Petani Berharap Cukai Tembakau Mengalir ke Ladang

  • Nurhadi Sucahyo

Petani menunggu masa panen tembakau dalam beberapa minggu ke depan. (Foto: VOA/Nurhadi)

Pemerintah mampu menyedot Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar Rp 152,93 triliun, melebihi target Rp 148,23 triliun. Menteri Keuangan menetapkan, Dana Bagi Hasil (DBH) yang disebarkan tahun ini mencapai Rp 3,17 triliun. Petani mengharapkan tetesan tunai dari angka itu demi ladang tembakau mereka.

Sesuai peraturan, pemerintah daerah akan menerima bagi hasil dari penerapan cukai tembakau setiap tahunnya. Pos anggarannya disebut sebagai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Tahun ini, dana yang dibagikan mencapai Rp 3,17 triliun, naik dari tahun lalu yang tercatat Rp 2,96 triliun. Menurut Peraturan Menteri Keuangan yang sudah ditetapkan, ada 29 provinsi yang menerima DBH CHT 2019. Jawa Timur menjadi juara dengan penerimaan Rp 1,6 triliun, Jawa Tengah menyusul dengan Rp 713,3 miliar dan Jawa Barat Rp 380,4 miliar.

Eko Wahyu Susilo, petani tembakau di Selopampang, Temanggung. (Foto: VOA/Nurhadi)

Namun, bagi Eko Wahyu Susilo, petani tembakau di Selopampang, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, angka-angka itu seolah hanya ada di atas awan. Meski dia menjadi bagian penting dari bisnis tembakau dan produk olahan yang melahirkan cukai itu, dana bagi hasil tunai tak pernah jatuh ke ladangnya. Padahal dia berharap, DBH CHT bisa dijadikan dana abadi untuk pinjaman lunak modal petani menanam tembakau.

“Paling tidak jangan berupa alat. Kalau bisa berupa modal, meskipun nanti nyaur utang atau mengembalikan uang, tetapi dipinjami modal. Karena petani itu kalau menanam tembakau biasanya kesulitan mencari modal. Kalau cuma alat, mangkrak. Tidak efektif,” kata Eko kepada VOA.

Menurut data Kementerian Keuangan, Kabupaten Temanggung menerima DBH CHT lebih dari Rp 31 miliar tahun ini. Seperti juga kabupaten lain yang menerimanya, dana itu kemudian dialokasikan ke sejumlah pos. Bukan kepada petani tembakau, sasaran terbesar alokasi dana biasanya untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKM).

Your browser doesn’t support HTML5

Petani Berharap Cukai Tembakau Mengalir ke Ladang

Daerah juga berhak menentukan sendiri penggunaannya. Ada yang dipakai untuk membangun Puskesmas, taman kota, balai latihan kerja, program pelatihan atau pemberdayaan masyarakat, dan tentu saja sebagian kecil sampai ke petani tembakau.

Namun, dana bagi hasil itu datang dalam bentuk barang ke petani melalui kelompok tani. Seperti Eko Wahyu Susilo yang tergabung dalam kelompok tani Mukti Raharjo.

“Kalau untuk khusus DBH CHT ini kelompok tani saya cuma dapat kultivator, berupa alat. Yang terakhir ini dapat berupa pupuk, KNO dan Fertila,” tambah Eko.

Petani merawat tanaman tembakaunya. (Foto courtesy: APTI)

Sesuai UU 12 Tahun 2018, DBH CHT sebenarnya difokuskan dalam lima program yang terkait dengan sektor pertembakauan. Kelima program tersebut adalah peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan Industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan bidang cukai, dan pemberantasan barang kena cukai (BKC) ilegal.

Namun, yang menjadi prioritas pemerintah adalah program ketiga, yaitu pembinaan lingkungan sosial. Pembinaan lingkungan sosial itu kemudian diterjemahkan, salah satunya menyangkut program kesehatan masyarakat. Berdasarkan kebijakan pemerintah terkait DBH CHT tahun 2019, ada alokasi minimal 50 persen dana bagi program-program terkait jaminan kesehatan nasional. Tidak mengherankan apabila harapan petani tembakau seperti Eko untuk memperoleh pinjaman lunak melalui dana bagi hasil ini, belum terwujud sampai sekarang.

