Kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat tajam di Suriah sejak pecahnya perang sipil.
QAMISHLI, SYRIA —
Kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat tajam di Suriah sejak pecahnya perang sipil, menurut aktivis pembela HAM yang berusaha mencatat kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di situasi konflik yang brutal.
Advokat perempuan mengatakan banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang disembunyikan karena adanya rasa malu atau ketakutan bahwa korban akan dibunuh untuk menjaga kehormatan keluarganya. Tapi di wilayah Kurdi, Suriah, para aktivis perempuan mencoba untuk membantu perempuan yang dilecehkan dan mengubah sikap mereka.
Elehma Omar adalah ibu empat anak dan nenek dari seorang gadis berusia tiga belas tahun. Elehma bersama sukarelawan lainnya di pusat perempuan di Qamishli, kota terbesar di bagian utara yang didominasi oleh bangsa Kurdi selama setahun terakhir. Ia mencoba memberikan penyuluhan bagi para perempuan yang dilecehkan dan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Dia juga melindungi gadis-gadis remaja yang dipaksa oleh orang tua mereka untuk menikahi laki-laki yang jauh lebih tua karena alasan ekonomi.
"Saya seorang ibu rumah tangga sebelum perang pecah tapi saya merasa harus membantu perempuan, semua perempuan, baik Kurdi, Arab atau Kristen," ungkapnya.
Di awal minggu ini, bertepatan dengan Hari Internasional untuk Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan, Euro-Mediterranean Human Rights Network mengeluarkan laporan yang mengingatkan bahwa perang di Suriah telah menciptakan keadaan yang memicu kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual. Laporan tersebut memaparkan kasus-kasus perempuan yang diperkosa dalam tahanan, digunakan sebagai perisai manusia selama operasi militer dan diculik untuk menekan dan mempermalukan anggota keluarga. Kekerasan perempuan dan perkosaan digunakan sebagai senjata perang untuk menakuti dan menghukum, demikian menurut laporan.
"Pelecehan perempuan digunakan sebagai taktik untuk mengalahkan pihak lain secara simbolik dan psikologis, menjadikan perempuan target empuk sepanjang konflik berlangsung," menurut laporan.
Di wilayah Kurdi, Suriah, anggota milisi yang berafiliasi dengan Al-Qaida menimbulkan teror sebelumnya di kota-kota dan desa-desa yang mereka duduki sampai mereka diusir oleh pejuang Kurdi. Perempuan seringkali menjadi target.
“Mereka mengaku sebagai Muslim dan punya nilai agama yang ketat terkait penampilan perempuan dan cara mereka berpakaian, tapi apakah bisa disebut Muslim kalau mereka percaya laki-laki bisa meletakkan tangan mereka di kepala seorang perempuan dan dengan mengucapkan Allahu Akbar tiga kali mereka bisa mengklaimnya sebagai istri?" Ini yang dilakukan para jihadis, tambahnya.
Menurut para relawan, di Qamishli dan kota-kota lainnya perempuan diculik oleh jihadis atau kelompok kriminal untuk meminta tebusan dan ketika dikembalikan mereka seringkali sudah diperkosa.
Daerah Timur Laut yang sudah bebas dari para jihadis sekarang relatif tenang karena ada pengamanan yang ditangani oleh People’s Protection Units (YPG). Tapi ini tidak berarti pelecehan perempuan berhenti, menurut Omar. Di masa perang, menurut pengamatannya, perempuan sangat menderita.
Pengantin anak dan pembunuhan demi kehormatan
Perkosaan masih terjadi dan begitu juga dengan pernikahan anak perempuan remaja. Kalau pusat perempuan mendengar ada anak di bawah umur yang akan dinikahkan, mereka biasanya membujuk keluarganya untuk tidak melakukannya.
“Masalah ini ditemukan di seluruh penjuru Suriah, termasuk di wilayah Kurdi. Ada sebuah keluarga yang menjual anak perempuan mereka yang berusia 17 pada seorang laki-laki berusia 70 tahun,” ujar Elehma Omar sambil menggelengkan kepalanya yang tertutup jilbab.
Baginya dan wakilnya, Shehanaz Amin, kasus yang paling mengenaskan adalah kasus perkosaan dan usaha mereka untuk menghentikan pembunuhan demi kehormatan. Sudah ada lima pembunuhan demi kehormatan di Kurdistan Suriah tahun ini tapi para aktivis lokal mencurigai ada lebih banyak dari itu.
Stigma kekerasan seksual berakar di budaya Suriah sebagaimana di seluruh penjuru Timur Tengah; perkosaan adalah hal yang memalukan dan merupakan aib. Bagi para aktifis di pusat perempuan kasus perkosaan menimbulkan dilema besar - prioritas mereka adalah memastikan perempuan yang diperkosa tidak dibunuh oleh keluarganya untuk menjaga kehormatan keluarga. Satu-satunya alternatif, menurut mereka adalah membujuk pemerkosa dan korbannya untuk menikah. Sebuah prospek yang mengerikan dan menyiksa bagi perempuan yang dilecehkan. "Kalau tidak mereka akan dibunuh," papar Amin.
Dilema yang sama juga dihadapi para sukarelawan perempuan di unit polisi Kurdi. Naline Kozi, komandan berusia tiga puluh tahun yang membawahi 50 perempuan di unit keamanan dalam negeri di Qamishli mengatakan dia menangani lima kasus perkosaan dalam beberapa bulan terakhir. "Kami menjaga anak-anak perempuan dari keluarga mereka sampai kami bisa menikahkan mereka," ungkapnya.
