Petani Sawit Harap Pelarangan Ekspor CPO Hanya Berlaku Sepekan

  • Nurhadi Sucahyo

Pekerja memindahkan buah sawit yang dipanen ke truk pengangkut sebelum diolah menjadi minyak sawit mentah (CPO) di perkebunan sawit di Pekanbaru pada 23 April 2022. (Foto: AFP/WAHYUDI)

Keputusan Presiden Joko Widodo menyetop ekspor minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) bertujuan menstabilkan pasokan minyak goreng dalam negeri. Petani sawit meminta, kebijakan ini cukup diterapkan selama tujuh hari.

Larangan sementara ekspor minyak sawit itu diperjelas melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022. Selain CPO, produk turunan sawit yang juga dilarang untuk diekspor adalah Refined, Bleached And Deodorized Palm Oil (RBD PO), Refined, Bleached And Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein), serta used cooking oil atau minyak jelantah.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyebut, kebijakan ini berdampak bagi para petani sawit skala kecil. Dengan lahan kurang dari empat hektare, petani kelompok ini sebenarnya menggantungkan hidup hanya dari kelapa sawit. Sekjen SPKS, Mansuetus Darto, mengatakan skema perdagangan tandan sawit juga belum berpihak ke petani kecil, di mana ada selisih harga sebesar 20 persen dari penetapan. Kebijakan presiden akan memperlebar selisih harga itu hingga 60 persen, dari harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang ditetapkan pemerintah.

Seorang pekerja mengangkat buah sawit yang dipanen ke truk pengangkut sebelum diolah menjadi minyak sawit mentah (CPO) di perkebunan sawit di Pekanbaru pada 23 April 2022. (Foto: AFP/WAHYUDI)

Karena itulah, meski mendukung SPKS meminta kebijakan itu diterapkan dalam jangka pendek saja.

“SPKS mendukung kebijakan ini, asalkan tidak terlalu lama. Dengan kisaran cukup satu minggu setelah ditetapkan kebijakan ini pada 28 April 2022, dengan berbagai pertimbangan pendapatan petani kecil dan tata kelola sawit Indonesia,” kata Darto.

SPKS mencatat, sejak kebijakan ini diumumkan, pabrik membeli TBS dari petani pada kisaran harga mulai Rp1.600 per kilogram hingga Rp3000 per kilogram. Padahal, harga semestinya ada di angka Rp3.700-an per kilogram.

BACA JUGA: Jokowi: Sebuah Ironi, Indonesia Produsen Sawit Terbesar Dunia, Tapi Langka Minyak Goreng

Di sisi lain, saat ini petani sawit juga dibebani biaya yang relatif tinggi. Pupuk berada di kisaran harga Rp950 ribu per zak untuk kemasan 50 kilogram. Sedangkan harga pestisida dan herbisida berkisar Rp1,7 juta per kemasan 20 liter.

“Kenaikan harga input produksi telah membuat biaya produksi yang semakin tinggi di petani sawit. Jika penurunan harga TBS terus berlangsung, petani semakin rugi bahkan tidak lagi mampu untuk berproduksi,” tambah Darto.

SPKS meminta ada terobosan kebijakan dan penegakan hukum terkait persoalan ini. Darto mengusulkan, dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang selama ini mengalir ke pengusaha raksasa minyak sawit, disalurkan ke petani untuk pupuk dan peremajaan. Untuk menaikkan harga TBS di tingkat petani, pemerintah diminta menghentikan sementarapungutan sawit untuk program biodiesel (B30). Presiden juga harus mencari solusi jangka panjang kelangkaan minyak goreng dengan perbaikan tata kelola.

Pekerja memasang pipa untuk memompa minyak sawit mentah (CPO) ke kapal tanker di Pelabuhan Belawan di Provinsi Sumatera Utara, 21 Februari 2013. (Foto: REUTERS/Roni Bintang)

Dalam penegakan hukum, SPKS meminta dilakukan investigasi terhadap perusahaan-perusahaan besar sebagai traders minyak sawit Indonesia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga harus melakukan pengawasan dan investigasi terhadap pelaku bisnis sawit mulai dari trader, produsen hingga perusahaan kecil (grower) yang melakukan praktek pengaturan harga secara sepihak.

“SPKS, mendukung sepenuhnya gubernur,bupati dan walikota yang menghimbau perusahaan di wilayah kerjanya untuk tetap membeli TBS milik petani sesuai harga ketetapan pemerintah,” lanjut Darto.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. (Foto: Humas Kemendag)

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, pada 28 April menegaskan larangan sementara ekspor bahan baku dan produk minyak goreng berlaku hingga kebutuhan dalam negeri terpenuhi serta harga minyak goreng curah mencapai Rp14.000 per liter.

“Kami kembali menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau untuk seluruh masyarakat indonesia,” kata Lutfi.

Lutfi memastikan, keputusan tersebut ditetapkan dengan sangat seksama, memperhatikan perkembangan hari demi hari, khususnya situasi ketersediaan minyak goreng curah untuk masyarakat.

BACA JUGA: Larangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Buat Konsumen Dunia ‘Kelabakan’

“Tentu akan ada dampak dari kebijakan ini, namun sekali lagi saya tegaskan bahwa kepentingan rakyat adalah yang paling utama,” imbuhnya.

Larangan sementara ini berlaku untuk seluruh daerah pabean Indonesia, dan dari kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB), yaitu Batam, Bintan, Karimun, dan Sabang.

“Namun, bagi para eksporter yang telah mendapatkan nomor pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor paling lambat 27 April 2022, tetap dapat melaksanakan ekspor,” ujar Mendag lagi.

Seorang pekerja memuat buah sawit di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. (Foto: Antara/Sahrul Manda Tikupadang via REUTERS)

Di sisi lain, eksporter yang melanggar ketentuan akan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Lutfi memastikan pemerintah bersama-sama dengan aparat kepolisian dan aparat penegak hukum lain, akan memantau seluruh pelaksanaan kebijakan ini.

Lutfi menegaskan, kebutuhan pokok masyarakat Indonesia adalah prioritas pemerintah. Larangan sementara ekspor ini merupakan upaya mendorong ketersediaan bahan baku, pasokan minyak goreng dalam negeri dan menurunkan harga minyak goreng.

“Saya harap kita semua dapat memahami urgensi dari kebijakan ini dan bekerja sama demi seluruh rakyat Indonesia,” kata Lutfi. [ns/ah]