Beberapa perusahaan produsen makanan dan minuman internasional memutuskan untuk berhenti membeli minyak sawit dari perusahaan perkebunan Astra Agro Lestari (AAL) karena perusahaan itu dituduh melakukan pelanggaran HAM dan pengrusakan lingkungan. Sejumlah aktivis menilai permasalahan ini kerap berulang karena pemerintah tidak tegas dan melakukan pembiaran terhadap permasalahan ini.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional Uli Arta Siagian kepada VOA mengatakan keputusan beberapa perusahaan internasional untuk berhento membeli minyak sawit dari AAL tidak terlepas dari laporan WALHI bersama dengan Friends of the Earth (FOE) AS pada Maret 2022 yang mendokumentasikan bagaimana tiga anak perusahaan tersebut melakukan berbagai pelanggaran.
Ketiga anak perusahaan AAL yang dimaksud Uli adalah PT Mamuang, PT Lertari Tani Teladan dan PT Agro Nusa Abadi (ANA). PT ANA di Morowali Utara, katanya, telah beroperasi 15 tahun tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU), dan melakukan kriminalisasi terhadap delapan petani sawit yang dituduh mencuri sawit di sana.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dari semua persoalan itu, kemarin kita dengan FOE AS meminta pertanggungjawaban mereka sebagai penerima manfaat terbesar dari proses operasi AAL yang melanggar HAM. Lalu sejak tahun kemarin sampai hari ini ada delapan perusahaan besar internasional yang memutuskan untuk tidak membeli dari rantai pasok AAL, dimana Pepsi baru dua minggu terakhir memutuskan untuk tidak membeli,” ungkap uli.
Meski sudah ada keputusan tersebut, AAL sampai detik ini diketahui tidak berupaya untuk menyelesaikan persoalan dengan baik. Menurut Uli, tanah-tanah yang dirampas dari petani tidak dikembalikan, dan sungai yang rusak akibat aktivitas perusahaan juga tidak diperbaiki. Pemerintah, kata Uli, sejauh ini diketahui tidak mengambil tindakan atau memberlakukan sanksi tegas terhadap anak-anak perusahaan AAL ini.
“Kalau kemudian selama ini negara bilang kita melakukan kampanye buruk terhadap sawit, ini kita mengeluarkan fakta bahwa memang ini bukan hanya kampanye buruk tapi fakta di lapangan memang operasi perusahaan sawit bermasalah. Seharusnya negara itu menunjukkan bahwa mereka punya komitmen untuk memperbaiki tata kelola sawit. Tapi sampai sekarang itu yang tidak kami lihat,” tutur Uli.
Menurut WALHI bukan hanya AAL saja yang melakukan pelanggaran dalam praktik perusahannya. Berdasarkan catatan LSM itu, dari 31 konflik agraria yang diadvokasi dan dilaporkan ke pemerintah, 29 konflik diantaranya berkaitan dengan perkebunan sawit. Inti permasalahan konflik-konflik itu pada umumnya merampas tanah rakyat, melakukan kriminalisasi, dan melakukan pembukaan atau aktivitas lain di luar izin konsesinya.
“Jadi sebenarnya kalau kemudian pemerintah berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola sawit maka rantai pasok ini memang benar-benar harus dibersihkan, apalagi, tahun 2024 peraturan Uni Eropa mulai berlaku. Jadi kalau mau sawit kita masuk ke Eropa ya harus pastikan rantai pasoknya bersih dari pelanggaran HAM dan deforestasi,” tegasnya.
WALHI mendorong pemerintah memberlakukan sanksi hukum terhadap perusahaan-perusahaan sawit yang melakukan berbagai pelanggaran melalui skema blacklist. Uli berharap pemerintah membuat kebijakan yang akan membuat perusahaan sawit yang melakukan berbagai pelanggaran tidak mendapatkan izin baru.