Ahmad Fuad, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Temanggung, kepada VOA mengakui, manfaat DBHCHT bagi petani secara langsung belum maksimal. Namun, dia mencatat ada perbaikan alokasi yang membuat para petani bisa memaklumi proses ini.

“Selama ini, memang dari tahun ke tahun sudah ada perbaikan. Dari teman-teman APTI, baik Temanggung, Jawa Tengah maupun nasional itu selalu mempermasalahkan pembagian pengembalian cukai itu. Dan memang belum seluruhnya kita nikmati, tetapi dari tahun ke tahun ada perbaikan. Ini memang tidak mudah, karena kebijakannya ada pada pemerintah,” kata Fuad.

Proses pengolahan tembakau sebelum dibeli pabrik rokok. (Foto courtesy: APTI)

Para petani juga mengetahui bahwa dana bagi hasil itu selama ini lari ke berbagai pos, seperti pembangunan gedung atau rumah sakit. Ada juga yang disalurkan untuk penelitian di sektor kesehatan, atau bahkan kampanye antirokok itu sendiri. Namun, karena menjadi kewenangan pemerintah, petani tembakau cenderung tidak bisa berbuat banyak terkait itu.

Petani, kata Fuad, hanya berharap ada alokasi yang terus ditambah untuk program yang secara langsung menyentuh kepentingan mereka. Program itu, misalnya pelatihan petani dan sistem penyediaan pupuk yang lebih baik.

“Idealnya, menurut saya sebagai ketua APTI Temanggung, ya kebutuhan petani itu tercukupi. Jadi kalau butuh pupuk, ya pupuknya mudah dicari dengan harga yang baik. Terus peralatan panen raya itu diperhatikan juga lewat DBH CHT ini. Kita sadar, kok, memang tidak mungkin kalau dana itu dikembalikan ke petani seluruhnya,” tambah Fuad.

Fuad mengingatkan, petani tembakau seperti juga petani lain, menghadapi masalah yang kompleks, sejak sebelum tanam hingga pasca panen. Masalah-masalah itu seharusnya dapat ditangani dengan lebih baik dan terakomodir penyelesaiannya melalui DBH CHT. Harapan petani, tambahnya, tidak terlalu muluk. Jika panen, harga tembakau bagus dan terbeli oleh pasar, itu sudah sangat cukup, ujar Fuad.

Hamparan ladang tembakau dengan latar belakang Gunung Sumbing, Temanggung, Jawa Tengah. (Foto:VOA/ Nurhadi).jpeg

Ide besar yang masih harus dibicarakan oleh petani tembakau dan pemerintah, lanjut Fuad adalah asuransi. Meski ini diakui Fuad menjadi ranah pengurus pusat dan pemerintah. Asuransi menjadi sangat penting karena tembakau adalah komoditas yang sangat unik.

Dalam rantai dagangnya, harga tembakau sangat fluktuatif yang ditentukan bukan oleh petani, tetapi oleh pembeli. Belum lagi persoalan musim, seperti tahun ini yang kemaraunya lebih panjang, membuat tantangan petani untuk menjaga kualitas tembakaunya menjadi lebih berat. Asuransi, melalui skema DBH CHT setidaknya mampu menjadi sandaran petani jika harus gagal panen.

Pemerintah sendiri terus mencatat kenaikan dalam pengelolaan DBH CHT. Tahun 2015, alokasi bagi hasil dari pusat ke daerah tercatat Rp 2,78 triliun. Setahun kemudian naik menjadi Rp 2,79 triliun dan Rp2,99 triliun pada 2017. Angka ini sempat turun pada 2018, ke Rp 2,96 triliun tetapi naik lagi tahun ini menjadi Rp 3,17 triliun. [ns/uh]