Ada perbedaan pendapat di kalangan ASN sendiri mengenai pelarangan memakai cadar dan celana cingkrang di kantor pemerintah. Kepada VOA, MM seorang ASN yang meminta namanya disamarkan mengatakan, semestinya boleh-boleh saja memakainya. Dia berprinsip, pilihan pakaian adalah hak asasi bagi ASN bersangkutan. Meski begitu dia memahami munculnya wacana tersebut.
ASN yang lain, HR mengaku tegas tidak setuju dengan larangan itu. “Menterinya tidak paham UUD 45 pasal 29 sepertinya,” kata dia memberi alasan.
Bagaimana soal layanan kepada masyarakat oleh ASN yang memakai cadar? Menurut HR, sejauh komunikasi bisa berjalan baik, sebenarnya tidak ada masalah dengan pilihan pakaian.
Your browser doesn’t support HTML5
ASN yang lain, ST mengaku bisa menerima larangan itu.
“Saya kira larangan itu sesuatu yang wajar. Meskipun di instansi saya sendiri sampai saat ini belum ada edaran terkait aturan berbusaha tersebut,” ujarnya kepada VOA.
Larangan Hanya Selama di Kantor
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Tjahjo Kumolo, Senin (4/11) di Yogyakarta menegaskan, setiap kepala instansi berhak membuat aturan berbusana. Karena itu, keputusan mengenai larangan untuk memakai cadar atau celana cingkrang ada di setiap kepala daerah, pimpinan lembaga ataupun kementerian. Belum ada rencana menjadikan itu sebagai imbauan secara nasional.
Kemenpan RB sendiri, kata Tjahjo menerapkan larangan itu karena menilai layanan masyarakat akan terhambat oleh pamakaian cadar.
“Dalam konteks, kalau kemarin Pak Menteri Agama ingin di kantornya itu rapi. Bagaimana mau ketemu Anda, kalau pakai cadar. Muslim silahkan saja berjilbab. Mau jilbab masuk dalam atau jilbab yang nutup, itu hak masing-masing. Mau pakai peci, silakan. Tapi kalau pakai cadar, gimana mau ada kontak? Tetapi itu aturan masing-masing. Kalau saya, di kantor Menpan RB, selama di kantor jangan pakai cadar. Kalau mau pakai cadar, ya pas di luar kantor,” kata Tjahjo.
Tjahjo memberi contoh, di Kemenpan RB ditetapkan seragam berwarna putih. Pada hari-hari nasional wajib memakai busana Korpri. Selain itu, ada juga jenis busana lain yang masuk dalam aturan yang mengikat ASN selama berada di kantor.
Karena itulah, larangan ini bukan berarti melarang memakai cadar. Larangan hanya berlaku selama ASN bekerja. Di luar kantor, sebagai warga negara, ASN berhak memakai busana sesuai pilihan masing-masing.
“Kalau di kementerian saya, wajib. Jangan pakai cadar. Begitu keluar kantor, silahkan. Sebagai warga negara bebas berpakaian,” tambah Tjahjo.
Pakar Ingatkan Prioritas Kerja
Pakar birokrasi dan kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Wahyudi Kumorotomo mengingatkan, perdebatan soal cadar dan celana cingkrang tidak produktif. Begitu dilantik oleh Presiden, kata Wahyudi, setiap menteri telah diberi pesan mengenai agenda prioritas nasional. Wahyudi menyayangkan, agenda Presiden itu belum mengemuka, dan justru tertutupi perdebatan soal busana.
“Ya maksudnya itu mungkin baik, supaya tidak terkesan ASN itu cenderung diasosiasikan dengan kelompok radikal tertentu. Tetapi kalau kemudian yang besar-besar malah tidak diurusi, lalu yang kecil-kecil seperti soal seragam ini diurusi, sedangkan sebenarnya, kita sudah punya standar berpakaian, ini menurut saya tidak produktif,” kata Wahyudi.
Wahyudi mengingatkan, pemerintah sudah memiliki aturan yang jelas dalam berbusana. Semestinya, seluruh perdebatan tentang busaha ASN dikembalikan saja pada ketentuan yang ada. Tidak seyogyanya, setiap intansi memiliki aturan tersendiri. Dalam iklim politik yang kental, Wahyudi khawatir terbukanya kewenangan pimpinan instansi menetapkan aturan berbusaha ASN, akan dipengaruhi oleh kecenderungan politik pejabat terkait.
Pada prinsipnya, lanjut Wahyudi, semua ASN tidak mengenakan cadar karena dia wajib memiliki kartu pegawai. Foto dalam kartu tersebut memiliki sejumlah ketentuan, yang membuat ASN manapun tidak akan mengenakan cadar. Artinya, lanjut Wahyudi, setiap ASN tahu ada aturan berpakaian yang harus ditaati selama menjadi aparatur negara.
Secara jumlah, menurut Wahyudi, ASN yang memakai cadar atau bercelana cingkrang populasinya juga tidak begitu besar. Kasat mata, hal itu dapat dilihat di kantor-kantor pemerintah berapa banyak staf berbusana seperti itu dibandingkan dengan jumlah keseluruhan. Karena itu, Wahyudi merekomendasikan pendekatan lebih personal kepada setiap ASN yang bercelana cingkrang maupun mengenakan cadar. Seorang menteri tidak perlu melempar wacana, karena sebenarnya tugas yang harus dia selesaikan jauh lebih besar dan mendasar, daripada sekadar mengurus busana pegawainya.
“Jangan menteri-menteri sibuk membuat pernyataan tentang seragam. Tentang sesuatu yang sebenarnya mengakibatkan orang bertanya-tanya, ini kerjanya menteri itu apa kok malah mengurusi seragam. Cuma mengurusi hal-hal sepele. Yang besar-besar malah tidak diurusi, misalnya tentang strategi besar dalam posisi sebagai Menpan RB itu apa. Kemudian sebagai Menteri Agama itu apa,” ujar Wahyudi.
Dalam pesan yang jelas, kata Wahyudi, Jokowi meminta Menteri Agama melawan radikalisme. Karena itu, polemik pertama sebagai menteri justru seharusnya bukan soal busana ASN. Menteri Agama harus memiliki visi soal bagaimana spiritualitas yang baik bagi masyarakat atau model pendidikan yang mampu melawan radikalisme. Sementara Menpan RB seharusnya lebih sibuk dengan reformasi birokrasi, penghapusan eselon, memangkas birokrasi supaya lebih efisien, dan menghapus hal-hal yang tidak perlu dalam layanan kepada publik. [ns/uh]