Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keputusan ini setelah berdiskusi dengan sejumlah pihak, termasuk buruh, di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat (29/11).
“Menteri Tenaga Kerja, mengusulkan kenaikan upah minimum sebesar 6 persen, namun setelah membahas juga dan melaksanakan pertemuan dengan pimpinan buruh kita ambil keputusan untuk menaikan rata-rata upah minimum nasional pada 2025 sebesar 6,5 persen," kata Presiden.
Ketentuan lebih rinci terkait upah minimum ini akan diatur oleh peraturan menteri ketenagakerjaan. Sementara kenaikan upah minimum sektoral, akan ditetapkan oleh Dewan Pengupahan di tingkat provinsi, kabupaten/kota.
Lebih jauh Prabowo mengatakan upah minimum merupakan jaringan pengaman sosial yang sangat penting bagi para pekerja, sehingga peningkatan upah minimum diharapkan dapat meningkatkan daya beli pekerja, dengan tetap memperhatikan daya saing usaha.
“Kesejahteraan buruh adalah sesuatu yang sangat penting, kita akan perjuangkan terus perbaikan kesejahteraan mereka,” tambahnya.
KSPI Terima Keputusan Pemerintah
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan pihaknya menerima keputusan pemerintah itu meskipun sebelumnya menuntut kenaikan 8-10 persen. Menurutnya angka 6,5 persen cukup mendekati dari apa yang diinginkan oleh buruh.
“Kenapa kami menerima? Karena kita pernah deflasi lima bulan, sebenarnya kalau deflasi tidak dihitung itu kenaikan upah bisa 8 persen atau setidaknya 7,7 persen. Tapi setelah kami kalkulasi karena ada deflasi , itu kan mempengaruhi nilai inflasi, maka 6,5 persen yang telah diputuskan oleh Presiden Prabowo adalah rasional, masuk akal, dan sesuai dengan keputusan MK,” ungkap Said.
Selain itu dalam kurun waktu 10 tahun terakhir kenaikan upah minimum nasional selalu di bawah inflasi. Bahkan pada tiga tahun terakhir yakni 2019-2022 upah minimum tidak pernah naik karena perebakan luas pandemi COVID-19.
“Dua tahun terakhir yaitu 2023-2024 naik upahnya di bawah inflasi 1,58 persen rata-rata. Padahal inflasinya 2,8 persen. Jadi dengan kenaikan upah minimum 6,5 persen itu sudah melampaui inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang sesuai diperintahkan MK,” tegasnya.
BACA JUGA: Apindo: Buruh Harus Realistis dengan Tuntutan UMPAPINDO Merasa Tak Dilibatkan
Seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani menyatakan pihaknya merasa tidak dilibatkan oleh pemerintah terkait dengan keputusan kenaikkan UMP 2025 sebesar 6,5 persen.
Padahal menurutnya, selama ini kalangan pengusaha selalu terbuka untuk berdiskusi terkait dengan UMP.
"Kami menyayangkan bahwa masukan dunia usaha tidak didengarkan dalam penetapan kebijakan ini. APINDO selama ini telah berpartisipasi secara aktif dan intensif dalam diskusi terkait penetapan kebijakan upah minimum," ujar Shinta.
Menurutnya, APINDO telah memberikan masukan kenaikan tarif yang cukup tepat untuk UMP 2025 dengan mempertimbangkan fakta ekonomi, daya saing usaha, serta produktivitas tenaga kerja.
APINDO sebelumnya mendorong pemerintah tetap menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan sebagai dasar perumusan UMP 2025, karena formulasi dalam beleid tersebut dinilai paling adil bagi pekerja dan pengusaha.
Kalangan pelaku usaha, kata Shinta, merasa kenaikan UMP 6,5 persen ini terlalu tinggi sehingga akan berdampak langsung pada biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional perusahaan, khususnya di sektor padat karya.
Oleh sebab itu, dalam kondisi ekonomi nasional yang masih menghadapi tantangan global dan tekanan domestik, menurutnya, kenaikan ini dinilai berisiko meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional.
"Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru," jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Efesiensi Lain Untuk Tutupi Kenaikan UMP
Sementara itu, ekonom Indef Tauhid Ahmad menilai cukup terkejut dengan kenaikan UMP tahun depan 6,5 persen. Menurutnya selama ini kenaikan UMP tidak pernah lebih dari lima persen.
“Itu luar biasa, saya respect juga karena dengan formula itu tidak akan pernah lebih dari lima persen secara agregat,” ungkap Tauhid.
BACA JUGA: Gaji Pekerja Dipotong untuk Tapera, Mampukah Menyelesaikan Permasalahan Kebutuhan Rumah?Angka 6,5 persen tersebut katanya jika dilihat berdasarkan data ASEAN Productivity juga termasuk kategori yang cukup tinggi. Tauhid menduga keputusan ini diambil untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga di dalam negeri.
“Mungkin asumsinya karena dianggap dengan naiknya upah, dapat meningkatkan konsumsi karena sudah dalam sifatnya katakanlah ekonomi turun pasti perlu ada adjustment yaitu kenaikan upah. Saya kira itu jalan untuk memperbaiki ekonomi kelas menengah. Tapi mungkin ini sifatnya ad hoc, tahun depan bisa jadi berubah, sifatnya situasional untuk membangkitkan konsumsi masyarakat,” jelasnya.
Namun ia menekankan dengan adanya kenaikan upah tersebut kalangan pengusaha bisa saja melakukan efisiensi di berbagai sisi termasuk tidak akan melakukan penerimaan pegawai baru. Maka dari itu, ia menilai kenaikan upah yang terlalu tinggi juga berisiko menciptakan adanya PHK. [gi/em]