Pengacara dari LBH Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah memberikan keterangan lengkap terkait kasus ini secara daring pada 4 April lalu. Lembaga ini mulai menerima aduan penyintas pada 17 April. Begitu kabar aduan pertama itu tersebar di kalangan penyintas, satu persatu berani datang untuk menceritakan kisahnya, hingga terkumpul 30 orang.
“Kami melihat, ada relasi kuasa yang kuat dan timpang dalam kasus ini, di mana Ibrahim dengan menggunakan kepopuleran diri, ditambah dengan kepribadian dan tutur kata yang terlihat baik, berhasil membuat beberapa penyintas tidak berfikiran macam-macam saat mengenalnya,” kata Meila.
Ibrahim yang disebut Meila adalah laki-laki yang dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap setidaknya 30 penyintas.
Nama lengkapnya Ibrahim Malik, yang menempuh pendidikan arsitektur di UII pada 2012-2016. VOA menulis lengkap nama pelaku, dengan pertimbangan bahwa dalam keterangan resmi yang disampaikan LBH Yogyakarta selaku pengacara penyintas, nama pelaku disebut secara lengkap. Ibrahim saat ini sedang menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Melbourne dengan beasiswa pemerintah Australia.
Prestasi Sebagai Pemikat
Para korban adalah mahasiswi di UII, dan mayoritas yunior dalam organisasi di mana pelaku juga aktif di dalamnya. Pelaku juga penerima gelar mahasiswa berprestasi dari kampusnya. Di laman media sosialnya, Ibrahim Malik mengunggah foto-foto dirinya ketika mengikuti kegiatan di berbagai negara. Pada 2015, Ibrahim terpilih mewakili Indonesia dalam Youth South East Asian Leader Initiatives (YSEALI) di Amerika Serikat, program ini diprakarsai Presiden Barrack Obama sejak 2013.
Prestasi dan pesona pribadinya itu menjadi daya tarik bagi sebagian mahasiswi, yang bahkan merasa sangat senang ketika dihubungi oleh Ibrahim. Yang tidak mereka sadari adalah, bahwa kontak pertama itu adalah awal dari serangkaian tindakan kekerasan seksual pelaku. Berdasar pengakuan penyintas, Meila merinci beberapa cara yang dilakukan Ibrahim ketika melakukan tindakan itu.
Ibrahim diceritakan sering menghubungi penyintas melalui pesan langsung di media sosial. Awalnya berisi candaan dan obrolan perkuliahan, tetapi berlanjut pada pertanyaan seperti apa yang sudah penyintas lakukan bersama pacar mereka, apakah pernah berciuman, pernah check in ke hotel atau pernahkah berhubungan seks. Bahkan juga komentar soal bulu tangan penyintas dan mengaitkannya dengan hasrat seksual.
Pelaku juga menghubungi penyintas melalui fasilitasvideo call di aplikasi percakapan dan melakukan aktivitas tertentu yang berkait dengan hubungan seks. Pelaku pernah meminta sebagian penyintas datang ke kosnya, dengan alasan mengambil buku, dan memintanya langsung masuk ke kamar. Setelah menutup pintu, pelaku memeluk korban dari belakang dan melakukan kekerasan seksual.
“Dalam tindakan yang sampai mengarah ke fisik, para penyintas mengaku bahwa kejadian terjadi sangat singkat. Ibrahim tiba-tiba memegang pergelangan penyintas dengan sangat kuat, merangkul dengan sangat kuat pula dan membuat penyintas kaget, atau biasa kita sebut dengan
kondisi tonic immobility, dimana penyintas kasus kekerasan seksual merasakan kaku disekujur tubuh, lemas dan tidak kuat untuk melawan,” papar Meila.
Ada penyintas yang mengaku menerima kekerasan seksual pada tahun 2016, ada pula yang menjadi korban tahun-tahun berikutnya. Menurut catatan, aksi pelaku terakhir terjadi pada 11 April lalu.
Penyintas Harus Dilindungi
LBH Yogyakarta mengapresiasi semua penyintas yang berani menyampaikan laporan kepada mereka atau lembaga lain. Mayoritas penyintas baru menceritakan kisahnya pertama kali kepada LBH Yogyakarta. Sebagian sudah menghubungi lembaga ini, tetapi belum bersedia berbagi kisah karena masih takut ketika mengingat pengalaman tersebut.
Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya mengatakan, dalam kasus semacam ini, perempuan sering justru dinilai bersalah.“Kita tahu bahwa korban kekerasan seksual sering diabaikan. Sering disalahkan kemudian kurang dilindungi, sehingga kekerasan seksual seperti ini dianggap hal biasa. Pelaku kekerasan merasa ini biasa saja. Padahal kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selalu bertambah, karena pelaku merasa aman akibat lambannya penanganan,” ujarnya.
LBH Yogyakarta berprinsip, definisi kekerasan seksual secara rinci hanya terdapat pada pasal 1 ayat (1) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Di mana tindakan ini didefinisikan sebagai, “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Jika mengacu pada penjelasan tersebut, LBH Yogyakarta meyakini apa yang dilakukan Ibrahim Malik kepada para penyintas adalah bentuk kekerasan seksual.