“Menurut kami penting untuk kita mulai mendiskusikan adanya skema blacklist untuk semua aktivitas perusahaan di Indonesia. Misalnya AAL di Sulteng dan Sulbar sudah melakukan pelanggaran HAM, maka sebenarnya harus ada satu instrumen atau kebijakan yang menyatakan beberapa perusahaan yang sudah terbukti melakukan kejahatan kehutanan, pelanggaran HAM, dan beberapa pelanggaran lainnya seharusnya tidak boleh memperoleh izin lagi ketika mereka mengajukan izin baru. Tapi skema itu tidak ada di kita,” katanya.
Potensi Kerugian
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira menilai permasalahan yang kerap berulang di industri sawit Indonesia ini berpotensi merugikan Indonesia. Ia menjelaskan, para produsen-produsen besar internasional ini nantinya bisa mengalihkan kebutuhan sawitnya ke negara-negara penghasil sawit besar lainnya seperti Thailand dan Malaysia.
“Ini justru akan diambil kesempatan oleh negara-negara pesaing sawit Indonesia mulai dari Thailand dan Malaysia. Mereka melihat dan belajar, bahwa Indonesia enggak proper terkait masalah sumber bahan baku sawit berarti mereka akan meningkatkan standar yang lebih tinggi lagi. Itu Nestle, misalnya produsen makanan dan minuman bisa belok ke mereka, bisa mencari supplier baru dan ini menjadi ancaman serius,” kata Bhima kepada VOA.
Menurutnya, laporan dari berbagai organisasi lingkungan ini tentunya telah diinvestigasi ulang oleh berbagai perusahaan internasional tersebut sampai akhirnya ada keputusan untuk menghentikan pembelian sawit dari salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia. Indonesia, katanya, tidak bisa menyalahkan keputusan perusahaan-perusahaan internasional ini, karena mereka memiliki standar yang lebih ketat.
Bhima berpendapat, pemerintah tidak mengambil sikap tegas dan cenderung menganggap enteng permasalahan ini. Perusahaan-perusahaan sawit tanah air pun, katanya, tidak menaruh perhatian lebih kepada standar environmental sosial governance (ESG) atau tata kelola yang baik. Padahal, saat ini berbagai perusahaan internasional berusaha memastikan rantai pasok untuk kebutuhan produknya harus memiliki prinsip-prinsip yang berkelanjutan jika tidak ingin tersandung masalah.
“Kalau laporannya sampai ke perusahaan manufaktur yang ada di Eropa terutama manufaktur yang ada di Eropa dan Amerika, itu mereka sangat concerned. Dan ini seringkali terjadi, kenapa? Karena banyak perusahaan-perusahaan sawit itu menganggap enteng masalah-masalah terkait dengan konflik agraria dan lingkungan. Lalu kedua, kalau memang tidak merasa ada permasalahan harusnya bisa melakukan verifikasi, investigasi ulang, apa keluhan dari masyarakat terdampak, bagaimana dampak ke lingkungan, itu kadang banyak perusahaan sawit merasa kita sudah sudah punya CSR, padahal bukan itu. Masalah konflik agraria dengan CSR itu dua hal yang beda meskipun sudah banyak CSR dimana-mana tapi konflik agraria masih berjalan, masalah lingkungan juga masih ada, itu yang harusnya di selesaikan dulu,” jelasnya. CSR adalah corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan.
“Dan tugas pemerintah, sebenarnya bukan berpihak kepada perusahaan sawit, tapi justru harus mengamankan perusahaan sawit ini agar sesuai dengan standar praktik perkebunan yang berkelanjutan atau ESG standar dipatuhi. Itu yang harusnya diberikan tekanan kepada perusahaan-perusahaan sawit baik sawit skala korporasi maupun sawit rakyat. Jadi ini titik poin bahwa masih banyak praktik-praktik perusahaan di Indonesia ini yang dianggap belum memenuhi standar untuk masuk kepada rantai pasok internasional padahal potensinya besar,” pungkasnya.
Pekan lalu produsen minuman dari Amerika Serikat PepsiCo Inc dan produsen susu dari Belanda FrieslandCampina juga meminta para pemasok mereka menghentikan pembelian minyak sawit dari AAL. [gi/ab]