Dalam sebuah perubahan yang bersejarah, warga Muslim AS dan keturunan Arab Amerika menghentikan loyalitas mereka yang telah terjalin selama dua dekade terhadap Partai Demokrat. Suara dari kelompok tersebut terpecah untuk presiden terpilih Donald Trump dan untuk sejumlah kandidat dari partai ketiga dalam pemilihan presiden Amerika yang berlangsung pada Selasa (5/11), menurut temuan awal dari dua kelompok advokasi terkemuka.
Perpindahan tersebut, dipicu oleh kemarahan atas penanganan pemerintahan presiden Joe Biden terhadap perang di Gaza, membantu Trump meraih kemenangan di negara bagian-negara bagian penting, khususnya Michigan, saat ia mengalahkan Wakil Presiden Kamala Harris dan meraih masa jabatan kedua di Gedung Putih.
Exit poll nasional yang melibatkan lebih dari 1.300 pemilih yang dilakukan Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR) mendapati bahwa kurang dari 50% pemilih Muslim yang mendukung Harris. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan sekitar 65% hingga 70% pemilih Muslim yang memilih presiden Joe Biden pada pemilihan 2020.
BACA JUGA: Reaksi Pendukung Kamala Haris pasca KekalahannyaBagian terbesar suara Muslim diberikan untuk Jill Stein, kandidat Partai Hijau yang mengadvokasi diakhirinya dukungan militer AS untuk Israel, atau Trump, yang mendapat dukungan beberapa tokoh masyarakat Arab dan Muslim serta para pejabat di Michigan.
Gambaran lengkap mengenai suara Muslim belum muncul. Survei CAIR bertentangan dengan survei Votecast yang dilakukan kantor berita Associated Press, yang mendapati bahwa wakil presiden Harris merebut 63% suara Muslim secara keseluruhan.
Tetapi pola pemberian suara yang didapati dalam jajak pendapat CAIR menandai perubahan tajam dari 20 tahun terakhir, ketika Muslim Amerika dengan suara berlimpah mendukung pasangan kandidat partai Demokrat, kata Robert McCaw, direktur CAIR untuk urusan pemerintahan.
“Ini adalah pertama kalinya dalam 20 tahun lebih masyarakat Muslim terpecah antara tiga kandidat,” kata McCaw dalam wawancara dengan VOA.
Pergeseran dalam suara Muslim tersebut terlihat di kalangan pemilih Amerika keturunan Arab, yang mendukung kandidat presiden dari partai Demokrat daripada kandidat partai Republik dengan perbandingan 2:1 selama lebih dari dua dekade, kata James Zogby, presiden Institut Arab Amerika.
Kelompok itu tidak melakukan exit poll. Tetapi menjelang pemilihan, jajak pendapat yang dilakukan kelompok itu mengindikasikan bahwa suara dari komunitas Arab akan terbagi 42% berbanding 41% antara Trump dan Harris. Zogby mengatakan hasil pemilu kemungkinan mencerminkan keretakan itu.
“[Situasi di] Gaza berdampak serius dan menyebabkan ketidakpuasan sangat besar di antara kelompok-kelompok demografis di komunitas, yang tidak saya duga akan berdampak sebesar itu,” kata Zogby kepada VOA. “Apa yang mereka lihat terjadi di Gaza berdampak sangat dalam pada mereka.”
Sekitar 3,7 juta warga Amerika merupakan keturunan dari negara-negara Arab, dan jumlah yang sama juga diklasifikasikan sebagai Muslim Amerika. Kedua kelompok itu sangat beragam, dan tidak semua Muslim Amerika dan keturunan Arab, konservatif ataupun progresif, cocok dengan salah satu kategori.
Pemberontakan kuat di Michigan
Tetapi pemberontakan pemilih di kalangan Arab dan Muslim Amerika di Michigan terlihat nyata, khususnya di daerah Dearborn, Dearborn Heights dan Hamtramck.
Di Dearborn, di mana lebih dari 55% warganya adalah keturunan Timur Tengah, Trump meraih lebih dari 42% suara, naik dari perolehan 30% empat tahun silam. Harris menerima hanya 36% dari masyarakat yang sebelumnya memberikan hampir 70% suara mereka untuk Presiden Joe Biden.
Di Hamtramck di dekatnya, kota pertama di AS yang berpenduduk mayoritas Muslim, Trump meraih 43% suara, naik dari hanya 13% pada 2020. Harris meraih 46%, turun dari 85% yang diraih Biden empat tahun silam.
Stein menerima masing-masing 9% dan 18% di Hamtramck dan Dearborn. [uh/ns]