Pemerintah didesak untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak dari bahaya asap rokok, melalui penerapan harga rokok yang mahal. Pada diskusi “Lindungi Anak Indonesia, Rokok Harus Mahal” di Surabaya, Rabu (18/7), mudahnya anak-anak membeli rokok yang harganya murah, menjadi salah satu faktor masih tingginya angka anak merokok di Indonesia. Harga rokok diusulkan minimal Rp. 50 ribu per bungkus, agar anak dan remaja kesulitan mengakses rokok.
Wakil Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya, Santi Martini mengatakan, edukasi mengenai bahaya rokok bagi kesehatan harus terus menerus dilakukan, didukung regulasi dan implementasi perundangan yang berlaku.
“Edukasi mengenai bahaya tentang asap rokok itu harus terus diberikan, tidak bisa terus edukasi sekali diberikan, terus orang akan berubah, orang akan sadar. Kita tahu teorinya, perubahan perilaku itu kan tidak sekali dua kali seperti membalikkan telapak tangan, memang itu harus terus menerus. Tapi, kebijakan yang sifatnya sistematis, ada regulasi, baik itu kawasan tanpa rokok, peringatan kesehatan dalam bentuk gambar, harga rokok naik, itu harus ada dalam bentuk peraturan, dan peraturan itu harus ditegakkan," tandas Santi.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), menyebutkan prevalensi merokok pada penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun masih tinggi. Bahkan, Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN mencatat, sekitar 20 juta anak atau 30 persen anak-anak Indonesia usia di bawah 10 tahun adalah perokok, dengan pertumbuhan prevalensi perokok anak dan remaja sebesar 19,4 persen.
Ini merupakan laju pertumbuhan yang tercepat di dunia, dan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-tiga terbesar di dunia dalam hal jumlah perokok setelah China dan India, yang berjumlah sekitar 75 juta jiwa atau 35 persen dari total populasi.
WHO dalam situs resminya menyebutkan, rokok telah membunuh sekitar 7 juta orang setiap tahun di seluruh dunia, di mana 1,3 juta orang per tahun berasal dari Asia Tenggara.
Selanjutnya Santi menyarankan perlu adanya denormalisasi merokok pada masyarakat, melalui penyadaran bahaya merokok. Menurutnya, masyarakat harus disadarkan dengan berbagai cara, terutama melalui media periklanan, yang menjadi sarana perubahan budaya dan pemahaman masyarakat mengenai merokok.
“Perlu kita sampaikan adalah mereka sadar kalau merokok itu berbahaya, denormalisasi merokok. Kita harus buat pemahaman di masyarakat, merokok itu abnormal, tidak normal, makanya kenapa harus ada iklan, mengiklankan berarti kayak sesuatu yang normal. Salah satunya ya iklan tidak boleh ada, merokok pada tempat tertentu, tidak boleh sembarang orang merokok. Kalau anak kecil jarang lihat (orang) merokok di sembarang tempat, sehingga pada suatu saat dia akan melihat orang merokok, loh aneh. Sementara orang bisa merokok di mana-mana, sehingga kita lihat orang merokok itu normal. Maka kita harus bangun denormalisasi itu,” tambah Santi.
Peran Organisasi Kemasyarakatan dan Keagamaan
Upaya mengurangi konsumsi rokok juga dilakukan organisasi kemasyarakatan keagamaan Aisyiyah. Ketua Majelis Kesehatan, Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur, Sophiati Sutjahjani mengatakan, Muhammadiyah yang merupakan induk organisasinya telah menerbitkan fatwa haram terhadap rokok. Selain itu, seluruh amal usaha milik Aisyiyah juga mengeluarkan larangan merokok bagi pegawai, guru maupun siswa, yang bernaung di seluruh lingkungan usaha Aisyiyah. Tidak hanya itu, para murid juga dijadikan agen perubahan untuk mengajak keluarganya yang merokok agar mau berhenti merokok.
“Kami kan mempunyai amal usaha, amal usaha kami itu adalah mulai dari TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi. Lalu amal usaha kesehatan, itu klinik-klinik, rumah sakit. Amal usaha yang lain yang punya kantor-kantor, itu kami melakukan gerakan bersama penyebaran informasi, tempat-tempat bekerja itu menjadi kawasan tanpa rokok. Kemudian kami mengembangkan proses belajar yang sesuai dengan fatwa (Muhammadiyah) tadi, agar guru-guru itu menjadi teladan, guru-guru tidak merokok,” kata Sophiati.
Penerapan harga rokok yang mahal menurut Ketua Forum Anak Surabaya, Akmal Choiron, merupakan salah satu cara untuk mengurangi konsumsi rokok, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Namun, harga rokok yang mahal tetap tidak terlalu signifikan mengurangi angka perokok anak, bila iklan rokok masih ditampilkan di ruang publik, baik melalui televisi maupun papan reklame di jalanan.
“Untuk mengurangi penggunaan rokok, cara yang paling efektif bisa dimulai dari pemangkasan budaya rokok, bisa dimulai dari berhentinya iklan-iklan rokok dan menghilangkan citra rokok di masyarakat bahwa rokok itu adalah sesuatu yang wajar dan baik,” demikian usulan Akmal. [pr/uh]