Perempuan China Berpendidikan Kesulitan Cari Suami

Seorang perempuan memegang papan dalam acara pencarian jodoh di pantai Jinshan, selatan Shanghai (20/7).

Masyarakat China berpendapat bahwa dalam hubungan, laki-laki harus lebih tinggi dalam segala hal, termasuk tinggi badan, usia, pendidikan dan penghasilan.
Xu Jiajie telah melalui banyak sekali kencan buta dan mendatangi acara-acara mak comblang dalam lebih dari lima tahun terakhir untuk mencari suami.

Pada usia 31, pegawai kantoran berwajah anak-anak asal Shanghai tersebut menghadapi tekanan besar dari keluarga dan kawan-kawan untuk menikah. Namun pria yang tepat sulit ditemukan, ujarnya, yang merupakan isu besar bagi perempuan-perempuan China urban, berpendidikan dan berpenghasilan tinggi di sebuah masyarakat dimana status sosial suami secara tradisional ada di atas istri.

“Orangtua saya telah mengenalkan saya pada semua pria lajang yang mereka kenal,” ujar Xu, yang berpenghasilan dua kali lipat gaji rata-rata di Shanghai.

“Setengah dari bujangan yang saya temui pendiam dan tidak pernah bergaul. Pria yang aktif tidak memerlukan kencan buta.”

Bersamaan dengan perayaan festival “Qizi” pada Selasa (13/8), atau hari kasih sayang versi China, Xu dan jutaan perempuan lain sepertinya menghadapi pilihan terbatas karena konsep-konsep yang dipegang teguh mengenai hierarki dalam pernikahan berlawanan dengan perubahan-perubahan ekonomi dan sosial yang melanda negara berpenduduk terpadat di dunia tersebut.

Istilah “shengnu” atau perawan tua, mengacu pada perempuan-perempuan profesional yang belum menikah pada usia akhir 20an.

“Orang-orang China sering merasa bahwa dalam hubungan, laki-laki harus lebih tinggi dalam segala hal, termasuk tinggi badan, usia, pendidikan dan penghasilan,” ujar Ni Lin, yang membawakan acara televisi pencarian jodoh yang populer di Shanghai.

“Hal ini menghasilkan fenomena dimana pria kelas A menikahi perempuan kelas B, pria kelas B menikahi perempuan kelas C dan pria kelas C menikahi perempuan kelas D. Hanya perempuan kelas A dan pria kelas D yang tidak dapat menemukan pasangan.”

Di Beijing, lebih dari sepertiga perempuan berusia akhir 20an dan 30an sedang mencari suami, menurut laman pencarian pasangan Jiayuan.com. Laporan-laporan media mengatakan ada sekitar 500.000 “perawan tua” di ibukota.

Ada banyak pria dalam penduduk China yang mencapai 1,4 miliar orang, namun lagi-lagi status sosial dapat berkonspirasi melawan perempuan profesional yang lajang.

Populasi pria di China cenderung lebih banyak dibandingkan di banyak negara lain karena kebijakan satu anak dari pemerintah dan preferensi kultural atas laki-laki. Sensus terakhir pada 2011 menunjukkan ada dua kali lebih banyak pria lajang yang lahir pada 1970an dibanding perempuan berusia sama.

Namun tidak seperti “perempuan tua,” para “shengnan” atau “bujang lapuk” ini seringkali hidup di kota-kota kecil dan tidak memiliki banyak uang.

Pemerintah kota Shanghai berusaha membantu perempuan-perempuan seperti Xu dengan mengadakan acara-acara perjodohan secara reguler. Salah satunya pada Mei lalu menarik 20.000 pria dan perempuan lajang.

Lucy Wang, seorang guru bahasa China berusia 32 tahun yang mengikuti acara tersebut, mengatakan yang ia temui hanyalah pria mata keranjang atau anak mama.

“Terkadang saya bertanya-tanya apa yang salah dengan saya,” ujarnya. “Ada 20.000 orang dan saya tidak dapat menemukan seorang pun yang saya suka.” (Reuters)