Tak lama setelah melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal kedua menjadi 5,05 persen, PMI Manufaktur pun turun di bawal level 50 – tepatnya di 49,3 – atau berarti di zona kontraksi. Presiden Joko Widodo mengatakan setelah 34 bulan berturut-turut PMI Manufaktur berada di dalam zona ekspansif, pada Juli akhirnya menyentuh di bawah level 50.
“Ini agar dilihat betul, diwaspadai secara hati-hati, karena beberapa negara di Asia PMI-nya juga berada di bawah 50 yaitu Jepang 49,2; Indonesia 49,3; RRT 49,8; Malaysia 49,7,” ungkap Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna, di IKN, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin (12/8).
Berdasarkan laporan yang diterimanya, ada beberapa sektor di manufaktur tanah air yang terkontraksi seperti bagian produksi yang minus 2,6 persen, pesanan baru minus 1,7 persen, dan employment minus 1,7 persen.
Ia pun menginstruksikan jajarannya untuk dicari tahu penyebab utama anjloknya PMI Manufaktur Indonesia agar bisa kembali ke zona ekspansif.
“Saya ingin dicari betul penyebab utamanya, dan segera diantisipasi karena penurunan PMI ini sudah terjadi sejak empat bulan terakhir. Betul-betul dilihat kenapa permintaan domestik melemah, bisa karena beban impor bahan baku yang tinggi, karena fluktuasi rupiah atau adanya juga serangan produk impor yang masuk ke negara kita,” jelasnya.
Sebagai langkah awal, Jokowi menyerukan masyarakat Indonesia lebih banyak belanja produk lokal, dan sektor industri menggunakan bahan baku lokal. Dan yang tidak kalah penting, menurut Jokowi adalah melakukan perlindungan terhadap industri dalam negeri.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dan mungkin juga karena permintaan dari ekspor atau dari luar negeri melemah, karena terjadi gangguan rantai pasok atau perlambatan ekonomi terhadap mitra-mitra dagang utama kita. Sehingga kita harus bisa mencari pasar non tradisional dan mencari potensi pasar baru ekspor kita,” tambahnya.
Menkeu: Imbas Ketidakpastian Ekonomi Global Picu Penurunan PMI Manufaktur Indonesia
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penurunan sektor manufaktur merupakan imbas dari ketidakpastian ekonomi global yang masih terjadi hingga saat ini, terutama di Amerika dan China.
“Aktivitas manufaktur global sudah menjadi korban pertama, yang mengalami kontraksi pada Juli di 49,7. Indonesia juga mengikuti di 49,3. Amerika juga di zona kontraktif, RRT juga zona kontraktif. Ini menggambarkan lingkungan global yang begitu sangat tidak settle, sangat dynamic, cenderung volatile, bahkan hostile to each other. Ini menyebabkan perekonomian menjadi relatif berhenti atau stagnan,” ungkap Menkeu Sri.
Ia juga menyoroti sisi pemesanan barang baru dan ekspor baru hampir semua negara yang berada di zona kontraktif.
“Oleh karena itu, kalau kita lihat, banyak negara seperti Indonesia dan Amerika, stok barangnya menjadi naik karena sudah diproduksi tetapi ordernya atau pemesanannya baik di dalam maupun di luar negeri melemah,” katanya.
Namun sektor manufaktur di dalam negeri sedang mengalami peralihan karena masih tingginya permintaan di sektor makanan dan minuman, ditambah gairah dalam industri logam dasar seiring keberhasilan hilirisasi.
“Jadi kita memang melihat ada beberapa shifting manufaktur yang masih memiliki pattern permintaan, baik dalam negeri seperti makanan, minuman, dan farmasi. Dan juga untuk industri hilirisasi seperti industri hilir yang still going strong 18,1 persen growth-nya,” katanya.
Sedangkan industri yang sedang terkoreksi adalah industri alas kaki, dan industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Hal tersebut, jelasnya dikarenakan beberapa hal diantaranya serbuan produk impor.
“Mungkin demandnya masih memadai tetapi karena kompetisi dari impor makanya kemarin Menperin, Mendag meminta dan sekarang sedang dalam proses untuk dalam bentuk apakah anti dumping, atau bea masuk untuk menjaga dan memproteksi industri dalam negeri,” jelasnya.
Ekonom: Penurunan PMI Manufaktur Suatu Keniscayaan Seiring Melemahnya Permintaan Domestik dan Ekspor
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan menurunnya PMI Manufaktur Indonesia sudah diproyeksikan akan terjadi cepat atau lambat, karena dari sisi permintaan domestik dan ekspor sudah melemah bahkan dari tahun lalu.
Menurutnya, masih ekspansifnya PMI Manufaktur selama ini tertolong oleh pasar domestik. Namun, jika pelemahan pasar domestik ini berkepanjangan maka akan bisa terkontraksi juga.
“Jadi, menurut saya, penyebab utamanya adalah dari sisi order, penjualannya yang mengalami penurunan, itu juga bukan hanya order dari luar negeri, atau pasar ekspor tetapi juga dari dalam negeri. Ini kaitannya tidak lepas dari daya beli, di domestik yang melemah kemudian di pasar ekspor terutama mitra dagang utama China dan Amerika yang sedang tidak baik-baik saja,” ungkap Faisal ketika berbincang dengan VOA.
China sedang mengalami perlambatan permintaan, sementara Amerika tengah menghadapi pelemahan ekonomi di dalam negeri sebagai akibat dari tingkat suku bunga tinggi yang sudah terlalu lama.
“Industri atau produk tekstil, alas kaki, banyak mengandalkan pasar Amerika, untuk China lebih luas. Jadi otomatis ketika pasar ekspor mengalami masalah atau pelemahan maka akan mempengaruhi juga kinerja pertumbuhan order di industri manufaktur,” jelasnya.
Sedangkan melemahnya pasar domestik sendiri ujar Faisal dikarenakan adanya kebijakan perdagangan yang tidak sinkron dengan penguatan industri domestik, serta terus meningkatnya biaya produksi.
“Kalau dilihat dari indeks harga produsen memang sudah lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga konsumen. Artinya produsen sudah menahan, menanggung beban biaya produksi yang sudah tinggi yang belum di passing through ke konsumen. Sehingga ini berdampak pada tingkat profitabilitas dan kapasitas produksi mereka yang turun. ini yang harus dilihat,” tuturnya.
Pemerintah Diserukan Ambil Kebijakan yang Sinkron, Terutama Kebijakan Fiskal
Faisal menilai pemerintah harus segera mengambil langkah strategis dan tidak saling bertolak belakang, terutama dalam kebijakan fiskal. Hal ini yang ditengarai akan semakin menekan konsumi masyarakat dan berdampak kepada produsen dan industri.
“Pemerintah harus memberikan kebijakan khusus kepada industri yang sekarang mengalami injury karena tidak sinkronnya kebijakan perdagangan, atau serbuan produk serupa dari luar negeri pada industri tertentu khususnya industri padat karya. Di sisi yang lain juga, melihat bagaimana beban biaya produksi yang kalau bisa ada insentif terutama pada industri yang paling rentan supaya mereka paling tidak biaya produksinya tidak terlalu tinggi kalau ada insentif dari pemerintah.” pungkasnya. [gi/em]