Tautan-tautan Akses

Jokowi: Sebuah Ironi, Indonesia Produsen Sawit Terbesar Dunia, Tapi Langka Minyak Goreng


Tumpukan buah sawit milik PT Perkebunan Nusantara VIII Kertajaya di Banten, 19 Juni 2012. (Foto: REUTERS/Supri)
Tumpukan buah sawit milik PT Perkebunan Nusantara VIII Kertajaya di Banten, 19 Juni 2012. (Foto: REUTERS/Supri)

Pemerintah mengakui berbagai kebijakan yang dilakukan dalam menangani polemik ketersediaan minyak goreng di dalam negeri belum efektif.

Presiden Joko Widodo menilai kelangkaan minyak goreng dan bahan bakunya di dalam negeri adalah sebagai sebuah ironi. Hal ini mengingat, Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar di dunia.

“Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, ironis kita malah mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng,” ungkapnya dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu (27/4) malam.

Oleh karena itu langkah pemerintah untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng jenis refined bleached deodorized (RBD) palm olein semata-mata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat akan minyak goreng. Ia meminta para pelaku usaha dalam industri sawit melihat permasalahan ini dengan jernih dan diharapkan mengikuti kebijakan tersebut.

Presiden Jokowi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu (27/4) mengatakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng jenis RBD Palm Oilen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri (biro Setpres)
Presiden Jokowi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu (27/4) mengatakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng jenis RBD Palm Oilen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri (biro Setpres)

Diakuinya, memang kebijakan pelarangan sementara ekspor bahan baku minyak goreng ini berdampak negatif bagi seluruh ekosistem di dalam industri sawit, terutama para petani.

“Larangan ini memang menimbulkan dampak negatif, berpotensi mengurangi produksi, hasil panen petani yang tak terserap. Namun tujuan kebijakan adalah untuk menambah pasokan dalam negeri hingga pasokan melimpah. Saya minta kesadaran industri minyak sawit untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, prirotaskan dulu dalam negeri, penuhi dulu kebutuhan rakyat,” jelasnya.

Lebih jauh Jokowi mengatakan sebenarnya bukan hal yang mustahil memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Pasalnya volume bahan baku minyak goreng yang diproduksi dan diekspor oleh Indonesia, jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan di dalam negeri.

“Masih ada sisa kapasitas yang sangat besar. Jiika kita semua mau dan punya niat untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai prioritas, dengan mudah kebutuhan dalam negeri dapat dicukupi. Ini yang menjadi patokan saya untuk evaluasi kebiijakan itu, begitu kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi tentu saya akan mencabut larangan ekspor karena saya tahu negara perlu pajak, negara perlu devisa, negara perlu surplus neraca perdagangan tapi memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah prioritas yang lebih penting,” tegasnya.

Larangan Ekspor Tidak Diperlukan

Pengamat Ekonomi CELIOS Bhima Yudhistira menilai kebijakan pelarangan sementara ekspor bahan baku minyak goreng merupakan langkah yang tergesa-gesa, yang menurutnya dilakukan pemerintah untuk memberikan shock therapy kepada para pengusaha sawit yang nakal. Namun, sayang kebijakan ini berdampak pada seluruh ekosistem di dalam industri ini, utamanya petani yang harus menerima kenyataan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang terjun rata-rata 30 persen dalam kurun waktu beberapa hari ini.

Ia juga melihat bahwa kebijakan tersebut tidak akan efektif untuk menurunkan harga minyak goreng di pasaran, karena para produsen sawit secara otomatis akan membebankan kehilangan omset dari ekspor RBD Palm Oilen kepada harga minyak goreng.

