Spanyol akan menandai Selasa (23/2) sebagai hari peringatan upaya kudeta militer yang gagal, sebuah momen dalam sejarah yang menandai kemenangan demokrasi atas kekuatan kediktatoran.
Pada tahun 1981, hampir enam tahun setelah kematian Jenderal Francisco Franco yang lama berkuasa, lebih dari 200 tentara bersenjata yang setia kepadanya menyerbu parlemen Spanyol, melepaskan tembakan ke kepala para anggota parlemen yang ketakutan, yang sedang bersiap-siap untuk memberikan suara bagi pemerintahan baru.
Juan Carlos, raja Spanyol pada saat itu, menentang para pelaku kudeta dengan mengadakan siaran langsung TV dan menyerukan penghormatan terhadap konstitusi demokrasi negara itu yang disahkan pada tahun 1978.
Empat dekade berikutnya, Raja Felipe VI akan bergabung dengan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez untuk menandai peringatan tersebut di Kongres wakil-wakil rakyat, atau majelis rendah, yang masih memiliki bekas-bekas tembakan peluru dari upaya kudeta yang gagal.
Namun, terlepas dari transisi Spanyol dari kediktatoran, yang telah dipuji internasional, beberapa di antaranya kini meragukan kredensial demokrasinya.
Perpecahan telah berkembang di jantung pemerintahan koalisi sayap kiri Spanyol tentang apakah Spanyol kini seperti yang digambarkan oleh beberapa orang sebagai demokrasi “penuh”.
BACA JUGA: Langgar Lockdown, Polisi Spanyol Bubarkan 227 Acara WargaPablo Iglesias, wakil perdana menteri dan pemimpin partai sayap kiri Unidas Podemos, mitra junior dalam koalisi pemerintah, mengatakan kepada parlemen minggu lalu, bahwa tidak ada “normalitas demokrasi” di Spanyol.
Iglesias berpendapat bahwa pemenjaraan sembilan politisi pendukung kemerdekaan Catalan atas peran mereka dalam referendum ilegal mengenai pemisahan diri pada tahun 2017 merupakan serangan terhadap kebebasan berbicara. Para penentang kemerdekaan Catalan mengatakan para politisi itu melanggar hukum dan harus memikul konsekuensinya.
BACA JUGA: Dewan Pemilu Spanyol Diskualifikasi Presiden Separatis CatalanPada tahun 2019, sembilan politisi Catalan mendapat hukuman penjara selama sembilan hingga 13 tahun atas peran mereka dalam melakukan pemungutan suara untuk pemisahan diri dan kemudian mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak beberapa minggu kemudian.
Mantan presiden Catalan Carles Puigdemont meninggalkan Spanyol dengan bersembunyi di bagasi mobil dan tinggal di Belgia bersama sejumlah mantan anggota kabinetnya. Ia menghadapi tuduhan menghasut pemberontakan jika kembali ke Spanyol. [lj/uh]