Pandemi COVID-19 mempersulit perempuan korban kekerasan mengakses bantuan hukum, karena berbagai pembatasan. Kini lahir KONEKSI, plaform digital yang menghubungkan mereka langsung dengan penasihat hukum.
Sandra Hamid dari The Asia Foundation (TAF) menyebut, KONEKSI adalah hasil kolaborasi mereka bersama Hukumonline.com, dengan bantuan dana dari pemerintah Amerika Serikat melalui USAID. Dia menyampaikannya, dalam peluncuran daring KONEKSI dan diskusi Akses Keadilan Melalui Teknologi bagi Perempuan Korban Kekerasan, Selasa (16/3).
“KONEKSI adalah digital platform yang memberi kesempatan kepada perempuan-perempuan korban kekerasan, dengan para ahli, para lawyer, para advokat, yang bisa memberi mereka nasihat-nasihat hukum,” ujar Sandra.
Heather C. Variava, dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengatakan, KONEKSI adalah langkah maju dalam layanan hukum pro bono atau tanpa biaya. Kehadirannya menjadi lebih penting di tengah pandemi ini. Amerika Serikat sendiri telah berkomitmen dalam memberikan perlindungan warga negara, baik di dalam negeri maupun di negara-negara lain.
“Keadilan bagi seluruh rakyat adalan cita-cita yang mulia, namun butuh langkah-langkah kongkret untuk bisa diwujukan, terutama bagi orang-orang yang paling membutuhkan, termasuk kaum miskin, perempuan, anak dan kelompok marjinal lainnya,” tambah Heather.
Heather mengutip data Komnas Perempuan yang menyebut, di Indonesia setiap hari terjadi 822 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2020. Lembaga ini juga mencatat ada satu anak dan perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap 40 menit.
Angka ini memang tidak menggambarkan keseluruhan kasus kekerasan perempuan. Baik di Indonesia, Amerika Serikat maupun seluruh dunia, kata Heather, perempuan cenderung menyembunyikan penderitaan mereka. Risiko sanksi sosial dan ancaman fisik membuat mereka tidak melaporkan kekerasan yang dialami dan pandemi COVID-19 memperparah kondisi ini.
“KONEKSI mewakili pendekatan inovatif untuk membantu perempuan agar dapat bebas dari batasan mencari bantuan hukum yang layak mereka terima, demi mencapai keadilan,” tambah Heather.
Platform digital ini berhasil menggabungkan niat baik para advokat untuk membantu perempuan dengan solusi teknologi. KONEKSI, ujar Heather, masih bisa membantu memerangi kekerasan terhadap perempuan di tengah pandemi global.
Platform Sederhana Tetapi Efektif
Salah satu advokat yang tergabung dalam KONEKSI, Ade Novita, menilai platform yang dibangun TAF dan Hukumonline ini sederhana. Pelaporan bisa dilakukan dengan percakapan, platform juga tidak perlu diunduh, tidak perlu disimpan dalam telepon genggam, dan bisa dibuka menggunakan beragam jenis gawai. Pelapor cukup masuk ke laman justika.com/koneksi.
“Saya sebagai advokat merasa ini adalah salah satu jalan keluar, ketika korban kekerasan hanya bisa mengadu pada saat dia tidak bersama pelaku. Ketika dia membutuhkan hal-hal yang lebih silent atau fleksibel waktunya,” kata Ade.
Pelaporan dapat dilakukan setiap saat, ketika pelapor merasa aman. Advokat yang terlibat akan merespons, dan merekomendasikan langkah-langkah yang sebaiknya diambil pelapor. Dalam kondisi tertentu yang mendesak, misalnya korban dalam keadaan terluka, tindakan segera akan diambil.
Satu hal yang pasti, pelapor disarankan berada dalam kondisi aman ketika membuat laporan. Jika tinggal bersama pelaku, laporan dapat disampaikan ketika pelaku pergi, tidur, atau ketika pelapor sendirian, seperti di kamar mandi.
APEKSI Sambut Baik
Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Indonesia (APEKSI), Bima Arya Sugiarto, mengatakan ada dua agenda penting terkait kekerasan terhadap perempuan, yaitu edukasi dan advokasi.
“Kenapa edukasi? Karena berdasar pengalaman para kepala daerah, salah satu yang menjadi persoalan adalah terbatasnya pemahaman dari warga, tentang definisi, nomenklatur atau pemahaman kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan terhadap perempuan,” ujar Bima yang juga Wali Kota Bogor.
Selama ini, perempuan mayoritas hanya menyebut kekerasan fisik sebagai bentuk kekerasan yang diterimanya. Kekerasan psikis dan seksual, kata Bima, belum dianggap sebagai persoalan yang butuh pembelaan.
Secara khusus, di Kota Bogor selama pandemi ini terjadi peningkatan laporan kasus kekerasan psikis, sementara laporan kasus kekerasan fisik dan seksual menurun. Bima menduga, tekanan sosial dan ekonomi dalam rumah tangga selama pandemi menyumbang peningkatan ini. Fenomena tersebut dinilai membuktikan bahwa sebagian perempuan telah teredukasi, sehingga tergerak untuk melaporkan kekerasan psikis yang mereka alami.
Dalam upaya advokasi, Bima mengaku seluruh pemerintah daerah telah memiliki wadah penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Mereka menyediakan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, di mana para korban bisa didampingi.
“Namun kita harus pahami bersama, bahwa Aparatur Sipil Negara dalam struktur Organisasi Pemerintah Daerah memiliki banyak keterbatasan,” kata Bima.
Bima juga mengatakan, UU 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, belum maksimal diturunkan dalam aturan teknis di daerah. Selain itu, ada beberapa aturan hukum yang saling bertentangan terkait isu ini.
“APEKSI optimis dengan diluncurkannya KONEKSI ini akan mempertemukan semua yang berkepentingan, yaitu warga, pemerintah, dan praktisi hukum yang memiliki kepentingan terkait agenda pro bono dan agenda penegakan HAM, khususnya terhadap perempuan,” ujar Bima.
KONEKSI diharapkan akan bekerja sama dengan pemerintah kota anggota APEKSI, dan karena itulah mereka terlibat dalam peluncurannya. [ns/ab]