“Jadi pemerintah tidak perlu dengan cara begini. Harusnya cukup pakai pungutan ekspor yang dinaikkan atau masalah bea keluar sawitnya dinaikkan dan ini pernah terjadi di 2011, dan solusi ini efektif untuk meredam gejolak disparitas harga yang terlalu jauh antara harga ekspor dengan di dalam negeri. jadi cara-cara itu yang seharusnya dipakai, dan kenapa tidak dipakai kali ini, itu yang menjadi pertanyaan besarnya,” ungkap Bhima kepada VOA.

Lebih jauh, Bhima menjelaskan kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan tudingan bahwa Indonesia dianggap melakukan proteksionisme karena merugikan negara yang sudah biasa mengimpor sawit dari Indonesia dan tidak menutup kemungkinan bisa digugat di dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Pekerja memasang pipa untuk memompa minyak sawit mentah (CPO) ke kapal tanker di pelabuhan Belawan di Provinsi Sumatera Utara, 21 Februari 2013. (Foto: REUTERS/Roni Bintang)
Pekerja memasang pipa untuk memompa minyak sawit mentah (CPO) ke kapal tanker di pelabuhan Belawan di Provinsi Sumatera Utara, 21 Februari 2013. (Foto: REUTERS/Roni Bintang)

“Indonesia juga bisa dianggap berkontribusi terhadap kenaikan inflasi global, dan di saat yang bersamaan Indonesia sebagai Presidensi G20 maka yang di dorong adalah soal koordinasi perdagangan dan investasi antar negara, jadi proteksionisme ini kontradiksi dan ini bisa hambat banyak kerja sama karena bisa dianggap Indonesia membuat kebijakan yang mendadak dan kita tidak dalam rezim perang dagang,” tuturnya.

Petani Sudah Terlanjur Merugi

Sementara itu, dalam siaran pers yang diterima oleh VOA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat Manurung menyambut baik kebijakan ini, meski menilai larangan ekspor khusus untuk jenis RBD Palm Olein terlambat, sehingga memberi ruang dan waktu kepada para spekulan untuk memainkan harga TBS petani sawit. Ia yakin secara matematis dan ekonomis seharusnya larangan ekspor RBD Palm Oilen ini tidak akan mempengaruhi konsumsi TBS dan harga TBS petani.

“Secara umum kami melihat, bahwa delapan provinsi sawit yang sudah memiliki Pergub Tataniaga TBS lebih aman dan fleksibel pada situasi tidak kondusif sejak tanggal 22-26 April, dimana penurunan harga TBS berkisar 20-40 persen. Kondisi lebih parah jelas terpantau di provinsi yang belum memiliki Pergub Tataniaga TBS, dengan penurunan harga TBS 55-70 persen dibandingkan sebelum tanggal 22 April. Akibatnya Petani sawit telah mengalami kerugian sekitar Rp.11,7 Triliun selama empat hari,” ungkap Gulat

Oleh karena itu APKASINDO menghimbau kepada seluruh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dari Aceh sampai Papua untuk tunduk dan patuh kepada regulasi yang ada, terutama Permentan 01 tahun 2018 dan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Tataniaga TBS.

Jokowi: Sebuah Ironi, Indonesia Produsen Sawit Terbesar Dunia, Tapi Langka Minyak Goreng
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:43 0:00

“Stop PKS berlaku curang dan cari untung melebihi kewajaran. Pesta sudah usai. Dan kepada para pembeli CPO yang dikenal dengan the Big Five, supaya membeli CPO-CPO dari PKS-PKS dengan harga KPBN, Pak Menko sudah memberi keterangan, yang ditunggu 4 hari ini. Semua ini saling berhubungan dengan harga TBS kami Petani,” tuturnya.

“Jika masih ada PKS yang melakukan kecurangan, silahkan hubungi Posko Pengaduan Kecurangan Harga PKS DPP APKASINDO. Sejak kami membuka Posko Pengaduan, sudah masuk ribuan laporan petani sawit yang berasal dari 22 Provinsi APKASINDO, dan kami akan memonitor terus dan melaporkannya ke aparat penegak hukum untuk ditindak,” pungkasnya. [gi/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG