Ambruknya ekonomi Yunani telah mengakibatkan krisis kemanusiaan di salah satu wilayah pinggiran kota pelabuhan Piraeus.
Bangkai sebuah kapal pesiar mewah yang berkarat tertambat di pelabuhan Perama, sebuah proyek yang dimulai dan kemudian ditinggalkan empat tahun lalu ketika perusahaan pembuat kapal itu gulung tikar.
Galangan kapal itu sunyi senyap, petunjuk pertama bencana ekonomi itu telah menimpa kota di lereng bukit ini.
Pembuatan dan pemeliharaan kapal, sumber hidup industri Perama, mati. Panayiotis Karagiannakis, pimpinan serikat buruh pekerja dermaga, mengatakan, hari-hari ini situasi di galangan kapal itu tragis. Pengangguran mencapai 90 persen. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk memodernisir fasilitas-fasilitas itu guna menyesuaikan dengankebutuhan industri itu.
Tahun 2010 operasi-operasi di galangan kapal utama di Piraeus, salah satu pelabuhan tersibuk Eropa, dijual kepada perusahaan Tiongkok Cosco.
Tetapi, Karagiannakis mengatakan para pekerja itu tidak menyalahkan Tiongkok. Katanya, masalah kami adalah bukan karena Tiongkok melaksanakan kebijakan perkapalan, tetapi Pemerintah Yunani tidak melakukan hal yang sama. Kami punya kemampuan, punya armada yang begitu besar, untuk mendukung industri ini dan mempromosikannya. Itu tidak terjadi karena kami tidak punya kemauan politik, tambahnya.
Di jalan yang berbelok-belok mengarah keluar dari pelabuhan itu terletak sebuah klinik kesehatan darurat yang dijalankan Dokter Dunia cabang Yunani, sebuah kelompok bantuan yang lebih sering bergerak di zona perang dan bencana kelaparan.
Dokter Meropi Manteou, sukarelawan di klinik itu, mengatakan, masalah terbesar menyangkut anak-anak karena mereka tidak bisa divaksinasi dan tidak mendapat layanan kesehatan. Masalah terbesar kedua adalah pasien-pasien yang kehilangan asuransi kesehatan. Mereka bisa mendapat obat resep, tetapi tidak mampu membayarnya.
Seorang perempuan setengah baya mengatakan, ia menganggur sejak 2008. Ia terus mencari pekerjaan, tetapi tidak berhasil. Ia mengatakan bersedia membersihkan kamar mandi, dan ia melakukannya demi cucu-cucunya yang kelaparan.
Di rumahnya yang kecil, Spiridoula Firlemi, berusaha membesarkan bayinya yang berusia tiga bulan. Langit-langit rumahnya hampir runtuh. Suaminya, tukang pipa, tidak punya pekerjaan tetap sejak tiga tahun lalu.
Galangan kapal itu sunyi senyap, petunjuk pertama bencana ekonomi itu telah menimpa kota di lereng bukit ini.
Pembuatan dan pemeliharaan kapal, sumber hidup industri Perama, mati. Panayiotis Karagiannakis, pimpinan serikat buruh pekerja dermaga, mengatakan, hari-hari ini situasi di galangan kapal itu tragis. Pengangguran mencapai 90 persen. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk memodernisir fasilitas-fasilitas itu guna menyesuaikan dengankebutuhan industri itu.
Tahun 2010 operasi-operasi di galangan kapal utama di Piraeus, salah satu pelabuhan tersibuk Eropa, dijual kepada perusahaan Tiongkok Cosco.
Tetapi, Karagiannakis mengatakan para pekerja itu tidak menyalahkan Tiongkok. Katanya, masalah kami adalah bukan karena Tiongkok melaksanakan kebijakan perkapalan, tetapi Pemerintah Yunani tidak melakukan hal yang sama. Kami punya kemampuan, punya armada yang begitu besar, untuk mendukung industri ini dan mempromosikannya. Itu tidak terjadi karena kami tidak punya kemauan politik, tambahnya.
Di jalan yang berbelok-belok mengarah keluar dari pelabuhan itu terletak sebuah klinik kesehatan darurat yang dijalankan Dokter Dunia cabang Yunani, sebuah kelompok bantuan yang lebih sering bergerak di zona perang dan bencana kelaparan.
Dokter Meropi Manteou, sukarelawan di klinik itu, mengatakan, masalah terbesar menyangkut anak-anak karena mereka tidak bisa divaksinasi dan tidak mendapat layanan kesehatan. Masalah terbesar kedua adalah pasien-pasien yang kehilangan asuransi kesehatan. Mereka bisa mendapat obat resep, tetapi tidak mampu membayarnya.
Seorang perempuan setengah baya mengatakan, ia menganggur sejak 2008. Ia terus mencari pekerjaan, tetapi tidak berhasil. Ia mengatakan bersedia membersihkan kamar mandi, dan ia melakukannya demi cucu-cucunya yang kelaparan.
Di rumahnya yang kecil, Spiridoula Firlemi, berusaha membesarkan bayinya yang berusia tiga bulan. Langit-langit rumahnya hampir runtuh. Suaminya, tukang pipa, tidak punya pekerjaan tetap sejak tiga tahun lalu.