Kepala Negara menginstruksikan agar dilakukan koordinasi dan sinergi pihak terkait, demi terciptanya keadilan bagi masyarakat setempat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai memimpin rapat koordinasi bidang hukum di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (25/7) menginstruksikan segera dibentuk Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Agraria, yang terdiri dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kepolisian dan instansi terkait lainnya. Tim ini diharapkan mampu mencari solusi yang terbaik untuk masyarakat dalam mendapatkan hak-haknya atas tanah.
“Instruksi saya, carikan solusinya, bentuk tim terpadu. Tidak cukup kadang-kadang dengan pendekatan hukum, tapi juga dengan penyelesaian sosial dan budaya. Kalau itu bisa kita lakukan, bisa kita cegah terjadinya bentrokan ataupun tindakan-tindakan yang tidak perlu terjadi,” ujar Presiden.
Presiden juga meminta kepada tim terpadu ini untuk memprioritaskan konflik agraria yang marak terjadi. Diantaranya yang menonjol yaitu di PTPN 2 Sumatra Utara, Mesuji di Lampung dan konflik di PTPN 7 Cinta Manis Ogan Ilir Sumatra Selatan.
Presiden Yudhoyono mengaku mendapat informasi mengenai bentrokan antara pihak PT Perkebunan Nasional (PTPN) dengan masyarakat lokal, disebabkan oleh, tidak adanya peningkatan kesejahteraan dari masyarakat lokal dan seolah-olah dimarjinalkan.
“Bentrokan antara dunia usaha dengan masyarakat lokal; antara PTPN dengan masyarakat lokal. Mengapa? karena ternyata dari ribuan hektar tanah yang digunakan itu, masyarakat lokal tidak diikutsertakan, tidak mendapatkan peningkatan kesejahteraan, dan seolah-olah dimarjinalkan,” ungkap Presiden.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Hendarman Supandji menjanjikan konflik agraria dapat tuntas dalam dua tahun ini, termasuk penyelesaian kasus-kasus kepemilikan tanah bersertifikat ganda.
“Tentunya kita sedang melakukan klarifikasi ya. Saya membuat program selama dua tahun lebih, yaitu jangka pendek menengah dan panjang, itu harus saya selesaikan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Abetnego Tarigan mengatakan kasus agrarian hanya dapat diselesaikan melalui pembentukan komisi, bukan tim terpadu.
“Sebenarnya tim terpadu itu tidak cukup. Kami di organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam sekretariat bersama perjuangan hak rakyat Indonesia, menuntut adanya komisi khusus penyelesaian konflik agraria. Pembentukan satgas atau tim terpadu kecenderungannya hanya membuat rekomendasi-rekomendasi. Yang kedua, siapa pimpinan dari tim terpadu ini, kita tahu tidak ada satu institusi pun di Indonesia benar-benar bersih dari persoalan yang ada sekarang,” ujarnya.
BPN mencatat adanya 8307 kasus konflik agraria di seluruh Indonesia tahun ini, separuh diantaranya dari tahun lalu, dan yang sudah diselesaikan ada 4305 kasus.
“Instruksi saya, carikan solusinya, bentuk tim terpadu. Tidak cukup kadang-kadang dengan pendekatan hukum, tapi juga dengan penyelesaian sosial dan budaya. Kalau itu bisa kita lakukan, bisa kita cegah terjadinya bentrokan ataupun tindakan-tindakan yang tidak perlu terjadi,” ujar Presiden.
Presiden juga meminta kepada tim terpadu ini untuk memprioritaskan konflik agraria yang marak terjadi. Diantaranya yang menonjol yaitu di PTPN 2 Sumatra Utara, Mesuji di Lampung dan konflik di PTPN 7 Cinta Manis Ogan Ilir Sumatra Selatan.
Presiden Yudhoyono mengaku mendapat informasi mengenai bentrokan antara pihak PT Perkebunan Nasional (PTPN) dengan masyarakat lokal, disebabkan oleh, tidak adanya peningkatan kesejahteraan dari masyarakat lokal dan seolah-olah dimarjinalkan.
“Bentrokan antara dunia usaha dengan masyarakat lokal; antara PTPN dengan masyarakat lokal. Mengapa? karena ternyata dari ribuan hektar tanah yang digunakan itu, masyarakat lokal tidak diikutsertakan, tidak mendapatkan peningkatan kesejahteraan, dan seolah-olah dimarjinalkan,” ungkap Presiden.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Hendarman Supandji menjanjikan konflik agraria dapat tuntas dalam dua tahun ini, termasuk penyelesaian kasus-kasus kepemilikan tanah bersertifikat ganda.
“Tentunya kita sedang melakukan klarifikasi ya. Saya membuat program selama dua tahun lebih, yaitu jangka pendek menengah dan panjang, itu harus saya selesaikan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Abetnego Tarigan mengatakan kasus agrarian hanya dapat diselesaikan melalui pembentukan komisi, bukan tim terpadu.
“Sebenarnya tim terpadu itu tidak cukup. Kami di organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam sekretariat bersama perjuangan hak rakyat Indonesia, menuntut adanya komisi khusus penyelesaian konflik agraria. Pembentukan satgas atau tim terpadu kecenderungannya hanya membuat rekomendasi-rekomendasi. Yang kedua, siapa pimpinan dari tim terpadu ini, kita tahu tidak ada satu institusi pun di Indonesia benar-benar bersih dari persoalan yang ada sekarang,” ujarnya.
BPN mencatat adanya 8307 kasus konflik agraria di seluruh Indonesia tahun ini, separuh diantaranya dari tahun lalu, dan yang sudah diselesaikan ada 4305 kasus.