Pesawat amfibi dianggap bisa mengatasi kurangnya infrastruktur dan alat transportasi di Indonesia yang berbentuk kepulauan.
Pesawat amfibi yang mendarat di atas terumbu karang untuk mengantar turis ke resor mewah di daerah terpencil barangkali akan segera menjadi pemandangan yang umum di Indonesia, yang hanya memiliki 183 bandar udara di seluruh negeri.
Saat ini, pesawat amfibi di Indonesia terbatas pada penerbangan carter untuk pariwisata kelas atas dan sektor pertambangan. Namun penggunaannya dapat meningkat untuk melayani kebutuhan di tengah pertumbuhan ekonomi yang pesat dan untuk mengatasi kurangnya infrastruktur transportasi.
Perusahaan penerbangan milik pemerintah PT Merpati Nusantara Airlines berencana meluncurkan layanan pesawat amfibi umum terjadwal pertama di Indonesia sejak periode penjajahan Belanda, dimana pesawat semacam itu secara rutin melintasi Pulau Jawa. Merpati sedang melakukan pembicaraan dengan pembuat pesawat asal Kanada, Dornier, untuk membeli 20 pesawat amfibi dalam kontrak senilai US$120 juta.
“Pembangunan infrastruktur tidak dapat melayani masyarakat Indonesia secara penuh… Kita membicarakan banyak sekali pulau yang tidak memiliki bandar udara namun memerlukan perhatian pemerintah. Jalan keluar satu-satunya yang logis adalah menggunakan pesawat amfibi,” ujar Rudy Setyopurnomo, CEO Merpati.
Pesawat amfibi mengangkut penumpang dari bandar udara (bandara) Bali ke arah timur ke Pulau Moyo, tempat sutradara terkenal Amerika, Oliver Stone, membuat filmnya ‘Savages’ awal tahun ini, hanya dalam waktu kurang dari satu jam, atau kurang dari setengah yang diperlukan oleh helikopter.
Pesawat-pesawat tersebut mendarat dengan mulus di atas air kebiruan dan membawa para penumpang langsung ke arah dermaga di resor tersebut.
"Luar biasa, bahkan lebih mulus dari pendaratan pesawat biasa. Dan sangat nyaman, jauh lebih nyaman dari helikopter,” ujar Anna, seorang turis dari Moskow, yang segera memberi makan roti pada ikan bayan yang berenang di bawah ekor pesawat.
“Pesawat semacam ini akan membuat banyak tempat lebih mudah diakses. Pesawat jumbo tidak mungkin melakukan pendaratan di atas air.”
Operator penerbangan Travira Air juga menjalankan pesawat amfibi dari Bali dan Lombok untuk staf pada tambang emas dan tembaga masif milik Newmont Mining Corp di Pulau Sumbawa, mengurangi waktu empat jam perjalanan ke bandara dan memotong biaya.
Biaya sewa pesawat amfibi untuk waktu terbang 100 jam adalah $140.000, lebih murah daripada $200.000 untuk helikopter yang membawa lebih sedikit penumpang, menurut Travira.
Pesawat amfibi menyimbolkan romantisme penerbangan jaman dulu, namun dikalahkan oleh era pesawat jet sebagai transportasi terjadwal yang rutin. Prospek kebangkitan kembali (renaisans) di Asia mencerminkan bukan hanya geografi tempat-tempat yang unik seperti Indonesia, namun juga kecepatan pertumbuhan di wilayah ini yang menuntut lebih banyak pesawat.
Pemerintah Indonesia berencana membiayai pembangunan 15 bandara baru pada 2013, namun ia bergantung pada miliaran dana swasta untuk infrastruktur. Kemajuan dalam menarik pembiayaan sebanyak itu lambat, membuat Merpati mencari solusi yang tidak memerlukan landasan pacu, yaitu 20 pesawat amfibi.
"Kami akan membelinya sekarang. Tahun depan diharapkan pesanan yang pertama akan datang,” ujar Setyopurnomo, seraya menambahkan bahwa pesawat-pesawat tersebut dapat dibangun secara lokal dengan kemitraan bersama produsen pesawat PT Dirgantara Indonesia.
Seperti Kapal
Pesawat-pesawat milik Dornier Seastar, dengan mesin turboprop buatan Pratt & Whitney, unit dari United Technologies Corp, terlihat seperti kapal cepat yang bisa terbang. Satu pesawat memuat 12 penumpang dan terbang lebih cepat dari pesawat Cessna Caravan Amphibian berisi delapan kursi yang digunakan Travira.
“Ini pesawat amfibi baru pertama yang dibangun dalam 50 tahun terakhir… Pesawat ini dapat diparkir di mana Anda dapat mengikat kapal,” ujar Don McClaughlin,
wakil presiden bagian penjualan pada Dornier.
