China telah mengumumkan pengurangan tarif impor atas daging babi Amerika, dengan menurunkan tarifnya sebanyak 72 persen. Para peternak babi di negara bagian Illinois di barat-tengah Amerika sangat merasakan dampak ekonomi karena perang dagang antara Amerika dan China itu, walaupun kebutuhan China akan daging babi impor terus meningkat.
Tidak banyak yang bisa dilakukan Thomas Titus di tanah pertaniannya di Elkhart, Illinois, karena belakangan ini penghasilannya turun banyak.
“Kami terpaksa menjual jagung dan kacang kedelai dibawah harga produksi. Kami juga menjual daging babi dibawah harga produksi. Jadi kami kini menghadapi kesulitan besar menjelang akhir tahun karena harus membuat pembukuan untuk keperluan pajak,” ujarnya.
Petani biasanya akan mengalihkan bisnisnya kalau mengalami kesulitan dalam pemasaran, tapi Titus mengatakan sulit menghentikan peternakan babinya itu dan melakukan sesuatu yang lain.
“Peternakan babi kami ini cukup besar. Kami memelihara babi sejak lahirnya sampai mencapai berat badan tertentu untuk dijual. Jadi bisnis ini mencakup banyak aspek dibanding industri lainnya,” tambah Titus.
Titus berternak 12.000 ekor babi tiap tahunnya untuk dijual ke pasar internasional. Salah satu pembeli terbesarnya adalah China, yang kini sedang menghadapi masalah karena peternakan babinya dilanda wabah flu babi. Karena penyakit itu, populasi babi di China turun 20 persen.
Karena adanya perang dagang, daging babi impor dari Amerika jadi lebih mahal, tapi walaupun China telah menurunkan tarif impornya, dampak kekurangan pasokan daging babi itu sangat dirasakan.
Karl Setzer, pakar risiko komoditas pada perusahaan Agrivisor mengatakan, “Amerika telah rugi kira-kira satu milyar dollar karena anjloknya ekspor daging babi. China tidak mau tergantung dari saru pemasok saja bagi keperluan impornya, apakah daging babi, daging sapi, kacang kedelai atau lainnya.”
Ketika perang tarif meningkatkan harga daging babi Amerika, China membeli keperluannya dari Eropa dan Brazil. (ii/jm)