Diselenggarakan oleh International Women's Media Foundation, atau IWMF, sesi pelatihan ini merupakan bagian dari kampanye nasional untuk mengajarkan para jurnalis yang berbasis di Amerika Serikat tentang berbagai cara agar tetap aman saat bertugas – termasuk ketika meliput kampanye pemilihan presiden.
Selama setahun terakhir, IWMF telah melatih lebih dari 620 wartawan di 13 negara bagian.
“Tur keselamatan ini benar-benar mencerahkan. Sayangnya, apa yang kami dengar cukup mengkhawatirkan, dan ini bukan hanya tentang peliputan pemilu,” kata direktur eksekutif IWMF Elisa Lees Muñoz kepada VOA. “Apa yang semakin kami pahami adalah bahwa secara harfiah setiap persoalan di Amerika telah menjadi persoalan yang terpolarisasi, dan karena itu menjadi persoalan yang berbahaya.”
Tiga kali lebih banyak jurnalis yang ditangkap di AS tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu, menurut US Press Freedom Tracker. Lebih banyak jurnalis yang diserang juga, menurut data kelompok tersebut.
“Kami melihat para jurnalis masih berjuang setiap hari untuk menegakkan hak dasar kebebasan pers,” ujar Kirstin McCudden, redaktur pelaksana Tracker, kepada VOA di kantor kelompok tersebut di Brooklyn. “Ini sedikit mengkhawatirkan.”
Banyak dari insiden tersebut terjadi selama protes pro-Palestina. Dalam satu kasus, tiga wartawan foto ditangkap di Chicago pada bulan Agustus ketika meliput protes di sekitar area Konvensi Nasional Partai Demokrat.
“Polisi merasa bahwa mereka memiliki kekuatan untuk melanggar hak-hak jurnalis. Kemudian yang akhirnya terjadi adalah hal itu berubah menjadi efek bola salju. Lebih banyak lagi lembaga kepolisian yang menindak lebih keras lagi,” kata Trevor Timm, direktur eksekutif Freedom of the Press Foundation, yang menerbitkan Tracker.
Meski kebebasan pers kerap menjadi isu lokal, hal ini juga penting terkait dengan apa yang dikatakan oleh para kandidat presiden dan bagaimana mereka memperlakukan pers, kata sejumlah analis.
Kampanye mantan Presiden Donald Trump telah diselingi berbagai serangan yang sama terhadap media yang menjadi ciri khas masa kepresidenannya, kata para analis yang berbicara dengan VOA.
Menjelang dan selama masa kepresidenan Trump, Stephanie Sugars, reporter senior di Tracker, mendokumentasikan lebih dari 2.000 unggahan anti-media oleh Trump di platform media sosial X, yang saat itu dikenal dengan nama Twitter. Tenor dari berbagai unggahan itu berevolusi dari menarget jurnalis secara individu, menjadi menargetkan outlet berita tertentu, hingga menargetkan industri media secara luas.
“Banyak dari retorika itu masih digunakan dan merupakan bagian dari buku pedomannya,” kata Sugars. Ia menambahkan bahwa Tracker akan memantau postingan anti-media dari Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris jika postingan semacam itu ada.
BACA JUGA: Partai Republik, Demokrat Berupaya Cegah Klaim Kecurangan Pemilih Jelang PemiluSugars memperingatkan agar tidak hanya menyalahkan Trump atas meningkatnya permusuhan yang dihadapi jurnalis di Amerika Serikat.
“Jika Anda menebarkan ketidakpercayaan pada sumber-sumber eksternal semacam ini, dan benar-benar mendorong pengikut Anda, mereka yang mendukung Anda, untuk hanya mempercayai apa yang Anda katakan secara spesifik, itu adalah cara yang bagus untuk mempertahankan kontrol yang kuat atas narasi, kebenaran yang dipahami, dan itu adalah kekuatan yang luar biasa,” ujar Sugars.
McCudden setuju. “Retorika memang penting, dan itu adalah bahan bakar untuk api,” katanya.
Menanggapi permintaan VOA untuk memberikan komentar, kampanye kepresidenan Trump membagikan pernyataan yang awalnya diberikan oleh juru bicara Komite Nasional Partai Republik Taylor Rogers kepada situs berita konservatif, Daily Caller.
Dalam pernyataan tersebut, Rogers menggambarkan Trump sebagai “pejuang kebebasan berbicara” dan mengatakan bahwa “semua orang lebih aman di bawah Presiden Trump, termasuk para wartawan.”
Mengurangi risiko
Lingkungan yang tidak bersahabat bagi para jurnalis muncul ketika kepercayaan terhadap media sudah berada pada rekor terendah di Amerika Serikat, menurut Gallup. Serangan atau retorika permusuhan terhadap pers hanya memperburuk situasi.
Sejauh ini, Tracker hanya mendokumentasikan beberapa pelanggaran yang berhubungan langsung dengan pemilu. Namun, McCudden mengatakan, “Sejarah mengatakan bahwa kita harus khawatir dan waspada.” Ia mencontohkan pemberontakan 6 Januari 2021 di Gedung Kongres, ketika 18 wartawan diserang.
BACA JUGA: Gangguan Stress akibat Pemilu Nyata Terjadi Jelang PilpresMungkin diperlukan beberapa hari untuk memastikan hasil pemilu, kata McCudden. “Dan pada saat itu, ketegangan akan tinggi. Dan jurnalis yang bertugas meliput momen menegangkan seperti ini juga sering berada dalam bahaya,” ujarnya.
Pelatihan keselamatan IWMF pada awalnya ditujukan bagi para jurnalis di zona tempur dan wilayah berbahaya. Namun, setelah pemilihan presiden AS tahun 2016, ketika serangan terhadap media mulai meningkat, IWMF menyadari bahwa jurnalis yang berbasis di AS juga akan mendapat manfaat dari pelatihan ini, menurut Muñoz.
Bagi Jennifer Thomas, seorang profesor jurnalisme Universitas Howard di Washington, pelatihan ini memberikannya alat untuk membantu para mahasiswanya agar tetap aman.
“Dulu ketika saya masih meliput secara lokal, dan kemudian secara nasional dan meliput berita, kami tidak perlu terlalu khawatir ketika pergi meliput suatu peristiwa,” kata Thomas, yang sebelumnya bekerja di CNN. “Nah, waktu telah berubah.”
Selama pelatihan, Thomas dan yang lainnya diperkenalkan dengan berbagai sumber daya tentang berbagai masalah termasuk meliput kerusuhan dan menangani penangkapan. Muñoz berpendapat bahwa informasi ini akan menjadi semakin penting bagi para jurnalis di AS pada tahun-tahun mendatang. [th/ab]