“Pilihannya adalah pembunuhan demi kehormatan dan pernikahan. Kita tahu hal ini berat dan tidak adil tapi menurut kami, inilah yang bisa kita lakukan,” keluhnya.
Advokat perempuan mengatakan banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang disembunyikan karena adanya rasa malu atau ketakutan bahwa korban akan dibunuh untuk menjaga kehormatan keluarganya. Tapi di wilayah Kurdi, Suriah, para aktivis perempuan mencoba untuk membantu perempuan yang dilecehkan dan mengubah sikap mereka.
Elehma Omar adalah ibu empat anak dan nenek dari seorang gadis berusia tiga belas tahun. Elehma bersama sukarelawan lainnya di pusat perempuan di Qamishli, kota terbesar di bagian utara yang didominasi oleh bangsa Kurdi selama setahun terakhir. Ia mencoba memberikan penyuluhan bagi para perempuan yang dilecehkan dan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Dia juga melindungi gadis-gadis remaja yang dipaksa oleh orang tua mereka untuk menikahi laki-laki yang jauh lebih tua karena alasan ekonomi.
"Saya seorang ibu rumah tangga sebelum perang pecah tapi saya merasa harus membantu perempuan, semua perempuan, baik Kurdi, Arab atau Kristen," ungkapnya.
Di awal minggu ini, bertepatan dengan Hari Internasional untuk Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan, Euro-Mediterranean Human Rights Network mengeluarkan laporan yang mengingatkan bahwa perang di Suriah telah menciptakan keadaan yang memicu kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual. Laporan tersebut memaparkan kasus-kasus perempuan yang diperkosa dalam tahanan, digunakan sebagai perisai manusia selama operasi militer dan diculik untuk menekan dan mempermalukan anggota keluarga. Kekerasan perempuan dan perkosaan digunakan sebagai senjata perang untuk menakuti dan menghukum, demikian menurut laporan.
"Pelecehan perempuan digunakan sebagai taktik untuk mengalahkan pihak lain secara simbolik dan psikologis, menjadikan perempuan target empuk sepanjang konflik berlangsung," menurut laporan.
Di wilayah Kurdi, Suriah, anggota milisi yang berafiliasi dengan Al-Qaida menimbulkan teror sebelumnya di kota-kota dan desa-desa yang mereka duduki sampai mereka diusir oleh pejuang Kurdi. Perempuan seringkali menjadi target.
“Mereka mengaku sebagai Muslim dan punya nilai agama yang ketat terkait penampilan perempuan dan cara mereka berpakaian, tapi apakah bisa disebut Muslim kalau mereka percaya laki-laki bisa meletakkan tangan mereka di kepala seorang perempuan dan dengan mengucapkan Allahu Akbar tiga kali mereka bisa mengklaimnya sebagai istri?" Ini yang dilakukan para jihadis, tambahnya.
Menurut para relawan, di Qamishli dan kota-kota lainnya perempuan diculik oleh jihadis atau kelompok kriminal untuk meminta tebusan dan ketika dikembalikan mereka seringkali sudah diperkosa.
Daerah Timur Laut yang sudah bebas dari para jihadis sekarang relatif tenang karena ada pengamanan yang ditangani oleh People’s Protection Units (YPG). Tapi ini tidak berarti pelecehan perempuan berhenti, menurut Omar. Di masa perang, menurut pengamatannya, perempuan sangat menderita.
Pengantin anak dan pembunuhan demi kehormatan
Perkosaan masih terjadi dan begitu juga dengan pernikahan anak perempuan remaja. Kalau pusat perempuan mendengar ada anak di bawah umur yang akan dinikahkan, mereka biasanya membujuk keluarganya untuk tidak melakukannya.
“Masalah ini ditemukan di seluruh penjuru Suriah, termasuk di wilayah Kurdi. Ada sebuah keluarga yang menjual anak perempuan mereka yang berusia 17 pada seorang laki-laki berusia 70 tahun,” ujar Elehma Omar sambil menggelengkan kepalanya yang tertutup jilbab.
Baginya dan wakilnya, Shehanaz Amin, kasus yang paling mengenaskan adalah kasus perkosaan dan usaha mereka untuk menghentikan pembunuhan demi kehormatan. Sudah ada lima pembunuhan demi kehormatan di Kurdistan Suriah tahun ini tapi para aktivis lokal mencurigai ada lebih banyak dari itu.
Stigma kekerasan seksual berakar di budaya Suriah sebagaimana di seluruh penjuru Timur Tengah; perkosaan adalah hal yang memalukan dan merupakan aib. Bagi para aktifis di pusat perempuan kasus perkosaan menimbulkan dilema besar - prioritas mereka adalah memastikan perempuan yang diperkosa tidak dibunuh oleh keluarganya untuk menjaga kehormatan keluarga. Satu-satunya alternatif, menurut mereka adalah membujuk pemerkosa dan korbannya untuk menikah. Sebuah prospek yang mengerikan dan menyiksa bagi perempuan yang dilecehkan. "Kalau tidak mereka akan dibunuh," papar Amin.
Dilema yang sama juga dihadapi para sukarelawan perempuan di unit polisi Kurdi. Naline Kozi, komandan berusia tiga puluh tahun yang membawahi 50 perempuan di unit keamanan dalam negeri di Qamishli mengatakan dia menangani lima kasus perkosaan dalam beberapa bulan terakhir. "Kami menjaga anak-anak perempuan dari keluarga mereka sampai kami bisa menikahkan mereka," ungkapnya.
“Pilihannya adalah pembunuhan demi kehormatan dan pernikahan. Kita tahu hal ini berat dan tidak adil tapi menurut kami, inilah yang bisa kita lakukan,” keluhnya.