Laporan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyebutkan ekosistem perairan di Laut China Selatan mengalami kerusakan yang sangat parah akibat aktivitas manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Menurut kelompok advokasi kebijakan itu, selain penangkapan ikan secara berlebihan, pengerukan sedimen laut turut menyebabkan kerusakan gugusan terumbu karang yang bernilai tinggi di kawasan itu.
Harrison Pretat, wakil direktur dan rekan Inisiatif Transparansi Maritim Asia di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), yang turut menulis studi itu, menyebut laporan itu menunjukkan data-data terkait kerusakan lingkungan yang terjadi di Laut China Selatan sebagai dampak dari upaya China membangun pulau-pulau kecil di kawasan itu.
“Tujuannya laporan yang kita punya untuk menggunakan perangkat yang kita miliki untuk melihat kerusakan lingkungan yang ada Laut China Selatan, yang mengumpulkan data secara menyeluruh sebanyak yang kita bisa. Kerusakannya ini fokus pada kerusakan gugusan terumbu karang di Laut China Selatan. Ada dua hal yang menyebabkan kerusakan ini, pertama pengerukan dan pembuatan pulau-pulau," katanya.
Penulis laporan lainnya, Monica Sato dari The Asia Maritime Transparency Initiative at the Center for Strategic and International Studies (AMTI CSIS), menyebut aktivitas pengerukan telah dilakukan China sejak 2013 hingga 2017 dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Tidak hanya itu, pengambilan terumbu karang secara besar-besaran untuk dijual ke pasar gelap Tiongkok mengancam punahnya sejumlah spesies terumbu karang serta rusaknya ekosistem hingga puluhan tahun.
“China dilaporkan melakukan pengerukan sejak 2013-2017. Mereka menggunakan metode yang disebut pengerukan hisap pemotong. Hal ini melibatkan bentangan yang mengiris dan memotong terumbu karang, dan kemudian menggunakan sedimen yang ditemukan setelah menggunakan pipa terapung untuk dipindahkan ke pasir dan sedimen yang diekstraksi ke bagian lain dari terumbu untuk membangun pulau-pulau mereka," ujar dia.
Laut China Selatan merupakan kawasan yang penting bagi kelestarian keanekaragaman hayati laut, karena memiliki keanekaragaman terkaya dibandingkan dengan lautan lainnya. Dari 1.683 spesies karang pembentuk terumbu di dunia, 571 di antaranya ditemukan di Laut China Selatan. Terumbu karang adalah tempat hidup lebih dari 6.500 spesies laut, yang masing-masing memiliki peran dalam keberhasilan ekosistem besar yang saling terhubung, yang menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi ribuan spesies di lingkungan sekitarnya.
BACA JUGA: Analis: Vietnam Reklamasi Pulau Untuk Hadapi ChinaTindakan perusakan lingkungan yang terjadi di Laut China Selatan diperparah dengan peningkatan aktivitas nelayan pencari ikan sejak sekitar tahun 1980, akibat insentif pemerintah China untuk mendukung nelayannya dan pengakuan atas wilayah perairan itu. Dampaknya adalah jumlah ikan di perairan Laut China Selatan menurun drastis dari tahun ke tahun.
Menurut Penasihat Senior Keamanan Maritim Indonesia Ocean Justice Initiative, Andreas Aditya Salim, berlanjutnya kerusakan lingkungan dan perairan di Laut China Selatan tidak lepas dari ketiadaan kerangka aturan yang kuat sebagai payung hukum di kawasan itu.
Beberapa aturan seperti ASEAN Code of Conduct (CoC), Regional Fisheries Management Organisations (RFMO), hingga Asean Centre for Biodiversity, tidak ada yang dapat memberikan pelindungan hukum yang kuat bagi masalah itu sehingga pelanggaran terus terjadi. Hingga kini aktivitas pengerukan atau dredging, giant clam harvesting, serta penangkapan ikan besar-besaran masih terjadi di Laut China Selatan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Setidaknya ada tiga organisasi pengelolaan perikanan regional. Satu RFMO, yang mempunyai kewenangan pengelolaan, namun dua hanya berperan sebagai penasehat dan pemberi saran," kata Andreas.
Mekanisme aturan yang telah ada, kata Andreas, terkendala oleh belum adanya kesepakatan Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan, yang tidak kunjung disetujui oleh ASEAN dan China. Kondisi lingkungan yang kritis ini, lanjut Andreas, harus dapat dilihat sebagai kebutuhan bersama komunitas internasional akan keamanan dan kelestarian tumbuhan, hewan, dan manusia yang tinggal di kawasan Laut China Selatan, bukan sekadar persoalan geopolitik. [pr/uh]