Pimpinan dan 23 Anggota DPR Dilaporkan ke Majelis Kehormatan

  • Fathiyah Wardah

Koalisi Tolak Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (12/6) melaporkan pimpinan beserta 23 anggota DPR yang menjadi panitia khusus hak angket KPK, ke Majelis Kehormatan Dewan DPR. (Foto: VOA/Fathiyah)

Koalisi Tolak Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (12/6) melaporkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah dan Fadli Zon, beserta 23 anggota DPR yang menjadi panitia khusus hak angket KPK, ke Majelis Kehormatan Dewan. Koalisi ini menuding 25 anggota parlemen itu melanggar kode etik DPR.

Koalisi Tolak Hak Angket KPK yang terdiri dari beragam lembaga swadaya masyarakat, antara lain Tangerang Public Transparency Watch, Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum Pers, Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Pusat Pendidikan Antikorupsi Universitas nahdhatul Ulama Indonesia, Tangerang Education Center, dan Indonesia Budget Center; hari Senin (12/6) menyampaikan laporan pengaduan ke Majelis Kehormatan Dewan di kompleks DPR/MPR Jakarta.

Dalam konferensi pers, Julius Ibrani dari PBHI menjelaskan sejak 28 April Koalisi Tolak Hak Angket KPK menengarai prosedur dan substansi angket bertentangan dengan Pasal 199 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3.

"Di mana ada ketentuan ketika menyusun hak angket, minimal dihadiri oleh satu perdua anggota DPR dan disepakati oleh satu perdua anggota yang hadir dalam rapat tersebut. Tapi faktanya kami tahu pada tanggal 28 April tidak sampai pada angka satu perdua itu," kata Julius.

Koalisi Tolak Hak Angket KPK menambahkan penyusunan hak angket tidak transparan, partisipatif, dan tidak musyawarah itu diduga melanggar Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Anggota DPR. Setidaknya ada empat pasal dalam peraturan mengenai kode etik yang dilanggar dua pimpinan DPR dan 23 anggota Panitia Khusus Hak Angket KPK, yakni pasal 2 ayat 1, pasal 2 ayat 2, pasal 3 ayat 1, dan pasal 3 ayat 4.

Fira Mubayyinah dari Pusat Pendidikan Antikorupsi Universitas Nahdhatul Ulama mengatakan Koalisi Tolak Hak Angket KPK mendesak Majelis kehormatan Dewan untuk segera memanggil dan memeriksa dua pimpinan DPR serta 23 anggota Panitia Khusus Hak Angket KPK.

Dalam jumpa pers tersebut perwakilan dari Koalisi Tolak Hak Angket KPK tersebut memakai masker atau penutup wajah. Menurut Tibiko Zabar dari ICW, masker ini merupakan simbol adanya bau tidak sedap dalam pengusulan hak angket terhadap KPK.

"Jadi lagi-lagi perlu diingatkan bahwa DPR jangan mengutamakan kepentingan-kepentingan kelompok, kepentingan-kepentingan individu kalau publik masih mau percaya. Kalau suara publik diabaikan, tidak didengar, maka jangan salahkan ketika publik lagi-lagi menilai DPR dengan citra negatif," papar Tibiko.

Your browser doesn’t support HTML5

Pimpinan dan 23 Anggota DPR Dilaporkan ke Majelis Kehormatan

Anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi mengatakan KPK merupakan institusi yang berjalan sendiri tanpa pengawasan yang ketat dan membantah jika hak angket yang diajukan ini dinilai sebagai upaya melemahkan KPK.

"Hal itu tidak akan melemahkan KPK. Kalau ingin melemahkan KPK mungkin dengan tindakan lain misalnya untuk setiap perkara yang sampai 200-400 juta per perkara , itu kita katakan gunakan anggaran seperti kejaksaan setiap perkara Cuma 15 juta. Kalau kita katakan pengurangan anggaran terhadap KPK itu akan lemah tetapi kita tidak pernah bermain seperti itu artinya kita dukung," ujar Taufiqulhadi.

Dalam rapat perdana Rabu pekan lalu, Panitia Khusus Hak Angket KPK telah memilih Agun Gunanjar sebagai ketua Pansus. Agun merupakan saksi pernah diperiksa dalam kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik karena diduga pernah menerima duit US$1.047.

Jumlah fraksi yang ikut mengajukan hak angket pun bertambah, awalnya pada rapat paripurna 30 Mei lalu hanya lima fraksi, yaitu PDI-Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hanura. Kemudian PAN dan Gerindra menyusul.

Hak angket ini diperkirakan tidak hanya akan membahas bekas politikus Hanura Miryam S. Haryani. Miryam sebelumnya disebut-sebut ditekan sejumlah anggota Komisi II DPR agar mencabut keterangan dalam kesaksiannya atas kasus e-KTP, juga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto. Masalah ini pula awalnya menjadi alasan DPR menggulirkan hak angket. [fw/em]