Petani kelapa sawit menghadapi persoalan yang berbeda dalam sepuluh tahun terakhir dan periode sebelumnya. Ketika ekspansi sawit dimulai pada tahun 1970-an, bibit sawit, pupuk dan sarana produksi menjadi masalah utama. Setidaknya mulai 2008, masalah terbesar petani sawit Indonesia adalah regulasi pemerintah mengenai kawasan hutan.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Medali Emas Manurung memaparkan itu dalam diskusi Jalan Tengah Penyelesaian Sawit Rakyat Dalam Kawasan Hutan. Diskusi ini diselenggarakan lembaga HICONSenin 10 Agustus. Gulat bahkan menyebut, pernyataan itu didasarkan pada penelitian yang dia lakukan sendiri.
“Setelah 2008 ke atas, ini kami teliti selama 10 tahun, setelah kita ambil sampel petani di 117 kabupaten, teryata luar biasa. Yang dulunya kami tidak memperhitungkan kawasan, ternyata pada hari ini kawasan hutan adalah persoalan kami yang pertama dan utama,” kata Gulat.
Your browser doesn’t support HTML5
Pemerintah pusat memang tengah memperjelas peta hutan nasional melalui sejumlah program. Sebagai dampaknya, ada lebih dari satu juta hektar lahan yang kini ditanami sawit oleh petani kecil, ternyata termasuk kawasan hutan. Gulat mengatakan, yang paling menakutkan saat ini bagi petani sawit kecil adalah aparat hukum. Apalagi jika lahan yang sudah bertahun-tahun dikelola itu, tiba-tiba saja dinyatakan sebagai kawasan hutan.
Ada sejumlah masalah yang dihadapi petani menyangkut lahan yang berada di dalam kawasan hutan. Petani sawit kecil setidaknya harus berhadapan dengan tiga pihak, sesama petani, korporasi sawit besar, dan negara. Persoalan paling berat, kata Gulat, terjadi ketika petani berhadapan dengan korporasi. Sedangkan urusan petani dengan negara dianggap paling ringan, karena petani yakin negara melindungi mereka.
Ada tiga sebab, kata Gulat, petani menanam sawit di lahan yang masuk kawasan hutan. Pertama adalah keterlanjuran, dimana sawit itu sudah ditanam sejak lebih dari 25 tahun lalu. Penyebab kedua adalah karena tidak adanya pengawasan, dimana batas hutan tidak jelas di banyak wilayah. Sedangkan sebab ketiga adalah ketidaktahuan, yang muncul karena perubahan aturan begitu cepat dari pemerintah, sedangkan petani sawit lambat mempelajarinya.
Karena itulah, petani sawit selalu tidak mampu disejajarkan dengan korporasi dalam persoalan seperti ini.
“Perusahaan atau teman-teman korporasi punya manajemen yang bagus, punya kantor pusat di pusat pemerintahan, mereka rapat di gedung bagus. Kalau petani? Kami tahu ada perubahan RT/RW saja bisa dalam hitungan bulan, tahu-tahu sudah masuk dalam kawasan hutan. Kami hanya rapat di bawah pohon-pohon sawit, sambil menghitung apa yang akan dikerjakan,” tambah Gulat.
Dosen dan peneliti sawit dari Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hero Marhaento menilai ada yang perlu diperbaiki terkait metode penyelesaian masalah ini oleh pemerintah. Kelapa sawit, kata Hero, sejak tahun 70-an dipercaya pemerintah sebagai jalan keluar mengatasi kemiskinan terutama di luar Jawa. Pemerintah melakukan pelepasan lahan dan memberikan kemudahan kredit untuk merintis sektor ini. Pada perjalanannya, sawit kini bahkan menyumbang devisa terbesar, mengalahkan sektor Migas.
Sejumlah negara juga menjadikan sawit sebagai komoditas unggulan. Di samping itu, kehadirannya juga berdampak pada produsen minyak sejenis yang berasal dari tanaman berbeda. Kompetisi di tingkat global tidak bisa dihindari, hingga muncul banyak kampanye yang menyudutkan sawit Indonesia.
“Kita dihajar kurang lebih ya, dari luar negeri mengancam, dan dari dalam negeri juga menyalahkan. Tapi coba kita lihat, tudingan itu tidak sepenuhnya ngawur, karena kenyataannya memang luas sekali kebun sawit yang terlanjur di dalam kawasan hutan,” kata Hero.
Fakultas Kehutanan UGM pernah melakukan penelitian pada yang menemukan data bahwa 2,8 juta hektar kebun sawit ada di kawasan hutan. Pada tahun 2018, lembaga Auriga membuat perhitungan baru yang mencatat luasan itu naik hingga 3,4 juta hektar. Artinya, kata Hero, ekspansi kelapa sawit terus berlanjut di tingkat nasional. Dalam pengamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur, lanjut Hero, dari 551 ribu hektar kebun sawit, selua 318 ribu hektar atau 57 persen ada di kawasan hutan. Sedangkan di Riau menurut data APKASINDO, angkanya mencapai lebih 60 persen.
Namun, terjadi paradoks di tengah ekspansi sawit yang merusak hutan. Hero mengatakan, 40 persen kebun kelapa sawit di Indonesia dikelola petani kecil. Data menguatkan, komoditas ini adalah salah satu yang bisa mengentaskan petani dari kemiskinan. Tidak hanya itu, cakupan tenaga kerjanya juga besar. Pada tahun 2000, hanya ada 1,36 juta petani sawit. Namun pada 2016, angkanya menjadi 4,4 juta petani. Juga tenaga kerja yang diserap juga berlipat, dari 2,7 juta naik hingga 7,8 juta.
Hero meminta pemerintah lebih jeli melihat peran petani sawit kecil dalam ekspansi kawasan hutan ini.
“Ini tidak menjadi domain kesalahan petani, karena kenyataannya sebagian besar dari hipotesis kami, yang melakukan ekspansi ke kawasan hutan itu dari perusahaan sawit. Kami menduga, dari 3,4 juta hektar sawit di kawasan hutan, 700 ribu sampai 1 juta hektar itu pelakunya petani swadaya. Sementara perusahaan berkontribusi sekitar 2,5 juta hektar,” ungkap Hero.
Hero melihat, pendekatan koersif yang dilakukan pemerintah dengan membongkar kebun sawit petani kecil dan membawa mereka ke pengadilan tidak sepenuhnya tepat. Mayoritas petani itu hanya ingin membuka usaha untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Fakultas Kehutanan UGM menawarkan konsep yang disebut sebagai Jangka Benah, yaitu periode yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan. Kebun sawit monokultur pelan-pelan diubah menyerupai struktur dan fungsi hutan campur. Jangka benah dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah mencampur tanaman sawit dengan tanaman lain dan disebut sebagai kebun campur. Praktik ini sudah dilakukan secara coba-coba oleh petani dengan menanam sengon, karet, kakao atau cengkeh di sejumlah daerah.
Antropolog dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), UGM, Hery Santoso menyebut, praktik budidaya tanaman di hutan sudah sejak lama dilakukan. Ketika karet, kakao, atau kopi masuk ke Indonesia, pertama kali perkebunan rakyat dibuka di hutan-hutan.
Hery melihat, sejak awal persoalan ini tidak ditangani tuntas oleh pemerintah. Tidak ada pelarangan yang jelas, tetapi juga tidak diberikan izin yang pasti.
“Sehingga dengan tidak diselesaikannya persoalan ini, maka produksi komoditas masyarakat menjadi tidak kompetitif di pasar,” kata Hery. [ns/ab]