Perlunya Perlindungan Bagi Aktivis Lingkungan Hidup (Bagian 3)

Aktivis Greenpeace menulis Coral not Coal di lambung tongkang batubara di Karimunjawa, sebagai ilustrasi. (Foto: Greenpeace Indonesia)

Jika laporan pertama mengupas kriminalisasi atas warga Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Indramayu yang menolak PLTU batu bara; dan bagian kedua tentang perjuangan warga desa agar bisa hidup tanpa asap batu bara; maka bagian ketiga ini menyoroti upaya perlindungan bagi aktivis lingkungan hidup.

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwank, menilai dua kasus pidana dan pelaporan yang menimpa warga Desa Mekarsari yang menolak PLTU Indramayu 2 berkapasitas 2x1000MW merupakan bentuk pembungkaman terhadap masyarakat. Tiga kasus tersebut adalah kasus pidana kekerasan, kasus pidana penodaan bendera negara dan pelaporan penguasaan lahan.

Menurutnya, Sawin, Sukma, Taryani dan Sukirman serta warga Desa Mekarsari memiliki hak menyampaikan aspirasi yang dijamin konstitusi Indonesia.

"Keberatan masyarakat ini adalah bagian dari hak mereka yang tertuang dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan UU Hak Asasi Manusia serta peraturan lainnya. Ada payung hukum yang jelas bagi masyarakat ketika mata pencaharian dan ruang hidupnya akan terampas," tutur Wahyudin, Sabtu (29/2).

BACA JUGA: Pemidanaan Bagi Mereka Yang Menolak PLTU Indramayu (Bagian 1)

Walhi Jawa Barat juga menemukan sejumlah kejanggalan dalam rencana pembangunan PLTU Indramayu 2 ini. Salah satunya, tidak adanya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan perumusan dokumen perizinan.

“Dalam prosesnya itu terkesan dipaksakan. Karena waktu terakhir kami menggugat, otoritas untuk mengeluarkan izin itu ada di provinsi tapi tiba-tiba bupati yang mengeluarkan,” tambah Wahyudin.

Di samping itu, kata Wahyudin, pembangunan PLTU berkapasitas 2x1000 MW ini juga belum terlalu mendesak. Sebab berdasarkan Rencana usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2019-2020 terlihat reserve margin atau cadangan untuk wilayah Jawa Bali telah mencapai 28 persen, dari daya mampu netto 34.519 MW dan beban puncak netto 16.203 MW. “Jadi kalau bicara masyarakat, masyarakat mana yang membutuhkan?”

GISTET 500 KV Tambun 2 dan SUTET di Bekasi, Jawa Barat. (Foto: Courtesy/PLN)

Jika Hanya Perlu Cadangan 2%, Buat Apa Bangun PLTU Lagi?

Mengutip penjelasan PLN, dalam website esdm.go.id, target reserve margin minimal yang ingin dicapai PLN yaitu sebesar 30 persen di seluruh sistem. Artinya, reserve margin untuk wilayah Jawa-Bali hanya kurang dua persen dan tidak perlu dipenuhi dengan membangun PLTU lagi, khususnya yang menggunakan bahan bakar batu bara.

Iwang mengkritik penggunaan bahan batu bara dapat merusak lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar. Contoh ini dapat terlihat dari kualitas udara di Ibu Kota Jakarta yang dikelilingi PLTU berbahan bakar batu bara.

Walhi menyebut emisi dari PLTU batu bara menyumbang sekitar 20-30 persen di Jakarta. Setidaknya ada 10 PLTU yang sudah beroperasi di sekitar Jabodetabek antara lain PLTU Suralaya, PLTU Labuan dan PLTU Merak Power Station.

PLTU 1 Jawa Barat Indramayu berbahan bakar batubara di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. (Foto: Sasmito)

Greenpeace: Emisi PLTU di Sekitar Jabodetabek Tingkatkan Risiko Kesehatan

Di samping itu, berdasarkan riset Greenpeace pada 2017, emisi dari PLTU yang telah beroperasi dan akan dibangun di sekitar Jabodetabek akan meningkatkan risiko kesehatan masyarakat. Termasuk di antaranya 7,8 anak-anak yang dapat terpapar oleh PM2.5 yang jauh di atas standar WHO. Partikulat (PM2.5) adalah Partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer).

Dampak kesehatan dari polusi diproyeksikan akan menyebabkan 10.600 kematian dini dan 2.800 kelahiran dengan berat lahir yang rendah per tahunnya, dan hampir setengahnya dari dampak ini berada di Jabodetabek.

Wahyudin menambahkan lembaganya bersama organisasi pecinta lingkungan lainnya telah mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menerbitkan peraturan menteri tentang implementasi Pasal 66 Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Nomor 32 Tahun 2009. Ia beralasan pasal yang melindungi para pejuang lingkungan seperti Sawin dan warga Mekarsari lainnya masih sulit diimplementasikan di tingkat masyarakat.

Walhi dan organisasi pemerhati lainnya juga mendorong Komnas HAM untuk mendukung implementasi pasal tersebut guna mengurangi kriminalisasi pejuang lingkungan.

BACA JUGA: Perjuangan Jatayu Bebas dari Asap Batu Bara (Bagian 2)

Prakarsai Pembangunan PLTU, Tapi PLN Mengaku Tak Paham Kasus-Kasus Pemidanaan Warga

Menanggapi soal pemidanaan di Desa Mekarsari, Indramayu, juru bicara PLN Dwi Suryo Abdullah menjelaskan proyek PLTU Indramayu 2 bukanlah milik PLN. Karena itu, ia mengaku tidak memahami kasus-kasus pemidanaan di proyek tersebut.