Your browser doesn’t support HTML5
Melalui LBH Yogyakarta, para penyintas menuntut Ibrahim mengakui seluruh tindakan kekerasan seksualnya kepada publik dengan tidak menyebutkan nama penyintas. Mereka juga berharap tidak ada lagi institusi, komunitas, atau organisasi yang memberi panggung bagi Ibrahim untuk menjadi penceramah, pemateri ataupun segala bentuk glorifikasi, termasuk di UII. Selain itu, UII sebagai almamater dari mayoritas penyintas, harus membuat regulasi terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus agar tidak terjadi lagi kasus-kasus yang serupa.
Solidaritas dari Mahasiswa
Aliansi UII Bergerak, komunitas yang turut melakukan advokasi kasus ini menilai UII tidak memiliki keberpihakan pada penyintas.
“Ada kasus yang sudah dilaporkan kepada pihak kampus 2 tahun lalu, namun respon yang diberikan oleh birokrat universitas terkait kasus ini di luar harapan, dengan mengatakan bahwa korban mengeluarkan reaksi emosional yang berlebihan,” kata Karunia, mewakili aliansi ini dalam pernyataan resminya.
Alih-alih mendapatkan teguran dan hukuman, menurut aliansi, Ibrahim Malik justru terus mendapatkan ruang dalam acara-acara di UII. Pelaku juga mendapatkan panggung sebagai narasumber salah satu program branding kampus berjudul “Program Inspirasi UII” di kanal Youtube.
“Realitas ini memantapkan analisa kami bahwa ada upaya kampus untuk melindungi pelaku kekerasan seksual di lingkungan UII. Ditambah glorifikasi yang besar terhadap Ibrahim Malik mendukung pelaku untuk melakukan kekerasan seksual kembali,” tambah Karunia.
Dalam pernyataannya, Aliansi UII Bergerak juga menuntut Ibrahim Malik meminta maaf kepada penyintas dan mengakui telah melakukan kekerasan seksual. Aliansi juga mengajak masyarakat bersolidaritas terhadap penyintas. Mereka menuntut Rektor UII memberikan pernyataan ke publik akan menutup semua akses Ibrahim di lingkungan kampus baik offline maupun online. Termasuk, tidak memberikan kesempatan kepadanya jika mengajukan diri sebagai calon dosen di masa datang.
UII diminta membentuk tim adhoc guna menyelidiki kasus ini, yang bernggotakan perwakilan rektorat, tim psikolog pendamping penyintas, tim bantuan hukum dan perwakilan mahasiswa. UII juga harus menjamin keamanan penyintas, termasuk jaminan akses pendampingan psikologi. Lebih jauh, kampus diminta menyusun regulasi khusus penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak pada penyintas di lingkungan UII dan segera disahkan.
BACA JUGA: Menunggu Langkah Panut, Kembalikan UGM Menjadi PanutanUII Minta Pelaku Kooperatif
Mewakili kampus, Syarif Nurhidayat Ketua Tim Pendampingan Psikologis dan Bantuan Hukum menegaskan komitmen UII dalam menciptakan rasa aman bagi seluruh. Pelecehan atau kekerasan seksual dalam bentuk apapun tidak dapat diterima dan tergolong pelanggaran berat. UII juga menjamin setiap pelecehan seksual yang dilaporkan ditanggapi serius dan diselidiki menyeluruh.
“UII berkomitmen untuk memberikan empati, dukungan, dan perlindungan kepada korban atau penyintas,” kata Syarif.
Ibrahim sendiri telah berstatus sebagai alumnus sejak 2016 dan tidak dapat bertindak mewakili atau mengatasnamakan UII. Meski demikian, UII mendorong dia menunjukkan iktikad baik dengan bersikap kooperatif dan melakukan klarifikasi secara jujur. Dorongan untuk kooperatif ini diberikan UII setelah tim mereka berkomunikasi langsung dengan Ibrahim Malik.
Syarif memastikan UII menganggap serius kasus ini dan menindaklanjuti dengan membentuk tim pencari fakta dan tim pendamping penyintas. LKBH Fakultas Hukum UII telah ditunjuk memfasilitasi penyintas yang berkeinginan menempuh jalur hukum. UII juga mendukung upaya hukum penyintas melalui lembaga lain.
Pelaku Berikan Pernyataan
VOA Indonesia telah berupaya menghubungi Ibrahim Malik untuk meminta komentarnya atas dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan. Namun Ibrahim belum menjawab permintaan wawancara yang disampaikan. Namun dalam surat tulis tangan yang diunggah pada 29 April 2020, Ibrahim telah menyampaikan pernyataannya.
BACA JUGA: Ribuan Orang Aksi IWD di Tengah Pelemahan Perempuan"Tanpa ada klarifikasi dan tabayyun, saya seperti mendapat serangan fajar yang mengarah pada diri saya(character assassination), yang pasti ini sangat memukul hati saya, apalagi di saat yang bersamaan saya tidak aktif sosmed, berjibaku dengan tugas akhir, wabah Covid-19, dan pastinya di tengah kekhusyukan ibadah bulan Ramadhan ini,” tulisnya.
Kepada penyintas, Ibrahim juga mempersilakan jika akan menempuh jalur hukum.
“Saya persilahkan untuk menempuh jalur hukum. Hadirkan saya bersama orang yang pernah merasa dirugikan. Kita bisa saling beradu argumen dan klarifikasi dengan cara yang baik-baik,” tambahnya. [ns/em]