Prosentase keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengalami kenaikan. Jika sebelumnya hanya 17,6% maka pada periode mendatang akan mencapai 20,5%. Pencapaian besar juga tampak di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dari 26% pada periode sebelumnya, menjadi 30,14% pada periode mendatang.
Meskipun demikian Feri Amsari, peneliti di Universitas Andalas, menilai kenaikan tersebut akan sia-sia kalau para politisi perempuan tersebut tidak mendapat jabatan strategis pada pimpinan dan alat kelengkapan MPR, DPR, DPD dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota. Menurutnya, selama ini parpol peserta pemilu sekadar memasukkan caleg perempuan untuk memenuhi syarat keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.
“Saya pikir keterwakilan perempuan baru bisa bunyi kuat adalah kalau memang ketentuannya diberikan pada posisi-posisi kunci. Selama ini hanya memenuhi syarat jumlah keterwakilan, afirmatif actionnya di sana, tindakan khususnya di sana. Padahal semestinya tindakan khusus sementara dengan memastikan kunci-kunci utama pemegang kebijakan di parlemen juga diwakili oleh kelompok perempuan. Kalau tidak alternatifnya perempuan bersatu untuk menyuarakan aspirasi perempuan, ini yang perlu ditunggu dari kelompok perempuan,” ungkap Feri di Jakarta, Minggu (8/9).
BACA JUGA: DPR Bantah Ingin Lemahkan KPKDitambahkannya, ada satu alasan kuat kenapa politisi kaum hawa ini harus menempati jabatan strategis di rumah rakyat tersebut. Perempuan, kata Feri harus menjadi alternatif pimpinan agar terjadi perimbangan dan suara alternatif yang berbeda dalam setiap pengambilan keputusan, baik di fraksi maupun di badan-badan legislasi. Dengan sifat natural keibuan yang dimiliki oleh kaum perempuan, suara-suara rakyat utamanya perempuan, akan lebih didengar dibandingkan oleh anggota parlemen laki-laki.
Perludem Dorong Komitmen Parpol Beri Jabatan Strategis pada Politisi Perempuan
Hal senada juga disampaikan oleh peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil, yang mendorong komitmen dari masing-masing partai politik agar para politisi perempuan tersebut diberikan jabatan strategis di lembaga legislatif.
Perludem tidak ingin proses kepemimpinan perempuan berhenti pada proses pencolanan dan ketika yang bersangkutan terpilih. Menurutnya, butuh komitmen yang besar dari pimpinan parpol untuk memastikan anggota perempuannya bisa menyuarakan aspirasi rakyat dengan menjadi pimpinan sehingga suaranya kelak bisa lebih nyaring lagi.
“Kita mendorong keterwakilan perempuan sekali lagi tidak berhenti di proses pencalonan dan keterpilihan saja, tapi juga harus mampu secara konsisten agar perwakilan kepemimpinan perempuan mengisi pimpinan dan alat kelengkapan MPR, DPR, DPD sampai DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ini tentu butuh komitmen dari pimpinan partai politik, butuh komitmen elite parpol yang ada di lembaga legislatif, dan juga butuh komitment yang kuat dari semua anggota legislatif bahwa dorongan dan langkah maju untuk keterwakilan politik perempuan adalah pekerjaan yang tidak boleh berhenti, dan saat ini kita akan segera menghadapi di mana dorongan keterwakilan dan kepemimpinan perempuan itu harus mempu mengisi pimpinan dan alat kelengkapan MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota,” ujar Fadli.
Judicial Review MK Dorong Keterwakilan Perempuan
Dalam kesempatan yang sama, Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi mengatakan bahwa berdasarkan hasil judicial review dalam ketentuan pasal UU MD3 yang diputuskan oleh Mahkamah Konsittusi (MK) nomor 82 tahun 2014 adalah isinya mendorong keterwakilan perempuan di dalam Parlemen yang seharusnya menjadi perhatian dari MPR, DPR dan partai politik.
Menurut Veri, MPR dan DPR dalam revisi UU MD3 tersebut hanya fokus terhadap masalah jumlah pimpinan DPR dang cenderung mengabaikan hasil putusan JR MK tersebut.
“Pada waktu kami melakukan pengujian dan sudah ada putusan MK dalam putusan no 82, tahun 2014, putusan terhadap pasal 97, 104 ayat 2,109 ayat 2, 115 ayat 2, 121 ayat 2, 152 ayat 2 dan 158 ayat 2 yang keseluruhannya menegaskan kembali – demikian pula dalam putusan MK – bahwa dalam pimpinan MPR, DPR, DPD dan juga alat kelengkapan DPR itu mesti mengutamakan keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dan pimpinan DPR. Ini satu klausul yang memang jauh lebih kuat derajatnya dibanding yang sebelumnya,” ujar Veri.
Dengan adanya putusan MK tersebut, ia berharap para pimpinan dan elite partai politik melaksanakan hal tersebut, karena kalau tidak, itu sama saja dengan tidak menjalankan sebuah amanat konstitusi.
Andi Yuliani Paris Akui Sulitnya Perempuan Tempati Posisi Strategis
Anggota DPR RI periode 2014-2019 Andi Yuliani Paris pun merasakan sulitnya perempuan untuk menempati posisi strategis di legislatif. Padahal, kata politisi PAN yang akrab dipanggi Yuli ini, banyak kinerja perempuan di parlemen yang bermanfaat bagi kehidupan orang banyak. Jadi seharusnya, kapabilitas daripada kaum hawa ini tidak perlu dipertanyakan lagi.
Ia berharap hasil judicial review MK itu utamanya dapat meningkatkan kepedulian daripada pimpinan partai politik untuk memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada para politisi hawa tersebut.
“Kita juga capek bersuara sendiri, tapi kalau tekanan dari luar alhamdulilah nanti mudah-mudahan bisa memberikan kesadaran pada pimpinan parpol untuk bisa memikirkan. Jangan mengatakan apa perempuan itu punya kapasitas? Laki-laki gak pernah ditanyakan kapasitasnya, tapi kenapa kalau perempuan ditanyakan oh apa dia punya kapasitas? Jadi harus dorongan dari teman-teman media, ya mentaati hasi JR itu," ujar Yuli.
Your browser doesn’t support HTML5
Selanjutnya, Yuli menambahkan, "Apalagi persentase perempuan yang duduk di parlemen meningkat. Artinya perempuan sekarang ini persentasenya besar. Kasih kesempatan lah untuk perempuan dan pimpinan parpol dari 44 pimpinan komisi kemudian kira-kira puluhan pimpinan alat kelengkapan dan juga isu krusial yang akan dibahas ke pansus, saya yakin kalau pimpinan pansusnya perempuan, itu biasanya lebih detail membahas satu UU , mohon maaf bahwa DPR kita masih kurang menyadari, anggota DPR kita masih kurang menyadari fungsi mereka sebagai legislator, mereka harus sadar bahwa UU yang dibuat setiap pasal itu mempengaruhi kehidupan orang banyak.” (gi/em)