Polisi di wilayah Jammu dan Kashmir di India pada Rabu (12/6) menyalahkan musuh lama mereka, Pakistan, atas lonjakan serangan oleh para militan yang menewaskan 12 orang dan melukai puluhan lainnya dalam tiga hari terakhir. Serangan-serangan itu terjadi hanya beberapa pekan setelah kehadiran pemilih dalam jumlah besar pada pemilu.
Pasukan keamanan India menemukan simpanan senjata, amunisi, uang tunai dan berbagai pasokan lain dalam sebuah operasi penggeledahan di wilayah tersebut pada Rabu.
Pakistan mengklaim wilayah di Himalaya itu, yang telah bergolak karena kekerasan militan sejak dimulainya pemberontakan anti-India pada 1989 yang menewaskan puluhan ribu orang, meskipun kekerasan telah mereda dalam beberapa tahun terakhir.
“Tetangga kita yang penuh permusuhan ingin merusak lingkungan kita yang damai,” kata Anand Jain, kepala polisi di Jammu kepada para jurnalis. Dia merujuk sebutan tetangga itu untuk Pakistan, yang oleh India telah dituduh memicu kekerasan di kawasan itu selama beberapa dekade.
BACA JUGA: India Selidiki Serangan di Kashmir yang Tewaskan 9 Peziarah HinduSeorang juru bicara kementerian luar negeri Pakistan tidak memberi respons segera atas permintaan komentar dari kantor berita Reuters. Mereka telah membantah klaim yang disampaikan India sebelumnya, dengan mengatakan bahwa Pakistan hanya memberi dukungan politik dan diplomasi bagi pemberontakan itu.
Pertempuran bersenjata di kawasan itu pada Selasa (11/6) telah menewaskan dua anggota militan dan seorang anggota pasukan paramiliter, serta melukai seorang warga sipil dan enam personil keamanan, kata pihak berwenang.
Insiden-insiden ini terjadi dua hari setelah sembilan peziarah Hindu tewas dan 41 lainnya luka-luka ketika kelompok militan menyerang bus, yang membawa mereka ke kuil Hindu pada Minggu (9/6), sewaktu PM Narendra Modi dilantik untuk masa jabatan ketiga.
Kekerasan terbaru ini telah memicu kritik terhadap Modi dari partai-partai oposisi, dan mendesak tindakan terhadap para pelaku.
“Kecuali kalau kita membahas ini dengan tetangga kita, kita tidak akan mampu menyelesaikan persoalan ini,” kata Farooq Abdullah, mantan menteri utama di kawasan itu. [ns/ka]