Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Marcellus Hernowo mengatakan pers Indonesia perlu mengambil peran di tengah polarisasi masyarakat yang semakin meningkat. Salah satu penyebab polarisasi tersebut dikarenakan penggunaan media sosial.
Kata Hernowo, hal tersebut juga tergambar dari hasil survei CIGI dan Ipsos pada 21 Desember 2018 hingga 4 Januari 2019 yang menunjukkan 58 persen responden di Indonesia setuju media sosial dapat meningkatkan polarisasi politik.
"Kenapa seperti ini? Karena salah satu keunggulan dari media sosial itu adalah orang bisa memilih dengan siapa dia berteman dan memilih informasi apa yang diterima. Dan algoritma di media sosial juga akan membuat orang akan terpapar yang dia miliki dan terima. Dalam pilpres kemarin kalau kita tidak suka dengan teman ya unfollow," jelas Hernowo dalam diskusi Konferensi VOA Indonesia di Yogyakarta, Senin (16/9).
BACA JUGA: Sepuluh Pasal RUU KUHP Ancam Kebebasan PersHernowo menambahkan kondisi tersebut memunculkan kepompong informasi atau informasi yang homogen, di mana orang yang berada di dalamnya akan menerima informasi yang homogen dan hanya mau menerima informasi yang mereka yakini. Karena itu, kata dia, diperlukan pers Indonesia yang profesional dan kredibel untuk memecah kepompong informasi di masyarakat.
Salah satu caranya yaitu dengan membuat mekanisme kontrol dari internal dan eksternal di perusahaan media.
"Jurnalisme yang profesional itu juga dibutuhkan untuk kelangsungan hidup kita bersama sebagai bangsa. Tanpa jurnalisme yang profesional dan masyarakat hidup dalam kepompong informasi, itu menjadi masalah yang serius bagi kita," tambahnya.
Ia menuturkan salah satu kontrol internal yang dilakukan Kompas yaitu dengan membuat tim ombudsman media yang bertugas memberikan masukan bagi kelompok media kompas setiap bulan.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan menambahkan kepompong informasi ini juga diperparah menguatnya fanatisme di masyarakat Indonesia. Sebab, fanatisme ini membuat orang tidak berpikir rasional dan hanya mau menerima informasi yang mereka inginkan saja.
"Kalau kita misalkan kita pendukung Jokowi dan banyak baca berita tentang Jokowi, algoritma akan menyediakan informasi yang baik-baik tentang Jokowi. Pendukung Prabowo juga begitu, akhirnya yang tercipta adalah orang-orang yang berpikir cupet dan pakai kaca mata kuda. Jadi tidak membaca dari sisi lain," jelas Abdul Manan.
BACA JUGA: Era Digital, Pers Indonesia Disandera Ancaman LamaAbdul Manan menambahkan AJI telah melakukan sejumlah langkah dalam peningkatan jurnalisme yang profesional dan independen. Antara lain menginisiasi Indonesialeaks yang menjadi wadah kolaborasi perusahaan media untuk melakukan investigasi bersama dan menginiasiasi cekfakta.com sebagai wadah kolaborasi mengatasi hoaks.
Sementara itu, Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan total wartawan yang memiliki sertifikat kompetensi berjumlah 13 ribuan wartawan dari jumlah wartawan di Indonesia yang diperkirakan mencapai 100 ribu. Sertifikat kompetensi ini merupakan upaya untuk menjaga profesionalisme pers di Indonesia. Kata dia, Dewan Pers juga akan mendorong percepatan sertifikasi dengan membantu lembaga uji kompetensi pada 2020.
BACA JUGA: Berbekal Literasi, Masyarakat Diajak Bijak Dalam Memanfaatkan Teknologi Komunikasi"Ini adalah sebuah indikator tidak langsung yang mengatakan bahwa produk-produk jurnalistik yang kita nikmati setiap hari, menit itu umumnya diproduksi oleh mereka dalam tanda kutip belum kompeten," jelas Hendry Bangun.
Hendry menambahkan lembaganya juga terus mendorong perusahaan melakukan verifikasi media untuk meningkatkan profesionalisme pers. Menurutnya, dari perkiraan total media sebanyak 47 ribu media, baru 394 perusahaan media yang telah terverifikasi faktual.
Selain persoalan verifikasi, Hendry juga menuturkan persoalan profesionalisme pers juga tergambar dari jumlah pengaduan yang masuk ke lembaganya. Total pengaduan yang masuk pada 2019 ini telah mencapai 229 pengaduan, 79 di antaranya merupakan sisa kasus pada 2018.(sm/em)