Sebuah penelitian menunjukkan kemungkinan hubungan antara stres pada masa kanak-kanak dan perubahan otak yang mungkin menjelaskan perilaku kekerasan ketika mereka dewasa.
Tim peneliti Swiss menemukan bukti bahwa perubahan neurologis yang tampaknya disebabkan oleh perlakuan kasar atau peristiwa stres pada masa kanak-kanak dapat memicu perilaku agresif pada masa dewasa.
Ilmuwan-ilmuwan di Ecole Polytechnique Federale de Lausanne (EPFL) di Swis meneliti dampak stres psikologis pada 43 tikus muda.
Salah seorang penulis penelitian itu, Guillaume Poirier, mengatakan tim peneliti mendapati bahwa anak tikus yang dihadapkan pada situasi menakutkan selama perkembangan awal mereka, lebih agresif ketika dewasa dibandingkan tikus normal. Ketika Poirier dan rekan-rekannya mengamati aktivitas otak tikus yang stres dan membandingkannya dengan otak tikus normal, mereka menemukan perbedaan besar dalam dua bagian otak yang berhubungan dengan perilaku agresif, korteks orbitofrontal dan amigdala.
Ia memaparkan,"Kita dapat berpikir tentang amigdala sebagai pusat untuk emosi, dan korteks orbitofrontal lebih berperan dalam proses pengambilan keputusan."
Poirier mengatakan ada penurunan aktivitas di korteks orbitofrontal, yang biasanya memiliki efek menenangkan dalam situasi stres dan membantu individu mengatasi emosi negatif.
Pada tikus itu, peneliti juga mengidentifikasi perubahan dalam aktivitas dua gen yang mempengaruhi munculnya emosi agresif.
Salah satu gen. yang disebut MAOA, lebih aktif dalam korteks prefrontal tikus yang stres. Poirier mengatakan obat yang dikenal sebagai penghambat MAOA yang digunakan untuk mengobati depresi pada manusia, menenangkan perilaku agresif dan anti-sosial pada tikus. “Pada kenyataannya, ketika kita memberikan obat ini kepada tikus yang lebih agresif, obat itu menormalkan perilaku. Menunjukkan bahwa jika kita mengalami peristiwa awal kehidupan ini bukan berarti kita pasti mengalami gangguan emosi dan kekacauan," paparnya lagi.
Artikel tentang dampak stres masa kanak-kanak terhadap perilaku orang dewasa yang agresif ini dimuat dalam jurnal Translational Psychiatry.
Ilmuwan-ilmuwan di Ecole Polytechnique Federale de Lausanne (EPFL) di Swis meneliti dampak stres psikologis pada 43 tikus muda.
Salah seorang penulis penelitian itu, Guillaume Poirier, mengatakan tim peneliti mendapati bahwa anak tikus yang dihadapkan pada situasi menakutkan selama perkembangan awal mereka, lebih agresif ketika dewasa dibandingkan tikus normal. Ketika Poirier dan rekan-rekannya mengamati aktivitas otak tikus yang stres dan membandingkannya dengan otak tikus normal, mereka menemukan perbedaan besar dalam dua bagian otak yang berhubungan dengan perilaku agresif, korteks orbitofrontal dan amigdala.
Ia memaparkan,"Kita dapat berpikir tentang amigdala sebagai pusat untuk emosi, dan korteks orbitofrontal lebih berperan dalam proses pengambilan keputusan."
Poirier mengatakan ada penurunan aktivitas di korteks orbitofrontal, yang biasanya memiliki efek menenangkan dalam situasi stres dan membantu individu mengatasi emosi negatif.
Pada tikus itu, peneliti juga mengidentifikasi perubahan dalam aktivitas dua gen yang mempengaruhi munculnya emosi agresif.
Salah satu gen. yang disebut MAOA, lebih aktif dalam korteks prefrontal tikus yang stres. Poirier mengatakan obat yang dikenal sebagai penghambat MAOA yang digunakan untuk mengobati depresi pada manusia, menenangkan perilaku agresif dan anti-sosial pada tikus. “Pada kenyataannya, ketika kita memberikan obat ini kepada tikus yang lebih agresif, obat itu menormalkan perilaku. Menunjukkan bahwa jika kita mengalami peristiwa awal kehidupan ini bukan berarti kita pasti mengalami gangguan emosi dan kekacauan," paparnya lagi.
Artikel tentang dampak stres masa kanak-kanak terhadap perilaku orang dewasa yang agresif ini dimuat dalam jurnal Translational Psychiatry.