“Dua target terbesar kami saat ini adalah Indonesia dan Tiongkok.”
Dornier dan Cessna Aircraft Co, anak perusahaan dari Textron Inc , menghadapi kompetisi dari perusahaan Kanada Viking Air yang membuat Twin Otter berisikan 19 tempat duduk.
Di Tiongkok, Waterfront Air sedang mengajukan ijin untuk menggunakan Twin Otter untuk layanan penerbangan terjadwal antara Shenzen, Hong Kong, Makau dan daerah industri Pearl River di Guangzhou.
Pesawat amfibi merupakan alat transportasi umum di lokasi-lokasi terpencil di seluruh dunia, seperti Maladewa, British Columbia dan Alaska, namun baru sedikit yang melayani jadwal penerbangan rutin.
Pesawat-pesawat amfibi produksi Dornier dan Cessna memiliki kemampuan terbang maksimum lebih dari 1.500 kilometer, cukup untuk terbang dari Jakarta ke Papua dengan satu kali isi bensin. Namun kargo yang bisa diangkut menurun setelah 300 kilometer, sehingga pesawat seperti ini hanya cocok untuk transportasi antar pulau atau operasi sekitar sebuah basis di provinsi-provinsi yang jauh.
Tantangan lain termasuk kurangnya pilot spesialis, karena pilot lokal banyak yang dibajak oleh penerbangan biaya rendah yang sekarang menjamur; peraturan seperti keharusan mendapatkan ijin mendarat setiap tahun; dan ombak yang besar pada musim hujan, membuat pendaratan mustahil di beberapa lokasi, ujar Rudiana, direktur operasi Travira.
“Jika kita dapat mengatasi masalah-masalah ini, ada banyak sekali peluang,” menurut Rudiana.
Ia mencontohkan potensi permintaan di daerah-daerah seperti ladang gas kaya di Natuna, Kalimantan, yang sedang digarap ExxonMobil; pariwisata sekitar pulau-pulau seperti Sumatra dan Sulawesi; serta untuk perusahaan-perusahaan di Papua seperti Freeport McMoRan Copper & Gold dan BP.
Twin Otter akan berguna jika dapat membawa muatan yang lebih banyak ke tempat yang lebih jauh. Namun perusahaan carter Aviastar masih kesulitan mendapatkan ijin operasi untuk Indonesia akibat birokrasi.
“Kita butuh pesawat yang lebih besar. Penerbangan biasanya penuh pada Sabtu karena semua orang ingin berlibur akhir pekan,” ujar Peter Ferrigno, manajer logistik untuk tambang Newmont. (Reuters/Neil Chatterjee dan Janeman Latul)
Saat ini, pesawat amfibi di Indonesia terbatas pada penerbangan carter untuk pariwisata kelas atas dan sektor pertambangan. Namun penggunaannya dapat meningkat untuk melayani kebutuhan di tengah pertumbuhan ekonomi yang pesat dan untuk mengatasi kurangnya infrastruktur transportasi.
Perusahaan penerbangan milik pemerintah PT Merpati Nusantara Airlines berencana meluncurkan layanan pesawat amfibi umum terjadwal pertama di Indonesia sejak periode penjajahan Belanda, dimana pesawat semacam itu secara rutin melintasi Pulau Jawa. Merpati sedang melakukan pembicaraan dengan pembuat pesawat asal Kanada, Dornier, untuk membeli 20 pesawat amfibi dalam kontrak senilai US$120 juta.
“Pembangunan infrastruktur tidak dapat melayani masyarakat Indonesia secara penuh… Kita membicarakan banyak sekali pulau yang tidak memiliki bandar udara namun memerlukan perhatian pemerintah. Jalan keluar satu-satunya yang logis adalah menggunakan pesawat amfibi,” ujar Rudy Setyopurnomo, CEO Merpati.
Pesawat amfibi mengangkut penumpang dari bandar udara (bandara) Bali ke arah timur ke Pulau Moyo, tempat sutradara terkenal Amerika, Oliver Stone, membuat filmnya ‘Savages’ awal tahun ini, hanya dalam waktu kurang dari satu jam, atau kurang dari setengah yang diperlukan oleh helikopter.
Pesawat-pesawat tersebut mendarat dengan mulus di atas air kebiruan dan membawa para penumpang langsung ke arah dermaga di resor tersebut.
"Luar biasa, bahkan lebih mulus dari pendaratan pesawat biasa. Dan sangat nyaman, jauh lebih nyaman dari helikopter,” ujar Anna, seorang turis dari Moskow, yang segera memberi makan roti pada ikan bayan yang berenang di bawah ekor pesawat.
“Pesawat semacam ini akan membuat banyak tempat lebih mudah diakses. Pesawat jumbo tidak mungkin melakukan pendaratan di atas air.”
