Menjawab pertanyaan publik tentang ratusan pucuk senjata yang ada di bandara Soekarno Hatta, yang foto-foto dan kabarnya beredar luas di media sosial, Polri mengakui bahwa senjata itu diimpor untuk Korps Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto di Mabes Polri Jakarta Sabtu (30/9) menjelaskan pengadaannya sudah melalui proses anggaran dan prosedur yang sah.
"Saya nyatakan bahwa barang yang ada di bandara Soekarno Hatta adalah betul milik Polri dan adalah barang yang sah. Semuanya sudah sesuai dengan prosedur. Mulai dari perencanaan kemudian proses lelang. Kemudian proses berikutnya sampai kemudian direview oleh staf Irwasum dan BPkP terkait dengan pengadaan dan pembeliannya oleh pihak ketiga dan proses masuk ke Indonesia," jelas Setyo.
Your browser doesn’t support HTML5
Setyo juga mengakui masuknya senjata itu sudah dengan sepengetahuan TNI, khususnya Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.
"Barang tersebut masuk ke wilayah pabean bandara Soekarno Hatta. Dankor Brimob sudah memberitahu dan minta rekomendasi ke Bais TNI. Prosedurnya memang demikian untuk dikarantina dan di cek oleh Bais TNI. Baru dikeluarkan rekomendasi oleh Bais TNI," tambahnya.
Mabes Polri juga menyatakan 280 pucuk senjata jenis Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) kaliber 40 x 46 milimeter itu bukan senjata mematikan melainkan untuk efek kejut, yang diperlukan antara lain untuk menghadapi demonstrasi massa. Impor serupa sebelumnya dilakukan pada tahun 2015 dan 2016.
Dalam kesempatan yang sama Kepala Korps Brimob Irjen Murad Ismail mengatakan peluru dalam senjata jenis Arsenal Stand Alone Grenade Launcher ini beragam, mulai dari peluru karet hingga peluru hampa. Namun membantah kabar bahwa senjata jenis ini bisa menghancurkan seperti tembok atau kendaraan tempur tank.
Murad mengatakan, "Ini kita menembak tidak bisa lurus melainkan miring ke atas 45 derajat. Lalu pelurunya jatuh sekitar 85 meter. Dan pelurunya itu bentuknya bulat. Pelurunya ada banyak, ada peluru karet, hampa, gas air mata, ada peluru asap, ada peluru juga yang tabur. Senjata ini bukan untuk membunuh tetapi untuk kejut."
Lebih jauh Murad mengatakan prosedur pengadaan senjata telah terlebih dahulu dievaluasi oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.
"Apa yang kita masukin (pesan) sesuai dengan yang ada di manifest (catatan angkut barang dalam pesawat). Dan ini saya yang tandatangan. Pelurunya berjumlah 5932. Senjatanya ada 280. Jadi tidak banyak," jelasnya.
Sebelumnya media sosial ramai memberitakan masuknya senjata jenis Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) Kal 40 x 46mm, yang disebut-sebut telah disebut-sebut ditahan BAIS TNI. Jumlah senjata milik Polri itu mencapai 280 pucuk dan 5.932 butir peluru. SAGL yang asal Bulgaria ini diimpor oleh PT Mustika Duta Mas dan akan didistribusikan ke Korps Brimob Polri dengan menggunakan pesawat charter model Antonov AN-12 TB dari maskapai Ukraine Air Alliance UKL-4024.
Dari informasi yang dihimpun VOA kargo berisi senjata itu tiba dengan pesawat maskapai Ukraine Air Alliance nomor penerbangan UKL 4024, pada Jumat (29/9) malam. Kargo itu berisi 280 pucuk senjata jenis Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) kaliber 40 x 46mm, yang dikemas dalam dalam 28 kotak (10 pucuk/kotak), dengan berat total 2.212 kg. Sementara amunisi RLV-HEFJ kaliber 40x 46mm dikemas dalam 70 boks (84 butir/boks) dan 1 boks (52 butir). Totalnya mencapai 5.932 butir (71 boks) dengan berat 2.829 kg.
Barang mulai diturunkan dari pesawat, pada pukul 23.45. Aktivitas bongkar muat itu rampung pada Sabtu (30/9) pukul 01.25 WIB. Barang kemudiandi pindahkan ke Kargo Unex. Kargo tersebut diakui masih membutuhkan rekomendasi dari Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI dan lolos proses kepabeanan. Pihak Korps Brimob Polri dipastikan tidak akan mengambil barang tersebut sebelum kedua proses itu rampung.
Tidak ada rincian tentang apakah senjata yang diimpor dari Bulgaria ini merupakan bagian dari kontroversi masuknya senjata yang disebut oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo, dan kemudian dibantah oleh Menkopolhukam Wiranto sebelumnya. [al/em]