“Itu proyek independent power producer (IPP). Jadi PLN hanya beli energinya kalau proyek itu nantinya sudah COD,” jelas Dwi Suryo melalui pesan singkat (17/3/2020).

Padahal jika berkaca pada Amdal yang digugat warga, pemrakarsa PLTU Indramayu 2 berkapasitas 2x1000 MW adalah PT PLN Unit Induk Pembangunan Jaringan Jawa Bali.

Plt Bupati Indramayu Taufik Hidayat dan Polres Indramayu Suhermanto melalui pesan singkat dan telepon belum mau menanggapi permintaan wawancara dari VOA terkait penolakan warga dan pemidanaan warga terkait PLTU Indramayu 2.

Ekskavator menimbun batu bara di tempat penyimpanan di sebuah pembangkit di Suralaya, Banten, 20 Januari 2010. (Foto: Ilustrasi/Reuters)

DPRD Mengaku Tak Tahu Menahu

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Indramayu, M Alam Sukmajaya, telah bertemu dengan Jatayu dan meminta penjelasan kepada PLN terkait PLTU Indramayu 1 yang sudah beroperasional dan rencana pembangunan PLTU Indramayu 2. Hasil pertemuan tersebut kemudian ditindaklanjuti ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Beberapa isu yang menjadi pembahasan antara lain tentang pencemaran abu batu bara dan antrean kapal tongkang batu bara di tengah laut, dan dampaknya terhadap nelayan.

Alam mengaku tidak tahu-menahu seputar Amdal PLTU Indramayu 1 dan Amdal PLTU Indramayu 2. Dia berdalih baru duduk di Komisi IV DPRD Indramayu pada periode itu. Karena itu, jelas Alam, DPRD sedang berupaya meminta kedua Amdal tersebut ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Indramayu dan DLH Jawa Barat.

Your browser doesn’t support HTML5

Perlindungan Bagi Aktivis Lingkungan Hidup (Bagian 3)

“Kenapa saya lebih fokus pada PLTU 1 dulu. Besar kemungkinan juga banyak persoalan. Contoh keterkaitan dengan kapasitas batubara yang diproduksi, itu bisa jadi Amdal yang dibuat dengan yang diproduksi bisa lebih besar yang diproduksi. Kemudian penampungan batu bara kita juga belum tahu,” jelas Alam kepada VOA, Selasa (24/3/2020).

Alam menambahkan DPRD nantinya juga akan menelusuri kebenaran tentang adanya upaya kriminalisasi terhadap warga yang menolak rencana pembangunan PLTU Indramayu 2. Namun, ia juga menerima informasi bahwa ada warga yang juga menguasai lahan yang sudah dibebaskan untuk pembangunan PLTU. “Jadi ini yang masih kita telusuri yang benar yang mana dan jangan sampai kita diadu domba dengan yang punya kepentingan,” tambahnya.

Ia menjelaskan hasil penelusuran dan bedah Amdal nantinya akan dibuat menjadi rekomendasi untuk pimpinan DPRD Indramayu, yang selanjutnya akan diberikan ke pemerintah kabupaten

Seorang nelayan berdiri di dekat kapalnya di sungai dekat pembangkit listrik di Cirebon, 18 Oktober 2014. (Foto: Ilustrasi/Reuters)

KLHK Tak Juga Beri Tanggapan

VOA sudah berusaha meminta tanggapan ke sejumlah pejabat KLHK soal dorongan menerbitkan peraturan menteri tentang implementasi Pasal 66 UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009. Namun, belum ada tanggapan dari KLHK soal ini.

Sementara Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan masyarakat yang memperjuangkan lingkungan dan ekonominya dapat dikategorikan sebagai pejuang HAM. Karena itu, dia meminta kepolisian untuk tidak memproses langsung kasus-kasus pidana yang berkaitan dengan mereka. “Sebenarnya kepolisian sekarang ini sudah ada perintah dan menerapkan prinsip restorative justice. Nah ini yang saya kira menjadi problem di beberapa daerah,” jelas Beka Ulung kepada VOA, Senin (13/4/2020).

Beka menambahkan berbagai kendala terjadi karena tak semua polisi di level bawah paham tentang prinsip restorative justice atau pemulihan keadilan dan penerapannya. Karena itu, Komnas HAM akan terus mendorong polisi untuk menerapkan prinsip ini agar tidak langsung menerapkan pidana bagi pejuang HAM.

BACA JUGA: Upaya Pemulihan Ekologi di Tengah Kepungan Tambang

Presiden Didorong Terbitkan Perppu Agar Aparat Tak Bingung

Beka juga mendorong presiden untuk menerbitkan Peraturan Presiden tentang implementasi Pasal 66 UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009. Menurut dia hal itu menjadi penting agar penegak hukum tidak mengalami kebingungan jika menangani kasus-kasus pidana yang berkaitan dengan perjuangan warga dalam melindungi lingkungan hidupnya.

“Bagaimanapun juga normanya sudah sangat baik. Artinya negara benar-benar menempatkan siapapun yang sedang membela haknya itu mendapat perlindungan dan jaminan. Ini norma sudah sangat baik, tapi belum cukup. Karena aparat di bawah harus tahu standard normanya.” [sm/em]