Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menangkap kepala daerah yang diduga terlibat kasus korupsi melalui operasi tangkap tangan. Pada Selasa malam (3/7) Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi ditangkap KPK karena diduga menerima uang suap. Selain kedua kepala daerah tersebut, KPK juga menangkap delapan orang dari kalangan swasta dengan barang bukti uang ratusan juta rupiah.
Data Lembaga Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyebut pada 2018, sudah ada 13 kepala daerah yang tertangkap KPK dalam operasi tangkap tangan.
Direktur Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, kepada VOA mengatakan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi merupakan persoalan sistem sehingga perlu strategi menyeluruh untuk mengatasi hal tersebut.
Hal itu tambahnya bisa dimulai dengan melakukan reformasi partai politik dan juga pendanaan politik itu sendiri. Dia mengatakan persoalan partai politik yang mencalonkan orang yang tidak kredibel, persoalan mahar politik atau jual beli kursi harus menjadi perhatian.
Ongkos politik yang sangat besar, kata Robert, membuat kepala daerah sejak awal sudah terbebani.
Your browser doesn’t support HTML5
“Para kandidat di pilkada khususnya, bukan orang-orang yang mempunyai uang banyak, bukan uang sendiri, mengambil di mana-mana. Jadi hutang budi, hutang politik, hutang finansial yang akan dia bayar setelah dia terpilih. Yang dilakukan kemudian mengambil sumber daya negara, apakah anggaran atau APBD, perizinan usaha, korupsi jabatan atau komersialisasi jabatan. Jadi orang yang sudah beban, ketika terpilih dan masuk pemerintahan itu peluang untuk korup besar,” ujar Robert.
Robert menjelaskan dengan sistem desentralisasi ini, kepala daerah memiliki otonomi kewenangan yang sangat besar dalam mengatur teritorialnya, sementara pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat sangat lemah.
“Pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah hanya formalitas. Dia akan meminta dokumen APBD kemudian dievaluasi, itulah bagian dari pengawasan. Dia minta perda terkait perizinan di situ pengawasan. Satu kali dalam tiga bulan dipanggil ke Jakarta untuk penyuluhan dan sosialisasi, itu tidak ada gunanya. Harusnya pusat akan memasang mata dan telinga di setiap daerah terutama di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam seperti Aceh, Papua, Kalimantan Timur atau daerah yang dinasti politiknya sangat kental. Pengawasan kalau sifatnya menunggu laporan, prosedural, formalistik ya kayak gini,” jelas Robert.
Menurut Robert pemerintah harus menangani masalah korupsi di daerah ini secara serius. Pemerintah, tambahnya, juga harus menempatkan posisi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) atau Inspektorat yang berada di daerah, di atas kepala daerah, bukan di bawah kepala daerah seperti yang selama ini terjadi.
Pertanggungjawaban inspektorat kepada kepala daerah setempat dinilai menjadikan lembaga pengawasan pemerintah daerah tidak independen.
Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo prihatin atas maraknya kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan KPK. Padahal menurutnya sistem tata kelola pemerintahan di daerah sudah baik.
“Sistem sudah bagus, semua kembali ke individunya. Kalau kita melihat ke atas tidak akan cukup. Jangan melakukan manipulasi anggaran. Satu saja kok, jual beli jabatan, perencanaan anggaran yang dipermainkan, bagaimana cara mekanisme tender yang menyangkut barang dan jasa. Itu saja. Tiga (hal) itu dipegang hati-hati,” ujar Tjahyo.
Untuk itu, Tjahyo Kumolo meminta jajarannya dan kepala daerah berhati-hati dengan area rawan korupsi seperti perencanaan anggaran, hibah bantuan sosial (bansos), distribusi pajak, belanja barang dan jasa, termasuk suap menyuap. [fw/lt]