Pergantian kepemimpinan mendatang di Korea Selatan menimbulkan ketidakpastian dan sekaligus kesempatan bagi hubungannya dengan Korea Utara yang terkucil.
SEOUL —
Dalam kemunculan awalnya pada hari pertama sebagai presiden terpilih, Park Geun-hye dari Partai Saenuri, mengunjungi taman makam pahlawan Korea Selatan untuk memberi penghormatan kepada tiga presiden, termasuk ayahnya.
Park membakar dupa di pusara orang tuanya. Peristiwa itu menandai pergantian yang pedih bagi presiden berusia 60 tahun yang terpilih secara demokratis, akhirnya melepaskan diri dari warisan kediktatoran ayahnya.
Kekuasaan Park Chung-hee yang berlangsung lama, dimulai dengan kudeta militer tahun 1961, berakhir tahun 1979 ketika ia dibunuh oleh kepala dinas intelijennya.Presiden terpilih itu juga kehilangan ibunya tahun 1974 yang tewas ditembak oleh mata-mata yang didukung Korea Utara.
Korea Utara merupakan perhatian utama Park pada hari pertamanya sebagai presiden terpilih.
Dalam pidatonya, Park mengumumkan, keamanan nasional akan menjadi prioritas utama pemerintahannya.Park mengatakan “peluncuran misil jarak jauh Korea Utara secara simbolis menunjukkan betapa buruknya situasi keamanan” yang dihadapi Korea Selatan.
Korea Utara, pada tanggal 12 Desember, meluncurkan roket untuk menempatkan satelit di antariksa. Dalam pidato yang ditayangkan di televisi hari Kamis, presiden terpilih itu juga berjanji akan membuka era baru di Semenanjung Korea, berdasarkan keamanan yang tangguh dan diplomasi berdasar kepercayaan.
Dalam kampanye, Park berbeda dari saingan utamanya, Moon Jae-in dari Partai Persatuan Demokrasi, yang berjanji akan mengadakan pertemuan tanpa syarat dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Park mengatakan Korea Utara pertama-tama harus meminta maaf atas provokasi militernya baru-baru ini.
Korea Selatan menuding Korea Utara melakukan serangan torpedo tahun 2010 terhadap salah satu kapal angkatan lautnya yang menewaskan 46 tentara. Kemudian dalam tahun yang sama, Korea Utara membombardir pulau di perbatasan di mana terdapat pangkalan militer Korea Selatan. Serangan itu menewaskan empat orang, termasuk dua warga sipil.
Bulan lalu, kantor berita Korea Utara KCNA memperingatkan bahwa sikap Park mengenai diplomasi, keamanan, dan kebijakan penyatuan yang dinyatakan dalam kampanyenya “hanya akan mengakibatkan konfrontasi dan perang.”
Park membakar dupa di pusara orang tuanya. Peristiwa itu menandai pergantian yang pedih bagi presiden berusia 60 tahun yang terpilih secara demokratis, akhirnya melepaskan diri dari warisan kediktatoran ayahnya.
Kekuasaan Park Chung-hee yang berlangsung lama, dimulai dengan kudeta militer tahun 1961, berakhir tahun 1979 ketika ia dibunuh oleh kepala dinas intelijennya.Presiden terpilih itu juga kehilangan ibunya tahun 1974 yang tewas ditembak oleh mata-mata yang didukung Korea Utara.
Korea Utara merupakan perhatian utama Park pada hari pertamanya sebagai presiden terpilih.
Dalam pidatonya, Park mengumumkan, keamanan nasional akan menjadi prioritas utama pemerintahannya.Park mengatakan “peluncuran misil jarak jauh Korea Utara secara simbolis menunjukkan betapa buruknya situasi keamanan” yang dihadapi Korea Selatan.
Korea Utara, pada tanggal 12 Desember, meluncurkan roket untuk menempatkan satelit di antariksa. Dalam pidato yang ditayangkan di televisi hari Kamis, presiden terpilih itu juga berjanji akan membuka era baru di Semenanjung Korea, berdasarkan keamanan yang tangguh dan diplomasi berdasar kepercayaan.
Dalam kampanye, Park berbeda dari saingan utamanya, Moon Jae-in dari Partai Persatuan Demokrasi, yang berjanji akan mengadakan pertemuan tanpa syarat dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Park mengatakan Korea Utara pertama-tama harus meminta maaf atas provokasi militernya baru-baru ini.
Korea Selatan menuding Korea Utara melakukan serangan torpedo tahun 2010 terhadap salah satu kapal angkatan lautnya yang menewaskan 46 tentara. Kemudian dalam tahun yang sama, Korea Utara membombardir pulau di perbatasan di mana terdapat pangkalan militer Korea Selatan. Serangan itu menewaskan empat orang, termasuk dua warga sipil.
Bulan lalu, kantor berita Korea Utara KCNA memperingatkan bahwa sikap Park mengenai diplomasi, keamanan, dan kebijakan penyatuan yang dinyatakan dalam kampanyenya “hanya akan mengakibatkan konfrontasi dan perang.”