Operator penerbangan Travira Air juga menjalankan pesawat amfibi dari Bali dan Lombok untuk staf pada tambang emas dan tembaga masif milik Newmont Mining Corp di Pulau Sumbawa, mengurangi waktu empat jam perjalanan ke bandara dan memotong biaya.
Biaya sewa pesawat amfibi untuk waktu terbang 100 jam adalah $140.000, lebih murah daripada $200.000 untuk helikopter yang membawa lebih sedikit penumpang, menurut Travira.
Pesawat amfibi menyimbolkan romantisme penerbangan jaman dulu, namun dikalahkan oleh era pesawat jet sebagai transportasi terjadwal yang rutin. Prospek kebangkitan kembali (renaisans) di Asia mencerminkan bukan hanya geografi tempat-tempat yang unik seperti Indonesia, namun juga kecepatan pertumbuhan di wilayah ini yang menuntut lebih banyak pesawat.
Pemerintah Indonesia berencana membiayai pembangunan 15 bandara baru pada 2013, namun ia bergantung pada miliaran dana swasta untuk infrastruktur. Kemajuan dalam menarik pembiayaan sebanyak itu lambat, membuat Merpati mencari solusi yang tidak memerlukan landasan pacu, yaitu 20 pesawat amfibi.
"Kami akan membelinya sekarang. Tahun depan diharapkan pesanan yang pertama akan datang,” ujar Setyopurnomo, seraya menambahkan bahwa pesawat-pesawat tersebut dapat dibangun secara lokal dengan kemitraan bersama produsen pesawat PT Dirgantara Indonesia.
Seperti Kapal
Pesawat-pesawat milik Dornier Seastar, dengan mesin turboprop buatan Pratt & Whitney, unit dari United Technologies Corp, terlihat seperti kapal cepat yang bisa terbang. Satu pesawat memuat 12 penumpang dan terbang lebih cepat dari pesawat Cessna Caravan Amphibian berisi delapan kursi yang digunakan Travira.
“Ini pesawat amfibi baru pertama yang dibangun dalam 50 tahun terakhir… Pesawat ini dapat diparkir di mana Anda dapat mengikat kapal,” ujar Don McClaughlin,
wakil presiden bagian penjualan pada Dornier.
“Dua target terbesar kami saat ini adalah Indonesia dan Tiongkok.”
Dornier dan Cessna Aircraft Co, anak perusahaan dari Textron Inc , menghadapi kompetisi dari perusahaan Kanada Viking Air yang membuat Twin Otter berisikan 19 tempat duduk.
Di Tiongkok, Waterfront Air sedang mengajukan ijin untuk menggunakan Twin Otter untuk layanan penerbangan terjadwal antara Shenzen, Hong Kong, Makau dan daerah industri Pearl River di Guangzhou.
Pesawat amfibi merupakan alat transportasi umum di lokasi-lokasi terpencil di seluruh dunia, seperti Maladewa, British Columbia dan Alaska, namun baru sedikit yang melayani jadwal penerbangan rutin.
Pesawat-pesawat amfibi produksi Dornier dan Cessna memiliki kemampuan terbang maksimum lebih dari 1.500 kilometer, cukup untuk terbang dari Jakarta ke Papua dengan satu kali isi bensin. Namun kargo yang bisa diangkut menurun setelah 300 kilometer, sehingga pesawat seperti ini hanya cocok untuk transportasi antar pulau atau operasi sekitar sebuah basis di provinsi-provinsi yang jauh.
Tantangan lain termasuk kurangnya pilot spesialis, karena pilot lokal banyak yang dibajak oleh penerbangan biaya rendah yang sekarang menjamur; peraturan seperti keharusan mendapatkan ijin mendarat setiap tahun; dan ombak yang besar pada musim hujan, membuat pendaratan mustahil di beberapa lokasi, ujar Rudiana, direktur operasi Travira.
“Jika kita dapat mengatasi masalah-masalah ini, ada banyak sekali peluang,” menurut Rudiana.
Ia mencontohkan potensi permintaan di daerah-daerah seperti ladang gas kaya di Natuna, Kalimantan, yang sedang digarap ExxonMobil; pariwisata sekitar pulau-pulau seperti Sumatra dan Sulawesi; serta untuk perusahaan-perusahaan di Papua seperti Freeport McMoRan Copper & Gold dan BP.
Twin Otter akan berguna jika dapat membawa muatan yang lebih banyak ke tempat yang lebih jauh. Namun perusahaan carter Aviastar masih kesulitan mendapatkan ijin operasi untuk Indonesia akibat birokrasi.
“Kita butuh pesawat yang lebih besar. Penerbangan biasanya penuh pada Sabtu karena semua orang ingin berlibur akhir pekan,” ujar Peter Ferrigno, manajer logistik untuk tambang Newmont. (Reuters/Neil Chatterjee dan Janeman Latul)