Dalam jumpa pers hari Minggu (17/5) di istana presiden di ibukota Bujumbura, Presiden Burundi Pierre Nkurunziza tidak menyebut kudeta yang gagal itu atau protes atas pencalonannya untuk menjadi presiden masa jabatan ketiga.
Ia malah menggambarkan pembicaraannya dengan presiden-presiden dari negara-negara tetangga di Afrika mengenai ancaman militan Al-Shabab di Somalia, yang akan menyerang Burundi dan negara-negara lain karena menyumbang tentara ke pasukan Uni Afrika di Somalia.
Ia mengatakan, "Kita sangat disibukkan oleh serangan al-Shabab." "Kami mencari cara, strategi dan dinamika untuk menghentikan serangan-serangan ini, yang mungkin mengancam keamanan rakyat Burundi. Itu sebabnya kita di sini menanggapi ancaman al-Shabab ini dengan sangat serius."
Presiden Nkurunziza berada di Tanzania untuk KTT regional mengenai situasi politik Burundi ketika Jenderal Godefroid Niyombare mengumumkan upaya kudeta hari Rabu.
Langkah tersebut menyusul kerusuhan berminggu-minggu setelah Nkurunziza mencalonkan diri menjadi presiden untuk masa jabatan ketiga. Kekerasan seputar protes-protes itu menewaskan sedikitnya 14 orang dan lebih 200 orang terluka. Setelah Nkurunziza kembali, ibukota tetap tenang hari Minggu, meskipun aktivis diperkirakan memulai lagi berbagai demonstrasi minggu ini.
Di Roma hari Minggu, Paus Fransiskus menyerukan tanggungjawab akan muncul di Burundi setelah upaya kudeta.
"Saya ingin mengajak kalian berdoa bagi rakyat Burundi, yang sedang mengalami momen sulit. Semoga Tuhan membantu semua menghindari kekerasan dan bertindak secara bertanggungjawab demi kebaikan negara itu,'' kata Paus.
Dalam pidato radio hari Jumat, Presiden Nkurunziza berterima kasih kepada pasukan keamanannya karena mencegah kudeta militer terhadap pemerintahnya. Ia juga memperingatkan agar demonstran menghentikan aksinya menentang keputusannya mengupayakan masa jabatan ketiga.
Presiden dan pendukungnya berpendapat masa jabatan ketiga dibolehkan karena ia dipilih oleh parlemen, bukan oleh pemilih, untuk masa jabatan lima tahun pertamanya tahun 2005. Mahkamah Konstitusi Burundi memihak presiden.