Mengutip sebuah hasil penelitian, feminis muslimah Dr Musdah Mulia menyebut Indonesia sebagai negara demokratis, tetapi intoleran. Ia mengatakan, dibutuhkan upaya bersama untuk menekan praktik intoleransi, sehingga demokrasi yang sudah dicapai lebih bermakna.
Musdah menawarkan tiga langkah, yaitu pendidikan, reformasi kebijakan dan reintrepretasi ajaran keagamaan.
Pendidikan dalam makna luas penting untuk melakukan upaya rekonstruksi budaya terutama melalui dalam skala keluarga. Perempuan kini menjadi agensi perubahan yang bermakna positif, maupun negatif. Misalnya, dicontohkan Musdah, perempuan juga berperan dalam tindak kekerasan, seperti keterlibatan mereka dalam aksi-aksi terorisme belakangan ini.
“Ketika kita melakukan penelitian tentang radikalisme dan aksi-aksi teroris di Indonesia, perempuan sudah menjadi agensi yang luar biasa. Agenda perempuan dalam dunia terorisme itu menarik. Semakin kuat. Jadi, sekarang bagaimana mengubah agensi perempuan dalam upaya membangun pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai perdamaian dan nilai toleransi,” ujarnya.
Upaya kedua adalah reformasi kebijakan. Musdah memberi contoh, upaya gerakan aktivis perempuan untuk mendukung SKB 3 Menteri terkait seragam sekolah yang disambut sekitar 1.200 lembaga. Aktivis perempuan harus terus mendesak pemerintah mencabut aturan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan. Dilaporkan ada sekurangnya 400 produk hukum yang perlu dikaji terkait ini, dan sebaiknya tidak dilakukan satu persatu.
Sementara upaya reintrepretasi ajaran keagamaan penting, terutama kata Musdah, karena Menteri Agama saat ini cukup progresif dalam hal ini. Negara, ujarnya, memang sebaiknya tidak melakukan pemaksaan seperti di era Orde Baru, tetapi upaya ke arah itu tetap harus dilakukan.
“Negara harus mampu membuat interpretasi-interpretasi keagamaan yang kondusif, yang kompatibel dengan nilai kemanusiaan, itu menjadi interpretasi yang dominan. Menjadi interpretasi mainstream di masyarakat. Pasti ada cara,” tambahnya.
Tawaran itu disampaikan Musdah Mulia dalam diskusi daring 36 tahun Kalyanamitra: Gerakan Feminis dan Isu Keberagaman di Indonesia. Diskusi diselenggarakan pada Rabu (31/3) oleh lembaga tersebut, untuk memperingati kiprahnya dalam gerakan feminisme di Indonesia sejak 1985.
Feminisme dan Radikalisme
Salah satu pendiri Kalyanamitra, Myra Diarsi, juga menyinggung isu radikalisme di tengah pembicaraannya mengenai feminisme di Tanah Air. Dia menyitir pertanyaan krusial, apakah gerakan fundamentalisme dan radikalisme menjadi ancaman bagi feminisme?
Myra memberi jawaban singkat untuk membalikkan kekhawatiran. Feminisme, ujarnya, adalah perlawanan terhadap tindakan dan praktik diskriminasi serta penindasan.
“Maka harus dibalik. Feminisme itu adalah cara berpikir dan juga cara melawan yang tepat untuk mengalahkan semua fundamentalisme, radikalisme, dan lain-lain,” ujar Myra.
Fundamentalisme dan radikalisme menekan perempuan dari hal sederhana, seperti cara mereka tampil. Awalnya pakaian adalah anjuran atau perkenalan, tetapi dalam proses panjang hal itu kemudian berubah menjadi kewajiban. Lebih jauh lagi, upaya mewajibkan model pakaian itu kemudian juga disertai intimidasi atau bahkan persekusi untuk mereka yang tidak bersedia.
BACA JUGA: KONEKSI, Jembatan Digital Bagi Perempuan Korban Kekerasan“Sampai kepada hal yang paling ekstrem. Kita terkaget-kaget sejak empat tahun terakhir, bahwa pelaku bom bunuh diri, terorisme, sudah mewujud, mengambil gender perempuan,” ucapnya.
Myra mengingatkan apa yang terjadi dalam peristiwa bom Surabaya 2018, di mana seorang ibu tega mengorbankan empat anaknya. Sementara dalam tragedi Makassar, salah satu pelakunya adalah seorang istri yang masih muda. Padahal, perempuan adalah perawat kehidupan.
“Tetapi kini sudah masuk sampai pelaku bom bunuh diri, dan bahkan menghabisi kehidupan.
Itu dimulai dari yang ringan sampai ekstrem, dan ini membuat perempuan lagi-lagi ditempatkan sebagai bukan manusia, tetapi sebagai obyek, sebagai sasaran tembak, atau korban yang sangat empuk,” tambah aktivis perempuan ini.
Kiprah Kalyanamitra
Ratna Saptari, salah satu pendiri Kalyanamitra yang kini mengajar di Belanda, menyebut feminisme bukan isu baru bagi perempuan Indonesia. Kartini bahkan sudah bersinggungan dengan para feminis Belanda melalui surat-surat yang dikenal sampai sekarang.
“Saya masih ingat, dulu waktu Kalyanamitra awalnya berdiri, kita ngomong feminisme itu kan Barat. Padahal, Kartini sejak jaman dulu sudah feminis, sehinga itu juga menjadi bagian dari sejarah kita sendiri,” papar Ratna.
Your browser doesn’t support HTML5
Kalyanamitra adalah salah satu organisasi perintis dalam isu feminisme di Indonesia. Ita Fatia Nadia, Ketua Kalyanamitra periode 1992-2001, menyebut lembaga itu berdiri dari satu ruang yang tidak kosong. Perintisnya adalah sekumpulan aktivis mahasiswa kelas menengah di Universitas Indonesia, yang juga para sahabat Fatia.
Kumpulan mahasiswi ini sering mendiskusikan persoalan-persoalan sosial, politik, dan isu perempuan sejak 1983. Perhatian terbesar mereka adalah tentang bagaimana Orde Baru memposisikan perempuan sejak runtuhnya pemerintahan sebelumnya.
“Tahun 1983 sampai 1985 itu adalah pematangan dalam diskusi-diskusi. Saya sering datang ke mereka. Saya orang kampung dari Yogya, mahasiswa UGM yang unyu-unyu, datang naik bus kota, duduk, berdiskusi dengan mereka,” kenang Fatia.
Grup diskusi mahasiswi ketika itu menjadi penting perannya, kata Fatia, karena belum ada yang membicarakan isu-isu perempuan secara kolektif. Apa yang menjadi pusat kajian pun berubah seiring waktu. Mulai tema-tema peran perempuan dalam rumah tangga pada pertengahan 80-an, hingga isu buruh perempuan tahun 90-an, dan isu-isu lain yang terus berkembang hingga saat ini. [ns/ab]