Afrika Barat mengadakan perundingan untuk mempertimbangkan opsi intervensi militer ke Niger, untuk membalikkan kudeta di negara itu, dan ketika Amerika Serikat dan Rusia mendesak solusi diplomatik.
Ali Mahaman Lamine Zeine, warga sipil yang diangkat menjadi perdana menteri oleh junta militer yang menggulingkan Presiden Mohamed Bazoum 26 Juli lalu, tiba di Chad untuk melakukan “kunjungan kerja,” kata pemerintah Chad di laman Facebooknya.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah menemui Presiden Chad Mahamat Idriss Deby Itno, Zeine mengatakan, ia membawa pesan “keramahtamahan dan persaudaraan yang baik” dari pemimpin rezim Niger.
“Kami sedang dalam proses transisi. Kami membahas seluk beluknya dan menegaskan kembali kesediaan kami untuk tetap terbuka dan berbicara dengan semua pihak, namun berteguh pada kemerdekaan negara kami,” katanya.
Deby, pemain kunci di kawasan Sahel, Afrika, yang tidak stabil, sebelumnya terbang ke ibu kota Niger, Niamey, empat hari setelah terjadinya kudeta.
Sejumlah foto menunjukkan Deby berfoto di sebelah Bazoum dan, pada foto terpisah, bersama salah satu pemimpin rezim, Jenderal Salifou Mody.
Kunjungan dadakan Zeine dilakukan beberapa jam setelah sejumlah sumber di kawasan mengatakan bahwa pemimpin militer negara-negara anggota blok regional Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) akan bertemu di Ghana pada Kamis (17/8) dan Jumat (18/8) untuk membahas kemungkinan intervensi di Niger.
Pertemuan itu, yang awalnya dijadwalkan Sabtu (12/8) lalu namun kemudian ditunda, merupakan kelanjutan pertemuan tingkat tinggi ECOWAS pekan lalu, yang menyetujui penerjunan sebuah “pasukan siaga untuk memulihkan tatanan konstitusional” di Niger.
Para analis mengatakan, intervensi militer akan sangat berisiko secara operasional dan berbahaya secara politik, mengingat perpecahan di dalam jajaran ECOWAS sendiri dan kekhawatiran memburuknya ketidakstabilan kawasan Sahel yang sudah kronis.
Meski demikian, opsi pengerahan pasukan militer juga muncul bersamaan dengan desakan blok itu agar solusi krisis dicapai secara diplomatik – skenario yang sangat didukung AS.
“Saya yakin masih ada ruang untuk diplomasi dalam mencapai hasil itu,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken kepada wartawan pada Selasa.
“Tekanan yang diberikan banyak negara, termasuk melalui ECOWAS, terkait para pemimpin militer yang bertanggung jawab mengganggu tatanan konstitusional di Niger semakin meningkat.
“Saya rasa mereka harus memperhitungkannya, serta fakta bahwa tindakan mereka telah mengisolasi mereka dari kawasan dan seluruh dunia.”
Presiden Rusia Vladimir Putin mengimbau resolusi “politik dan diplomatik damai” untuk mengatasi krisis itu, ketika ia berbicara melalui telepon dengan pemimpin junta Mali, Assimi Goita, kata Kremlin pada hari Selasa. [rd/lt]