Di tengah prahara ekonomi yang melanda akibat pandemi COVID-19, sejumlah waria di Yogyakarta kesulitan dalam mengakses bantuan yang diberikan oleh pemerintah.
Ketiadaan KTP membuat mereka hanya bisa berpuas diri dengan tidak mendapat jatah bantuan yang disediakan walaupun tekanan ekonomi semakin mendesak.
“Faktanya, dari 183 transpuan, di pandemi fase pertama hanya lima orang yang telah terdaftar sebagai penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hanya itu,” kata Rully Mallay, Koordinator Waria Crisis Center (WCC) dan relawan di Yayasan Kebaya Yogyakarta, pada Rabu (18/5).
Rully menceritakan pengalamannya tersebut di hadapan para jurnalis, yang mengikuti workshop Potret Pelanggaran HAM dan Praktik Baik Kelompok Minoritas di DIY dan Jawa Tengah. Dalam pertemuan seri ketiga, Rabu (19/5), perwakilan pemerintah, kelompok waria dan kelompok penghayat datang sebagai pembicara.
Sejumlah upaya dilakukan untuk mempermudah akses bagi kelompok marginal seperti waria untuk bisa mendapatkan kartu identitas agar dapat mengakses layanan pemerintah.
Sebagai wilayah yang menjadi tempat di mana sejumlah besar waria mengadu nasibnya, Yogyakarta terus mengupayakan kemudahan pengurusan KTP bagi anggota kelompok terpinggirkan tersebut.
“Karena ada diskriminasi dari keluarga, dari masyarakat sekitarnya, akhirnya dia lari ke Yogya, tanpa membawa dokumen. Kita tetap welcome dan akan kita data. Namun, ada syaratnya, sesuai ketentuan yang berlaku, yaitu bahwa saudara kita, waria itu di Yogya ada pengampunya,” ujar Septi Sri Rejeki, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta.
Pengampu adalah seseorang yang bertindak sebagai penerima seorang waria ketika datang pertama kali ke Yogyakarta. Setelah tinggal beberapa lama, waria yang tidak memiliki KTP ini akan diurus data kependudukannya oleh sang pengampu. Waria akan masuk dalam Kartu Keluarga (KK) milik pengampu.
BACA JUGA: Transpuan di Indonesia, Sulit Akses Layanan Publik“Pengampu adalah penjamin. Alamat yang dipakai untuk berada disitu, di bawah naungan, di bawah pengampuan dari keluarga tersebut,” lanjut Septi.
Pengampu harus pribadi, dan tidak bisa diperankan oleh organisasi, seperti Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO). Selain itu, waria juga harus menggunakan nama asli dari pengurusan dokumen resmi.
Kebijakan Lokal Menentukan
Menurut Rully, pengalaman menunjukkan pendekatan pemerintah daerah bisa berbeda dalam menentukan perlakuan pemberian layanan pada kelompok yang terpinggirkan. Faktor yang menentukan diantaranya adalah kemauan politik dan figur pejabat di masing-masing pemerintah daerah.
“Ada stigma yang masih melekat, karena subordinasi yang lahir dari stereotipe di masyarakat. Kita tidak bisa menyalahkan siapapun. Ini adalah persoalan negara kita, karena isu pemenuhan HAM selalu berkelindan dengan persoalan politik. Ada political will yang tidak sampai di situ,” kata Rully.
Rully adalah aktivis yang sudah puluhan tahun berjuang menyetarakan hak-hak bagi waria di Indonesia. Menurutnya, kondisi saat ini adalah buah perjalanan panjang kelompok waria dan lembaga-lembaga yang mendukung mereka.
Yogyakarta relatif cukup ramah bagi waria yang datang tanpa dokumen kependudukan. Rully mengaku memiliki sejumlah pengalaman terkait ini. Satu kali, ia mengurus data kependudukan bagi 15 waria dari berbagai daerah di wilayah selatan Jawa Tengah, yang akan masuk ke Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Para waria itu, kata Rully, tidak memiliki selembar pun dokumen pendukung asli, dan semua proses pengurusan KTP bagi mereka dapat selesai dalam satu bulan. Begitupun kota Yogyakarta, sejak awal telah menetapkan kebijakan yang responsif.
“Di kota Yogyakarta, jauh sebelum ini, sejak 2003 kami sudah difasilitasi surat kepindahan penduduk. Pengurusan surat-surat tidak ada hambatan apa-apa,” kata Rully.
Penting Bagi Penghayat
Sementara itu bagi penghayat kepercayaan, urusan KTP memiliki kerumitannya tersendiri. Di bidang pendidikan misalnya, menurut Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Yogyakarta Bambang Purnomo, KTP menjadi penentu dasar penyediaan layanan.
“Karena ketika anak masuk sekolah, yang dilihat KTP-nya orangtua. Kalau KTP orang tua itu sudah kepercayaan, maka sekolah itu sudah langsung mencari guru yang berbasis kepercayaan. Dan ini sudah berjalan di sejumlah sekolah kota Yogyakarta,” kata Bambang.
Namun, di wilayah pelosok Bambang mengaku kondisinya berbeda. Anak-anak yang orang tuanya ber-KTP penghayat, justru tidak diterima bersekolah di lembaga pendidikan swasta.
“Masih ada celah-celah yang bisa merugikan anak didik yang lokasinya ada di daerah terpencil. Ini harus dibenahi oleh pemerintah,” tambahnya.
Di kalangan penghayat sendiri, KTP biasanya diisi dengan salah satu agama resmi di Indonesia pada kolom yang tersedia. Meski negara memberi ruang saat ini untuk mengisi kepercayaan di kolom tersebut, tidak semua penghayat melakukannya.
Your browser doesn’t support HTML5
MLKI meyakini sejumlah alasan keputusan itu, termasuk sikap para penghayat sendiri yang memandang KTP hanya sebagai alat administrasi. Selain itu, khusus bagi penghayat yang telah berusia lanjut, mereka sudah merasakan kenyamanan dengan status lamanya.
Faktor keluarga juga menjadi penentu.
“Suaminya sudah penghayat, tetapi istrinya belum. Sehingga mau berubah itu susah. Kalau bilang ke istrinya, diminta tidak usah diganti dulu,” jelas Bambang.
Faktor yang lain adalah larangan anggota keluarga, karena tidak mau ada respon negatif dari lingkungan sekitar. [ns/rs]