Presiden dan DPR Terpilih Diminta Tuntaskan Penyelidikan Tragedi Mei 1998

Pendamping, keluarga korban dan korban saat berziarah sambil melakukan tabur bunga di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Senin, 13 Mei 2019. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Koalisi masyarakat sipil bersama korban dan keluarga korban hari memperingati Tragedi Mei 1998 di Mal Klender dan di Tempat Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

Koalisi Masyarakat Sipil bersama korban dan keluarga korban Tragedi Mei 1998 meminta presiden terpilih dan parlemen terpilih nantinya untuk menuntaskan dugaan pelanggaran HAM dalam kasus Mei 1998.

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, mengatakan pemerintahan dan parlemen saat ini belum berniat menuntaskan kasus yang sudah berlangsung 21 tahun ini. Meskipun pada pemerintahan BJ Habibie telah dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang hasil penyelidikannya menyebutkan adanya dugaan peran perwira militer sebagai dalang kerusuhan.

BACA JUGA: DPR Ragukan Komitmen Pemerintah Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat

Komnas HAM juga telah membentuk Komisi Penyelidikan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat untuk kasus Kerusuhan Mei 1998. Komisi ini berhasil menemukan bukti bahwa diduga telah terjadi suatu peristiwa pelanggaran HAM yang berat dan telah menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Jaksa Agung pada 2003.

"Diharapkan pemerintah punya paket agenda peta penyelesaian. Terutama bagaimana mengoptimalisasikan pelaksanaan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kata Puri Kencana Putri di Mall Klender Jakarta, Senin (13/5).

“Itu yang diharapkan korban, keluarga korban dan pendamping. Meskipun kita tahu, ada pengadilan HAM yang dibentuk dan ada beberapa orang yang dihukum, tapi itu belum melaksanakan prinsip akuntabilitas apa yang dimandatkan UU HAM," papar Puri.

Pendamping, keluarga korban dan korban saat membacakan tuntutan kepada pemerintah di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Senin, 13 Mei 2019. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Puri menambahkan pendamping dan korban juga meminta presiden terpilih mendatang tidak menempatkan terduga pelaku serta keluarga terduga pelaku pelanggaran HAM dalam jabatan pemerintahan. Itu bertujuan untuk mempermudah penegakan hukum dan juga menjamin pemerintahan yang bersih dari individu-individu yang mempunyai rekam jejak negatif dalam isu HAM.

Harapan Korban

Korban kerusuhan Mei 1998, Iwan Firman (60 tahun), berharap pemerintah dapat memberikan bantuan kepada dirinya yang kini kesulitan mencari nafkah. Iwan mengatakan saat ini hidup sendirian karena sudah berpisah dengan istrinya. Ia sudah tiga kali melakukan percobaan bunuh diri karena merasa frustasi.

BACA JUGA: Komnas HAM Desak Jokowi Tuntaskan Kasus HAM Masa Lalu

"Tadinya aku beraktivitas di Glodok bantu kakak. Setelah kejadian ini sudah tidak bisa beraktivitas lagi. Jadi di rumah saja, kadang teman datang kasih dorongan semangat. Tapi aku sudah frustasi," tuturnya kepada VOA di TPU Pondok Ranggon.

Iwan mengatakan berharap dapat bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Ia mengaku siap memberikan pengakuan kepada presiden pelaku yang membakar dirinya 21 tahun silam.

Seorang mahasiswa melihat potret empat mahasiswa yang yang terbunuh dalam tragedi Mei 1998 di sebuah museum kecil di Universitas Trisakti, Jakarta, 9 Mei 2018.

Iwan pada 14 Mei 1998 dihadang dan dipukuli oleh sekitar 20 orang tidak dikenal di Jalan Letjen Suprapto Jakarta Pusat. Setelah dipukuli, Iwan kemudian dibakar oleh seseorang. Ia diselamatkan oleh orang lain dan dibawa ke rumah sakit tidak jauh dari lokasi kejadian.

Sementara itu, Kusmiyati (54 tahun), ibunda seorang korban Tragedi Mei 1998 yang bernama Mustofa, yang ketika itu baru berusia 14 tahun, berharap surat keputusan pembebasan retribusi makam anaknya dari Pemprov Jakarta segera dikeluarkan. Menurutnya, pembebasan retribusi makam anaknya yang berada di TPU Malaka, Pondok Kelapa, Jakarta Timur sudah dilakukan saat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Your browser doesn’t support HTML5

Presiden dan DPR Terpilih Diminta Tuntaskan Penyelidikan Tragedi Mei 1998

"Waktu itu retribusinya dibebaskan dari waktu Gubernur Pak Ahok dan Djarot. Tapi surat keputusannya belum turun. Saya menuntut ke pemerintah makam anak saya yang di Pondok Kelapa diperhatikan lagi, nisannya diperbaiki lagi," kata Kusmiyati.

Anak Kusmiyati, Mustofa, tidak ada kabar selama tiga hari setelah izin pergi hendak memancing. Tiga hari kemudian, Kusmiyati diminta datang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk mengambil jenazah anaknya.

Monumen Mei 1998 yang didirikan Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Komnas Perempuan di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, 13 Mei 2019. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Di samping tuntutan itu, senada dengan Amnesty International Indonesia, Iwan Firman dan Kusmiyati berharap pemerintah mendatang dapat menuntaskan kasus Tragedi Mei 1998.

Jaksa Agung Diminta Tuntaskan Kasus Pelanggaran Berat

Menanggapi itu, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah telah mengingatkan Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang berat, termasuk Mei 19998. Namun, kata dia, hingga saat ini masih terkendala persoalan teknis dan formil hukum yang alot antara Jaksa Agung dan Komnas HAM.

"Presiden terus meminta Jaksa Agung menyelesaikan soal ini dengan Komnas HAM," jelasnya kepada VOA.

Jaleswari juga menjelaskan pemerintah terus mengupayakan rehabilitasi dan santunan untuk para korban sebagai bagian dari kebijakan restoratif. Termasuk mengkaji dan mempertimbangkan pemberian gelar pahlawan reformasi yang diusulkan masyarakat sipil untuk penghormatan kepada para korban. [sm/em]