Komnas Perempuan mencatat pada masa pandemi virus corona telah terjadi lonjakan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak kecil. Wakil ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan selain lonjakan jumlah kasus, terjadi pula pergeseran pola dan model kekerasan.
"Terjadi pola kekerasan yang meningkat di masa pandemi yaitu kekerasan berbasis cyber yang membutuhkan pemahanan dan penanganan khusus," jelas Mariana.
BACA JUGA: Pandemi Perburuk Derita Perempuan Korban Bencana dan Konflik di Aceh dan PaluData Kekerasan berbasis cyber atau dunia maya, hingga Oktober 2020, yang diterima Komnas Perempuan menunjukkan 600an kasus. Ini tiga kali lipat dibanding tahun 2019, di mana terdapat 200an kasus.
"Dari kasus kekerasan berbasis cyber ini berkaitan dengan kekerasan seksual, seperti ancaman penyebaran content video intim yang bersifat seksual, yang bisa menjatuhkan mental dan masa depan para korban," ungkap Mariana saat jumpa pers daring Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2020, Selasa (24/11).
Ditambahkannya, data ini bisa jadi lebih besar karena tidak semua korban melaporkan kasusnya.
"Korban KDRT kenapa tidak muncul dalam pengaduan karena mereka kalau nggak datang langsung tidak bisa. Sebelum pandemi, yang sering datang ke sini itu korban kasus KDRT, yang layanan online sedikit sekali. Begitu terjadi pandemi, pengaduan online naik 200 persen dan aduan offline KDRT turun. Ini karena psikologi korban, tidak mau mengadu lewat alat atau online, mereka maunya ketemu langsung, curhat, menangis, komunikasi begitu," ujar Mariana.
Faktor ekonomi, psikologis dan sosial yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan membuat perempuan dan anak paling sering menjadi korban. Kehilangan pekerjaan atau PHK, tekanan beban pekerjaan karena bekerja dari rumah, pendampingan anak sekolah dari rumah, dan tuntutan ekonomi di masa pandemi juga telah memicu gangguan kesehatan jiwa.
Kemenkes Rilis Pedoman Kesehatan Jiwa, Kantor Presiden Luncurkan SEJIWA
Untuk itu Kementerian Kesehatan merilis pedoman dukungan kesehatan jiwa dan psikososial pada pandemi Covid 19. Hal ini diperkuat dengan pernyataan gugus tugas percepatan COVID-19 yang disampaikan Kantor Staf Kepresidenan bahwa persoalan 20 persen masalah yang dihadapi selama perebakan pandemi ini adalah persoalan kesehatan, sementara 80 persen adalah persoalan psikologi.
Kantor Staf Presiden dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menginisiasi Layanan Psikologi Untuk Sehati Jiwa, yang disingkat SEJIWA. Ini merupakan bagian dari upaya pemerintah membantu melindungi kondisi psikologi perempuan dan anak di tengah wabah Covid-19. Pemerintah menilai gangguan jiwa memicu terjadinya kekerasan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Puspayoga mengatakan layanan psikologi menjadi salah satu solusi mengatasi kekerasan di masa pandemi.
"Solusi dari permasalahan kecemasan dan stress masyarakat menjadi penting untuk mendapatkan respon agar tidak menjadi permasalahan sosial baru yaitu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Layanan konseling kesehatan jiwa ini akan memberikan treatment psikologis pada masyarakat, khususnya perempuan dan anak. Kemen PPPA dalam hal ini berkomitmen dalam pemenuhan isu spesifik perempuan dan anak yang terdampak COVID 19,” ujar Menteri PPPA, Bintang Puspayoga saat membuka diskusi daring tentang perempuan dan anak pekan lalu.
Bintang menambahkan layanan psikologis ini bisa digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat dengan cara menghubungi hotline 119 extensi 8.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Pandemi
Guna menggalakkan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan selama masa pandemi, Komnas Perempuan telah membuat serangkaian kegiatan yang melibatkan 150an organisasi dan komunitas perempuan. Kegiatan yang dilangsungkan di 25 propinsi ini berbentuk diskusi daring, talkshow di media radio, TV, dan online, pemasangan baliho dan penyebaran atribut kampanye.
Your browser doesn’t support HTML5
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan fokus kampanye pada desakan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS yang masih terganjal di legislatif.
"Masih ada 3 fraksi lagi selain fraksi pengusung, yang belum mendukung RUU ini. Akhir 2020 ini kita desak RUU ini bisa masuk prolegnas 2021 dan segera disahkan menjadi UU,” pungkas Mariana. [yl/em]